Cintaku Kandas di Bukit Mentari
MENDAKI PUNCAK LEDALERO
(Pergulatan Masa Kuliah)
Pendahuluan.
Menjelang akhir tahun 2009
dimana usiaku telah menjcapai 40 tahun yang hari ulang tahunnya dirayakan 14
April 2009, saya berhadapan dengan sebuah realitas yang menantang. Sejak tahun 2006
saya tidak mempunyai pekerjaan yang tetap untuk memberikan nafkah pada keluarga
karena di PHK dari kantor dimana telah bekerja selama 7 tahun dan membawa aku
bertualang di Larantuka-Flores Timur yang saat ini sudah mencapai 10 tahun. Awal april 2009 saya kehilangan Ibu Mertua
satu-satunya harta yang istimewa yang dimiliki Istiriku tercinta setelah Bapa
Mertua meninggal Maret 2004. Akhir Juni 2009, saya lagi-lagi kehilangan Bapak
tercinta, dimana saya lagi berada di Kupang saat ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir di Manggarai.
Kondisi ini telah
menghantar saya pada sebuah refleksi yang panjang untuk memahami perjalanan
hidup saya dan memaknai usia ke – 40 tahun sebagai usia yang menantang.
Pergulatan batin sebagai seorang Bapak yang
harus memikirkan pekerjaan baru untuk menghidupi diri, istir dan masa depan
keempat anak adalah sebuah tantangan tersendiri. Di sisi lain kepergian Bapak
tercinta yang hanya memiliki dua anak laki-laki (Kakak dan saya), mengharuskan
aku untuk merawat tanah warisan di Manggarai yang telah dibagi Bapak kepada masing-masing kami berdua satu bulan
sebelum ia meninggal, adalah juga tantangan tersendiri. Sebagai seorang manusia
yang selalu mencari dan merenungkan dirinya, kondisi ini mendorong saya untuk
mengisi waktu yang bimbang antara keputusan meninggalkan segala investasi tanah
dan rumah serta relasi sosial yang telah
dibangun di Larantuka dan kembali ke Manggarai mencari pekerjaan baru membangun
rrelasi baru sambil merawat tahan warisan yang ditinggalkan Bapak , dengan
sebuah refleksi pengalaman masa lalu.
Sejak bulan Agustus 2009,
saya membuka kembali diary-diaryku yang masih tersisa dan masih tersimpan rapi
di antara buku-buku perpustakaan pribadiku sejak bekerja di Dunia LSM dan
buku-buku kantor yang tak diambil lembaga ketika saya di PHK. Saya akhirnya
terdorong untuk menulis pengalamanku semasa Kuliah di Ledalero yang diawali
dengan sebuah kondisi yang sama seperti yang saya alami sekarang ini, kondisi
kegagalan. Pergulatan batin setelah dikularkan dari Frater tahun 1992, sama
persis dengan pergulatan batin yang saya alami di tahun 2009. Pergulatan batin
anatar meneruskan kuliah di Ledalero dengan tidak mempunyai sumber uang untuk
biaya kuliah telah saya hadapi dengan berbagai kreativitas dan berhasil. Maka
saya optimis bahwa pergulatan batin ini pun pasti mampu saya lewatkan pada
hari-hari yang akan datang. Saya pun tidak menunggu kapan hari itu datang,
namun tulisan pengalaman ini bagian dari suatu kreativitas untuk mencapai
keberhasilan yang baru paling tidak ketenangan batin untuk mengakrabi
pengalaman pergulatan masa kuliah dengan menulisnya dalam perspektif yang baru.
Mencapai Puncak Ledalero,
Sebuah pengalaman pergulatan masa kuliah, adalah judul tulisan pengalaman ini
dengan sebuah pemahaman bahwa mencapai Sarjana Filsafat Katolik di Seminari
Tinggi Ledalero bagaikan mendaki puncak impian yang diraih dengan penuh
perjuangan menghadapi semua tantangan sesuai dengan kondisi saya saat itu.
Di usia 40 tahun ini saya
menyadari bahwa perjalanan hidup sejak saya keluar dari kampungku pertama kali
12 Juli 1982 menuju Seminari Pius XII Kisol, menyeberang lautan lepas menuju ke
Novisiat SVD Nenuk, menyeberang balik ke Flores Ledalero, bekerja di pada terus
mengembara sampai akhirnya kini berada telah 10 tahun di Larantuka Flores Timur, telah mengalami banyak keberhasilan dan kegagalan. Pengembaraan sejak
tahun 1982 sampai dengan saat ini Desember 2009, telah mendewasakan saya untuk
menulis tentang pengalaman kegagalan dan bagaimana bangkit dari kegagalan itu.
Hal ini dengan sengaja dilakukan karena bagiku kegagalan adalah guru yang
terbaik untuk memulai keberhasilan baru, dan banyak keberhasilan yang saya
terima berangkat dari pengalaman kegagalan.
Dikeluarkan
dari Frater, Mei 1992.
Perjalanan pendidikan saya di Lembaga
Pendidikan Calon Imam dimulai sejak tanggal 14 Juli 1983 masuk di Seminari menengah Pius XII Kisol. Di Kisol
selama 6 tahun kemudian dilanjutkan dengan Tahun Rohani selama satu tahun di
Novisiat SVD Nenuk. Dari Nenuk dilanjutkan ke Ledalero Novis II sekaligus mulai
kuliah Akademik tingkat I. Kurang lebih ada
62 orang Frater SVD masuk Novis II di Ledalero pada tahun
1991 setelah melewati Novis I di Nenuk- Atambua-Belu NTT. Pengalaman kehidupan
sebagai seorang Frater Novis baik di Nenuk maupun di Ledalero besama dengan
teman-teman tahun 1990 sampai dengan
tahun 1992 tidak ada yang luar biasa; dalam arti pengalaman yang mempersiapkan
saya untuk keluar dari Frater. Saya pun tidak pernah menduga bahwa pada
akhirnya pimpinan Novisiat SVD Ledalero
memvonis saya harus menarik diri dari Frater.
Mengakhiri pendidikan Tahun Rohani
dan menjelang pengucapan Kaul Pertama
para calon Imam diberikan kesempatan untuk merefleksikan diri serta memutuskan
untuk meneruskan kehidupan sebagai Calon Imam atau berhenti. Selain refleksi
pribadi kepada para Novis juga diberi kesempatan untuk saling menilai, menggunakan metode Votase[1].
Karena kami berjumlah 62 orang maka saya diberi kesempatan untuk menilai 61 orang teman Frater lainnya,
dan saya juga mendapat penilaian dari 61
teman yang lain. Kepada kami diberikan lembaran Votese yang memuat 24 point
komponen penilaian. Kurang lebih selama 2 minggu selama bulan Maret
sampai dengan April 1992 kami diberikan kesempatan untuk mengisi lembaran
penilaian sesama teman Frater tersebut. Setelah batas waktu yang ditentukan
seluruh lembaran penilain di serahkan kepada pimpinan Novisiat yang disebut
Magister. Kegiatan dilanjutkan dengan pertanggungjawaban
atas hasil penilain dengan istilah Ratio[2].
Giliran saya untuk Ratio terjadi pada tanggal 10 Mei 1992.
Ratio sebagai salah satu
metode bimbingan bagi para Frater oleh seorang Pembimbing Rohani bagi saya
adalah sesuatu yang sangat baik untuk mengenal diri baik yang kita sadari maupun yang kita tidak
sadari namun dilihat dan dialami oleh orang lain. Dari 24 point komponen yang
dinilai dalam Votasi
saya mendapat penilaian yang baik ada 16 point dan tidak baik ada 8 point. Dialog terjadi untuk
menanggapi hasil penilaian tersebut, Pembimbing memberikan kesempatan kepada
saya untuk mengklarifikasi hal yang
belum jelas baginya serta sebaliknya saya mempertanyakan hal-hal yang belum
jelas. Pada kesempatan Ratio ini pembimbing juga meminta pendapat saya untuk menentukan
apakah saya meneruskan perjalanan sebagai Calon Imam atau berhenti. Pada saat
itu saya dengan tegas dan tanpa ragu-ragu memutuskan bahwa saya mau meneruskan
perjalanan hidup saya sebagai calon Imam dan mau mengucapkan Kaul Pertama.
Pater Magister memberikan kesempatan kepada saya untuk refleksi kembali selama
dua minggu sambil menanti kegiatan Ratio teman-teman selesai semuanya.
Pertemuan Ratio Pertama pun selesai dan saya langsung berpikir dan membayangkan
bahwa saya layak untuk mengucapkan Kaul
Pertama yang direncanakan 1 Agustus 1992.
Lima belas hari kemudian tanggal 25
Mei 1992, jam 7 malam saya mendadak
diberitahu salah seorang teman untuk menghadap Magister Novisiat alm. Pater
Niko Hayon SVD[3]
pada jam 7 malam di kamarnya. Tanpa
memikirkan hal yang buruk terjadi saya langsung
menghadap sang Magister. Sang Magister mempersilahkan saya duduk dan mulai
membuka pembicaraan sebagai pengantar pertemuan Ratio kedua. Pater Niko Hayon
SVD (alm.) menjelaskan bahwa setelah melihat hasil Votase, Ratio dari
teman-teman serta pertimbangan pimpinan maka saya disimpulkan tidak layak untuk
meneruskan perjalanan hidup sebagai calon Imam. Untuk itu maka saya diminta
untuk mengundurkan diri, dan kalau tidak mengundurkan diri dengan tujuan
mencoba diri hidup di luar dulu sebagai awam biasa dan pada akhirnya kalau
masih ada niat untuk masuk lagi baru melamar diri dan lembaga SVD masih
menerima saya. Tetapi kalau memaksa diri untuk meneruskan hidup sebagai calon
imam maka akan dikeluarkan, dengan
demikian ketika ada niat untuk masuk biara SVD lagi maka pintu untuk saya di SVD akan tertutup. Betapa
terkejutnya saya mendengar keputusan ini. Sebagai manusia yang batinnya tidak dipersiapkan dengan baik
untuk menerima keputusan mendadak seperti ini saya marah dan protes. Saya
mempertanyakan kepada Magister alasan / kesalahan saya
yang menjadi dasar keputusan Magister dengan dua pilihan menarik diri
atau dikeluarkan.
Sang Magister dengan penuh kebapaanya memahami
kemarahan saya dan memberikan beberapa menit untuk saya menyampaiakn protes
tersebut. Ketika saya berhenti beribicara ia memberikan komentar bahwa ia
sungguh memahami apa yang saya rasakan dan sangat mengerti kalau saya marah dan
protes. Ia juga menjelaskan bahwa keputusan yang diambil pembimbing adalah
keputusan yang terbaik bagi kepribadian saya di kemudian hari. Ia menjelaskan
keputusan ini tidak ada kaitannya dengan Votase teman-teman sesama Novis,
tetapi lebih didasarkan pada penampilan saya setiap hari yang diamati oleh para
Frater Senior dan beberapa pastor yang turut mendampingi dan membimbing Frater
Novis. Cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara memandang, tingkah laku
mendorong para pengamat untuk menyimpulkan bahwa saya sesorang yang “Sex Appeal”[4]. Seseorang
yang mempunyai type kepribadian semacam ini mempunyai potensi untuk menarik
orang lain baik sejenis maupun lawan jenisnya. Sebagai seorang Frater dan Calon
Imam , type kepribadian yang saya miliki ini sangat menantang dalam
kehidupan berkomunitas, yang homogen. Karena itulah maka keputusan yang diambil
pembimbing adalah keputusan yang terbaik bagi saya menurut Pater Niko Hayon dan
diharapkan saya menerimanya dengan rendah hati.
Terus terang saya tidak
paham apa yang dimaksudkan sex appeal itu, dan bagaminan hal ini menantang
saya. Saya beragumentasi berpakaian,
cara berkomunikasi dan lain sebagainya. Mangapa itu baru diberitahu dan
langsung memvonis semacam itu. Saya juga sempat mempertanyakan apa peranan
pembimbing dalam type kepribadian semacam itu. Pater Magister malah menjawab
mengusulkan untuk menguji diri di luar adalah salah satu bimbingan yang
diberikan oleh pembimbing. Ia pun mengusulkan bahwa pembicaraan lanjutan saya
harus berhadapan dengan Pater Bernad Boli Uja[5]
yang saat itu masih di luar daerah dan baru kembali September 1992. Penjelasan
ini membuat saya terpukul dan tidak bisa berbuat apa-apa, penjelasan dari pater
Bernad Boli Uja, SVD baru saya terima bulan September 1992 sementara
teman-teman saya sudah berkaul Pertama
tanggal 1 Agustus 1992. Itu berarti secara tidak langsung Pater Niko
Hayon mau memberitahukan kepada saya bahwa saya tidak mengucapkan Kaul Kekal
seperti teman-teman yang lain dan saya memang sudah dikeluarkan.
Saya dengan rendah hati
memohon kepda Magister untuk memberikan pertimbangan lain, namun pater Niko
Hayon tetap pada keputusannya. Pembicaraan yang awalnya dialog anatar
pembimbing dan anak bimbingan akhirnya menjadi pertengkaran emosional ketika
Pater Magister mempercayai laporan teman-teman bahwa saya pernah melakukan
prakatek penyimpangan seksual seperti Homo Seks[6]
saat itu. Saya sangat marah karena saya difitnah dengan penilaian semacam ini. Saya
merasa terhina, karena tidak pernah melakukan seperti yang dilaporkan itu.
Dengan penuh emosi bahkan saya bersumpah demi Allah, bahwa saya tidak pernah
melakukan hal yang menyimpang itu dan penilaian teman-teman itu salah. Pater Niko
Hayon pun menjadi marah dan mengatakan bahwa diskusi saja pater Bernad Boli Uja,
SVD.
Saya akhirnya pasrah
mendengar pernyataan Pater Niko Hayon yang nampaknya melemparkan tanggungjawab
persoalan saya kepada Pater Bernad Boli Uja. Berbagai pikiran berkecamuk di
dalam hatiku namun ketika diminta untuk pulang dan meninggalkan kamarnya saya
sempat menyampaikan rasa menyesal atas
keputusan Pater yang tidak benar itu. Saya menyampaikan bahwa saya betul kecewa
kepadanya. Ia hanya menunduk dan diam, sampai saya berdiri dan meninggalkan
kamarnya.
Malam hari sepulang Ratio saya
tidak bisa tidur. Saya kecewa dengan teman-teman saya yang memfitnah saya. Saya
pun benci pada para pemimpin Novisiat yang begitu saja mempercayai laporan
teman-teman. Saya merenungkan kembali perjalanan panggilan saya seja tahun 1983
s/d 1992 saat keputusan diberhentikan ini terjadi. Ada rasa kecewa, penyesalan,
marah, terhina dan lain sebagainya bercampur menjadi satu. Saya tidak tidur memikirkan keputusan yang tidak
benar ini. Keesokan harinya ada rasa pemberontakan dalam diri, ada rasa
penyesalan mengapa memilih ordo SVD, dan jengkel dengan jubah sebagai Frater
SVD. Misa pagi hari saya tidak memakai jubah dan memacing reaksi teman-teman
dan Pater Niko Hayon. Beberapa teman dekat bertanya mengapa saya tidak memakai
jubah lalu saya menjelaskan tentang hasil Ratio semalam. Mereka pun kaget dan
tidak menduga hal itu terjadi pada saya. Saya hanya diam dan memberikan
penjelasan bahwa mungkin inilah kenyataan yang saya harus diterima.
Beberapa hari saya hanya
mengurung diri di kamar dan mulai tidak melibatkan diri dalam kegiatan bersama
para Frater Novis. Saya banyak berkonsultasi kepada beberapa Frater senior yang
saya percayai dan teman-teman novis lainnya. Mereka menghibur saya dan berusaha
meyakinkan saya untuk berpikir tenang dan harus bisa menerima kenyataan ini
walaupun sangat pahit. Walaupun sakit akhirnya berkat dukungan dan nasihat
temanteman saya berpikir tenang dan mulai menerima keputusan ini. Rasa kecewa
kepada Pater Niko Hayon SVD, serta para pemimpin Novisiat pun berangsur-angsur
reda. Setelah berpikir sedikit tenang, saya menghadap Pater Sebas Hobahana,SVD
sebagai salah seorang pimbiming para Novis saat itu untuk mendiskusikan hal-hal
persiapan kepergianku dari Novisiat. Dengan penuh kelembutan Pater Sebas
memberikan dukungan kepada saya walaupun saat ini tidak Frater tapi masih bisa
bertemu dan bersama-sama sebagai mahasiswa. Mengikuti keputusan pater Magister
I, maka saya diperbolehkan untuk membawa pergi dua jubah milik SVD itu siapa
tahu satu atau dua tahun kemudian aku berubah pikiran dan masuk kembali. Kepada
saya pun akan diberikan sejumlah uang untuk biaya pulang ke kampung serta
kebutuhan lain dalam perjalanan pulang. Kepada Pater sebas saya mengungkapkan menerima keputusan untuk menarik diri dan akan segera pulang ke kampung untuk
memberitahukan kepada orang tua dan pastor paroki, selanjutnya untuk memikirkan
kelanjutan kuliah.
Pagi hari tanggal 26 Mei
1996, saya berada untuk terakhir kalinya di Novisiat SVD ledalero. Pada
kesempatan makan pagi di Kamar makan Novisiat saya berdiri di depan teman
teman-teman untuk menyampaikan kata perpisahan. Saya menyampaikan terima kasih
kepada semua teman-teman Novis dan meminta maaf atas segala kelakuan saya yang
tidak berkenan dalam kehidupan bersama di Novisiat Ledalero. Saya juga
menyampaikan peneguhan kepada teman-teman untuk terus bertekun dalam panggilan
sebagai calon Imam. Setelah saya menyampaikan kata-kata perpisahan teman-teman
datang ke meja makan saya berjabatan tangan dan mengucapkan selamat berpisah
sebagai frater dan selamat menempuh hdiup baru di luar sebagai awam. Ada yang
meneteskan air mata dengan kepergian saya, namun saya tetap tegar untuk tidak
meneteskan air mata. Ketika kembali ke kamar pun masih ada teman yang datang
untuk membantu kemaskan barang sambil menunggu mobil jemput di Novisiat untuk
ke Ende.
Ketika menunggu mobil
seorang diri dan teman-teman sudah berada di ruangan kuliah, saya sempat
menuangkan semua perasaan detik-detik terakhir saya berada di Novisiat ledalero
dan merefleksikan keputusan yang telah dijatuhkan kepada saya dalam sebuah
puisi. Berikut adalah puisi yang saya tulis terakhir kali di kamarku di
Novisiat SVD Ledalero satu jam sebelum mobil yang menjemputkan pergi dari
Ledalero sebagai Frater tiba.
Di Gerbangmu Putih....
Ingin rasanya aku meneteskan
air mata
Merintih dalam tapak-tapak
berlalu
Meraung dalam desah napas
yang terpasung
Tetapi tidak........
Karena yang kudengar
Cuma
desau angin bisu pada dedaunan Keluh
Cuma
gemericik sepotong ranting kering terjatuh
Melintang
pada seonggokan baru di Bukit Mentari
Aku
pun tegak berdiri terpatri
Menantap
bidukku di bibir samudera
Merengkuh
kayuh meraih bayang
Memandang
jauh menembus kaki langit
Jiwaku
berpelukan mesra dengan kesendirian
Menelusuri
relung kalbu bergelora
Berpagut
tak lepas
Berguman
dalam diam
Cintaku
Kandas di Bukit Mentari.
Ledalero,
26 Mei 1992.[7]
Menanggalkan Jubah: Apa khabar Gembira? Bertemu Keluarga:Pergulatan
menuntut Kedewasaan Batin.
Kalau ada banyak keluarga
yang bangga karena anaknya ada di Seminari Menengah atau Seminari tinggi, maka
keluarga saya adalah salah satu di antaranya. Sesuatu yang wajar pada saat itu
bahwa mungkin sampai sekarang kalau masuk di Seminari menengah apalagi di
seminari tinggi maka banyak orang yang mendukung tidak hanya keluarga inti
Bapak, Mama serta Kakak dan Adik melainkan keluarga besar warga kampung, desa
paroki dan bahkan keuskupan. Ketika kita berada di seminari mereka banyak yang
mendukung dan menyumbang apa saja yang kita butuhkan, namun ketika kita
berhenti maka banyak pula umpatan dan cemoohan yang akan mereka lontarkan
kepada kita. Hal ini juga saya alami pada tahun 1992 segera setelah saya
berhenti dari Novisat SVD Ledalero.
Berbagai argumentasi saya
siapkan dalam perjalanan untuk memberitahukan kepada mereka tentang
pemberhentianku dari Frater. Saya menganalisa bagaimana tanggapan dan reaksi
mereka kalau mendengar aku keluar. Hasil analisa ini mendorong saya untuk
merancang berbagai alasan untuk dijawab kepada orang yang tepat. Sebab tidak
semua hal kita bisa menjelaskan secara sama kepada setiap penanya. Dalam
pergulatan batin untuk menghadapi keluarga ini saya terinspirasi dari refleksi
pengenalan diri saat berada di Novisiat SVD Nenuk tahun 1990 dalam sebuah pernyataan “jadilah diri anda
sendiri”. Yah... saya harus menjadi diri
saya sendiri. Keluarga, sahabat, kenalan yang mendukung saya untuk tetap berada
di seminari dan menjadi Imam adalah sebuah kondisi sosial yang hanya sebagai
peran pendukung, sedangkan keputusan ada pada diri saya. Keputusan telah saya
ambil bahwa saya berhenti terlepas dari bagaimana proses sampai keputusan itu
dijatuhkan. Saya harus mencintai dan berdamai dengan keputusan yang telah
diambil dan siap menerima semua konsekwensi sebagai akibatnya.
Berbekalkan permenungan
ini saya terus melangkah menghadapi keluarga baik keluarga inti maupun keluarga
besar. Pergulatan pertama menghadapi keluarga Mama Yus Warut di Kumba Ruteng
yang sangat mendukung saya sejak seminari menengah sampai seminari tinggi.[8] Kepada
Mama Yus sekeluarga saya menjelaskan tentang keputusan saya berhenti dari
Frater. Walau pun agak kecewa pada akhirnya mereka memahami dan menerima
keputusan saya. Seterusnya saya bertemu
dan melaporkan kepada Pater Provinisial SVD Ruteng untuk menginformasikan bahwa
saya tidak melamar untuk mengucapkan
Kaul Pertama pada bulan Agustus 1992. Pater provinsial SVD Ruteng, tidak banyak
komentar karena sebelum saya sampai di Ruteng ia mendapatkan informasi dari
Ledalero bahwa saya mengundurkan diri. Mungkin ia tahu proeses kepergian saya
dari Ledalero, sehingga ia menganjurkan kalau saya bisa Pastor Paroki Benteng
Jawa, kalau-kalau ia ada pikiran lain terhadap
panggilan saya.
Kurang lebih 4 hari saya
berada di Ruteng tinggal di Mama Yus Warut sekeluarga sambil memantau reaksi
Orang Tua saya di kampung Kedel desa Watu Lanur kecamatan Poco Ranaka. Saya
mengambil keputusan untuk tidak ke Kampung tetapi langsung ke Paroki Benteng
Jawa bertemu dan melaporkan kepada Pastor paroki Benteng Jawa Rm. Laurensius
Sopang Pr, saat itu. Setelah saya melaporkan kepada Bliau tentang proses sampai
saya mengambil keputusan untuk mengundurkan diri, ia memahami dan mengajak saya
untuk tinggal di Paroki bersamanya sampai kemarahan orang tua dan keluarga
mereda. Satu Minggu saya ada di Benteng Jawa tinggal dengan
pastor Paroki. Keluarga dari kampung pun datang bertemu saya di paroki dan
menyampaikan kalau mereka sudah menerima apapun keputusan saya. Pada saat yang
sama telah berkembang isu yang bermacam-macam, salah satunya bahwa saya telah menjadi gila karena stress
keluar dari Frater, ada pula isu yang mengatakan bahwa saya keluar dari Frater
karena masalah dengan perempuan bahkan saat ini saya telah menghilang dengan
membawa lari seorang perempuan dan lain sebagainya. Terhadap isu ini saya
biarkan saja berkembang karena tidak ada gunanya bagi saya untuk membela diri
dan memberikan klarifikasi. Saya berpikir ini bagian dari konsekwensi sebuah keputusan yang telah ambil.
Setelah seminggu mendapat peneguhan dari
Pastor Paroki akhirnya saya pergi ke kampung bertemua orang tua dan keluarga
besar kampung Kedel. Ketika saya masuk ke rumah Bapak saya (alm.) Andreas
Subang tidak menyahut ucapan selamat
sore dari saya. Saya meletakan tas pakaian kemudian duduk di meja berhadapan
dengannya. Saya pun diam dan tidak mengatkan apa-apa, untuk menghilangkan
kegugupan saya menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya pelan-pelan dan
melepaskan asap bersamaan dengan napas yang sangat tersesak. “Coo tara pikir
laing lau mose hook ta, eme toe nganceng sekolah bom toe manga galung agu poong
kopi...., eme ituy kali tein le Morin,
emo dopo hituk ga. Coo tara putus asa laing lau..”,[9]
Bapak Andreas Subang membuka pembicaraan sore itu, yang langsung disambut Mama Helena Lenos dengan
nada yang sama, serta kaka dan adik-adik
saya. Keluarga dekat dan tetanggapun datang dan meneguhkan saya. Hampir semua
yang datang sore itu memahami perasaan saya sehingga semua mereka menyampaikan
ungkapan peneguhan. Saya hanya menangis dan tertunduk tidak bisa mengungkapkan
perasaan dari rasa takut kepada rasa terharu atas solider mereka. Saya akhirnya
hanya menyampaikan mohon maaf dan terima kasih kepada Bapak Mama serta keluarga
yang datang dan mengungkapkan sebenarnya saya malu untuk bertemu mereka. Saya
pun akhirnya menceriterakan kepada mereka kronologis peristiwa sampai saya
memutuskan untuk berhenti dari Frater. Ceritera saya ini memberikan klarifikasi
bagi mereka tentang isu-isu yang telah berkembang di kampung dan sekitarnya.
Mereka pun memahami dan menerima saya dengan memberikan peneguhan-peneguhan.
Saya bahagia karena mereka menerima dan memahami saya apa adanya.
Menghadapi keluarga besar kampung Kedel, kenalan serta teman-teman setelah berhenti dari Frater
memang sungguh berat. Berbagai tanggapan
terjadi ada yang merasa menyesal, ada yang tidak berkomentar, dan ada pula yang
menyatakan kapok. Semua peristiwa ini saya Saya alami kurang lebih 3 minggu. Saya hanya diam dan lebih banyak
berada dalam rumah dan kalaupun keluar rumah hanya pergi kepada keluarga yang
mempunyai hubungan darah dekat dan telah memahami keberadaan saya. Memutuskan
untuk diam dan lebih banyak berada dalam rumah mendorong saya untuk lebih
banyak merefleksikan perjalanan hidup saya sebelumnya dan merencanakan perjalanan
ke depan. Beberapa buku karangan Khalil Gibran menjadi teman dalam kesendirian
saya dan menimba kekuatan untuk bertekat terus berjuang apapun tantangan yang
saya hadapi. Saya juga menganalisa kekuatan orang tua untuk membiayai kuliah
saya, makan minum serta kebutuhan lain kalau saya melanjutkan kuliah entah di
Ledalero atau di tempat lain. Saya teringat akan pengalaman buruk pada bulan
Januari 1985, dimana saya dan Bapak dipermalukan pagi-pagi oleh seorang rentenir (pinjaman dengan bunga
100% selama 7 bulan) ketika hendak meminjam uangnya untuk membiayai sekolahku
di SMP Seminari Kisol.[10]
Bagaimana Bapak menjual dengan murah sebuah kebun kopi untuk membiayai
Sekolahku tahun terakhir di SMA Seminari Pius XII Kisol.[11] Banyak
hal lagi yang saya refleksikan dan
mengarahkan saya pada sebuah kesimpulan tidak mungkin melanjutkan kuliah dengan
mengharapkan biaya dari orang tua.
Saya juga mereflkesikan
bagaimana pengalaman yang telah buat untuk mendapatkan uang untuk membiayai
sekolah sejak SD sampai SMA. Saya teringat pengalaman menjual Periuk dan Kuali
dari tanah liat untuk membeli seragam
merah hati menjelang ujian akhir di SD[12],
memanfaatkan waktu Liburan panjang saat SMP di Seminari Kisol, kerja potong dan
Rontok padi di Borong[13],
saya teringat pengalaman memanfaatkan waktu liburan panjang untuk bekerja
menyabit dan rontoh padi di Dampek pada tahun 1988[14], bagaimana
menjahit sepatu robek saat di Seminari kisol[15]
dan lain sebagainya. Semua pengalamanku bagaimana mencari uang untuk melengkapi
kebutuhan hidup selama sekolah mengarakah saya saya pada kesimpulan bahwa saya
mampu membiayai kuliah dengan mencari uang sendiri. Saya akhirnya optimis akan
pengetahuan dan keterampilan yang saya dapat selama saya di Novisiat bisa saya
gunakan untuk mencari uang sambil kuliah. Optimisme ini begitu besar ketika
menyaksikan beberapa teman SD saya yang kuliah di Ujung Pandang dengan biaya
sendiri. Kalau mereka bisa maka saya pun pasti bisa, asal saya mengiktui jejak
mereka. Karena itu dalam hati saya memutuskan untuk kuliah di Ujung Pandang.
Tibalah suatu hari setelah
sebulan lebih berada di kampung, Bapak dan Mama memanggil saya dan bertanya
bagaiaman kelanjutan rencana saya. Kuliah terus atau berhenti dan tinggal di
Kampung. Bapak juga memberikan pertimbangan biaya kuliah dan lain sebagainya
untuk saya mengambil keputusan yang tepat dan tidak menambah kekecewaan baru. Bahkan
Bapakku bernostalgia bahwa sebenarnya dulu
ia menginginkan aku untuk SPG, tapi saya memilihnya ke Seminari dan kini gagal.
Bapak menyerahkan keputusan pada saya namun juga menyadari bahwa mereka tidak
punya uang. Kalau pun memaksa diri maka akan menjual tanah Kopi dan sawah yang
tersisa dan itu tidak mungkin. Kepada Bapa dan Mama saya menyatakan bahwa saya
akan meneruskan kuliah dan berusaha untuk membiayainya sendiri. Saya harus
mendapat kerja dulu baru meneruskan kuliah. Mendengar pernyataan saya ini
Bapakku hanya mengatakan bahwa saya sudah dewasa untuk mengambil keputusan yang
terbaik. Kalau merasa tidak mampu jangan memaksa diri. Tanah ladang, kebun kopi
dan tanah sawah sudah tersedia, bila mampu mengelola dan merawatnya secara baik
pasit bisa menghidupi diri sendiri dan anak-anak. Pernyataan Bapak didukung oleh
pernyataan Mama saya.
Saya menjawab Bapak dan
Mama agar memberikan saya kesempatan untuk berjuang sendiri, kalau saya tidak
mampu baru saya akan menginformasikannya kepada mereka. Saya pun tidak memberi
tahukan rencana saya kepada mereka ketika mereka tanya, saya Cuma
memberitahukan bahwa saya ke Maumere untuk membereskan hal yang perlu seperti
mengambil ijazah dan urusan lain setelah
itu baru saya kabarkan kepada mereka melalui surat. Mereka pun setuju alasan
saya dan mempersiapkan uang untuk aku pergi dan pulang Maumere.
Tanggal 25 Juli 1992 berbekalkan
uang Rp.80.000 pemberian orang tua hasil jual Kopi, saya pergi dari kampung kedel menuju Ruteng. Saya
berada di Kumba – Ruteng di keluarga Mama Yus Warut, dimana saya biasanya
berada sejak SMA Seminari Kisol. Dengan
penuh keibuannya Mama Yus memberikan nasihat kepadaku dan memberikan pikiran kalau
aku tidak perlu pindah sekolah tapi meneruskan kuliah yang sudah mulai di
Ledalero. Ketika saya memberikan alasan biaya Mama Yus menjelaskan semua orang
tua mengalami kesulitan membiayai
anaknya kuliah tapi pada akhirnya ada jalan. Hal ini membuat saya
memberikan mempertimbangkan baru atas
niat yang saya pikirkan. Peneguhan senada juga disampaikan oleh Erna Dalung
seorang mahasiswi STKIP Ruteng.[16] Mengenai biaya kuliah Erna mengusulkan agar
saya menulis di Koran atau usaha lain karena kuliah mahasiswa biasa lebih
bebas. Erna meminjamkan saya sebuah mesin ketik untuk mengetik artikel yang saya hasilkan. Pernyataan
Erna didukung oleh kakakya Ris Dalung yang saat itu berlibur ke Manggarai dan
hendak pulang ke Timor. Singkatnya banyak
anggota keluarga dan kenalan saya yang bertemu beberapa hari menjelang
keberangkatanku ke Maumere menganjurkan agar saya meneruskan kuliah di
Ledalero. Saya akhirnya menjelaskan kepada mereka bahwa semua keputusan akan saya pastikan
setelah saya tiba di Ledalero.
Perjalanan orang susah,
penuh kepasrahan pada Tuhan serta didukung doa orang tua, keluarga dan sahabat
kenalan, pasti mendapat banyak rejeki. Begitulah yang saya refleksikan
perjalanan saya keluar dari Ruteng pada tanggal 27 Juli dan tiba di Maumere 29
Juli 1992. Mama Yus Warut menyiapkan berbagai oleh-oleh berupa kompyang dan
rebok[17]
sebagaimana biasanya ia lakukan ketika saya masih di seminari dan memberikan
uang Rp.15.000 untuk sewa bus. Dalam perjalanan Ruteng – Ende semua biaya
kendaraan dan makan minum sampai penginapan di Hotel H.Manzur Ende ditanggung
keluarga Ibu Ris Dalung. Perjalanan Ende Maumere dalam Bus saya berekanalan
dengan Bapak Frans Kedang asal Reo manggarai yang bekerja sudah lama di
Ujung Pandang pada perusahaan Besi Baja[18]. Entah bagaimana perkenalan ini dilanjutkan
dengan ceritera pengalaman masing-masing. Bapak Frans menceritakan pengalaman
merantaunya di Ujung pandang sampai ia mendapatkan pekerjaan yang bagus saat
itu. Saya pun akhirnya menceriterakan kondisi saya yang sementara digeluti dan rencana yang akan saya lakukan setalah
tiba di Maumere. Di akhir ceritera saya ia menyatakan sangat paham dengan perasaan saya karena ia
juga pernah mengalami kondisi yang seperti saya alami walaupun tidak persis
sama. Ia pun memberikan nasehat supaya saya menghadapinya dengan penuh
kesabaran dan jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Biaya makan siang di
Wolowaru dibayar Bapak Frans Kedang bahkanketika saya turun di Wairpelit ia sempat memberikan saya uang Rp.20.000 dan
memberitahukan bahwa biaya Bus Ende-Maumere telah dibayarnya. Saya hanya
menyampaikan terimakasih banyak kepadanya lalu turun di Asrama.
Sore hari tanggal
29 Juli 1992, saya masuk diasrama Wairpelit dan menumpang sementara di salah
satu kamar yang kosong. Saya berkenalan dengan Bapak Bene Taek, dan Bapak
Donatus Tahu, dua orang mahasiswa senior yang telah berada lama di asrama
Thomas Morus-Wairpelit. Saya
memperkenalkan diri kepada mereka berdua dan mereka pun menyambut saya dengan
penuh persahabatan. Saya menjelaskan
kepada mereka bahwa saya tidak membawa apa-apa karena belum ada kepastian
apakah saya jadi kuliah atau tidak.
Mereka memahami keberadaan saya, dan malam itu mereka mengajak saya makan malam bersama mereka. Setelah makan
malam kami duduk cerita dan beberapa mahasiswa yang lain pun datang duduk
bersama. Mereka membagi pengalaman mereka bagaimana perasaan awal sebagai
mahasiswa awam seperti yang saya alami. Entah mereka memahami perasaan saya
sehingga pada malam itu mereka banyak bercerita tentang bahagianya hidup sebagai
mahasiswa awam.
Setelah makan malam saya
diminta untuk menemui Bapak Frans Harun sebagai ketua asrama St.Thomas Morus
Wairpelit. Saya memperkenalkan diri sebagai calon penghuni asrama yang
diteruskan dengan sharing pengalaman masing-masing. Frans Harun meneguhkan saya
mengatakan keputusan yang saya ambil adalah keputusan yang terbaik. Ia
mengkalukalsikan untuk dan ruginya keluar lebih awal dibandingkan keluar setelah jadi Imam. Berkaitan dengan masalah
ketidakmampuan orang tua membiayai kuliah ia menjelaskan bahwa hampir semua
yang mahasiswa di Wisma Thomas Morus mengalami kesulitan. Namun Pembimbing
Mahasiswa eks frater Pater Kirch Berger,
SVD selalu membantu untuk meringankan persoalan tersebut. Kuncinya adalah jujur
dan katakan apa adanya pada Pater Krich. Wisma St.Thomas Morus adalah milikinya yang
bertujuan untuk memberikan kenyamanan bagi mahasiswa yang keluar dari Frater
dan ingin meneruskan kuliah di Ledalero. Penjelasan Frans Harun mendorong saya
akhirnya mulai merubah niatku ketika keluar dari kampung.
Bertahan dan Kecewa dengan tradisi
sekolah Keputusan Melanjutkan Kuliah di Ledalero.
Dua hari berikutnya berada di asrma Wairpelit, saya sering
bergulat dengan pikiran untuk melanjutkan kuliah di Ledalero atau merantau ke
Ujung Pandang. Berbagai pertimbangan dan
kelakulasi untung rugi timbul dari dalam hati dan pikiranku. Terkadang kekecewaan, penyesalan mengapa dulu memilih menjadi Frater, ada juga muncul rasa
dendam kepada teman-teman Novisiat yang memfitnah saya sehingga harus diberhentikan
dari Frater dan lain sebagainya. Pikiranku juga bergulat dengan nasihat keluarga, teman dekat dan kenalan. “ Apa lagi yang perlu
dipertimbangkan?” pertanyaan batinku.
“Jadilah diri anda sendiri...”, demikian
batin saya kembali bersuara, seakan memnggugat
kebingunan dan pergulatanku yang telalu panjang. Pernyataan ini seakan menyuruh saya untuk
menentukan keputusan yang baik menurut diri saya sendiri dan bukan menurut
orang lain.
Suatu sore ketika saya pulang jalan-jalan dari kampung
Gere untuk melepaskan kepenatan dan kekalutan pikiranku, tak sengaja saya berpapasan
dan bertemu dengan Pater Kirch di samping Museum Ledalero. Mungkin karena saya
jalan menunduk sehingga tidak tahu ia datang dari mana dan kini ia berdiri
tepat di depanku. Saya mengucapkan selamat sore, dengan kata-kata yang agak
kaku karena sudah beberapa bulan tidak bertemu Pater di Ruang Kuliah. Dengan
senyum kebapaanya ia membalas sapaan saya seraya menepuk punggung saya dan berkata,
“Frans lama sekali kamu libur dengan
orang tua. Kamu ke mana saja selama di Manggarai...” belum sempat saya jawab ia
meneruskan pembicaraannya “saya sudah dapat berita dari Frans Harun bahwa kamu
sudah masuk di Wismta Thomas Morus nanti kita bertemu di bawah”. Saya pun
menjawab dan menjelaskan tentang kamarku yang numpang sementara sebelum
ada pertemuan bersama dengan teman-teman
lain. Ia juga telah mendapat informasi tentang saya dengan segala pergulatan
saya dari Bapak Frans Harun, ketua asrama. Karena itu ia menasehati saya supaya
jangan berpikir susah keluar dari Frater, karena tamatan awam Ledalero masih banyak dibutuhkan
oleh masyarakat. Soal kesulitan biaya dan lain sebagainya ia menjanjikan agar
berbicara tersendiri dengannya setelah kuliah dimulai. Ia menegaskan pula sebaiknya
saya melanjtukan kuliah di Ledalero dan usah pikir yang macam-macam. Pertemuan
dengan Pater Kirch sore itu seakan menjawab
semua pergulatanku. Dengan penuh syukur saya menyampaikan ucapan terima kasih
kepadanya lalu masing-masing kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Saya
terus melangkah menuruni bukit Ledalero sambil membualtkan tekat memutuskan untuk melanjutkan kuliah di
Ledalero dan melupakan impian ke Ujung Pandang.
Setelah saya sampai di
asrama Thomas Morus, akhirnya saya bulatkan tekat untuk meneruskan kuliah di
Ledalero. Keesokan harinya saya pergi ke Maumere belanja semua kebutuhan asrama seperti peralatan
dapur dan kebutuhan rumah tangga sebagai seorang mahasiswa. Hari-hari selanjutnya saya mulai
membenahi kamar dan buku-buku kuliah
serta catatan yang masih ada sejak berada di Frater bahkan ada yang dibawa dari
SMA seminari. Sampai kuliah tingkat II di mulai awal september saya telah berdamai
dengang situasi di lingkungan asrama dan dan warga sekitar.
Balajar Pola Hidup baru.
Sebagai seorang yang telah lama dididik dalam seminari[19],
dimana banyak kemudahan soal hidup rumah
tangga/soal makan minum, saya sadari bahwa saya mesti banyak belajar.Berkaitan
dengan hidup rumah tangga asrama, pelajaran pertama yang berharga adalah bagaimana menyalakan konfor
untuk memasak. Orang yang berjada mengajarkan saya pertama adalah Bapak
Bene Taek. Dengan senyum dan kesabaranya ia mengajarkan
bagaimana mengisi minyak tanah dalam konfor, menyalakannya, memperbesar
dan mengecilkan nyala api sesuai kebutuhan masak. Ia juga mengajarkan cara menarik
sumbu konfor kalau sudah pendek, atau menggantikan sumbu yang sudah tidak berfungsi lagi. Bersama dengan Bapak Donatus Tahu Nahak,
bapak Bene Taek mengajarkan saya masak nasi,
sayur, menggoreng bawang, goreng ikan Kering, menggoreng ikan mentah,
memasak sarimi dan lain sebagainya.
Singkatnya Bapak Bene Taek dan Bapak Don Tahu Nahak menjadi guruku dalam
memasak pada awal kehidupanku sebagai mahasiswa awam.
Selain pengalaman belajar memasak, saya juga baru
merasakan iklim kehidupan bebas setelah
9 tahun tahun hidup dalam bingkai aturan di seminari menengah dan
semintari tinggi yang ekstra ketat. Dari bangun tidur sampai tidur berikutnya
sudah ada pembagian waktu yang begitu rapih dan taat untuk dilaksanakan. Sejak bulan Agustus 1992 saya tidak merasakan
hal yang penuh dengan keketatan itu lagi. Saya berada Iklim kebebasan yang bisa ditentukan sendiri
apa yang perlu dilakukan dalam satu hari. Keterikatan waktu saya alami hanya
saat kuliah, sedangkan setelah kuliah sampai besok jam kuliah berikutnya tidak
ada yang mengontrol dan tidak ada yang mengaturnya. Bagi saya ini peluang yang
sangat baik ketika aku berniat untuk mencari uang sambil kuliah untuk membiayai
hidup, sementara uang kuliah telah sepakat untuk meminjamnya dari pater Kirch
dan akan dibayar setelah selesai kuliah.
Beberapa kegiatan yang
penah aku lakukan pada tahun 1992 sebagai tahun awal aku belajar mencari uang
sambil kuliah di Ledalero antara lain. Pertama,
belajar menulis artikel dan puisi-puisi. Salah satu kegemaran saya adalah
membuat refleksi pribadi yang hasilnya berupa Narasi, maupun puisi untuk
mengungkapkan apa saja yang saya rasakan dalam satu hari, satu minggu atau satu
bulan. Berbagai macam puisi yang saya hasilkan
untuk mengungkapkan rasa gembira, kecewa, cinta dan sayang pada seorang
gadis dan pada suatu kondisi alam dan lain sebagainya. Saya pun sempat belajar
menulis beberapa artikel untuk mengisi kesibukan malam hari. Namun kegiatan ini
akhirnya tidak mempunyai hasil yang mendatangkan uang. Dari sekia banyak puisi
tidak ada satu pun yang dikirim ke Media
massa. Sedangkan dari semua artikel yang saya buat hanya satu saja yang
sempat dimuat di Majalah DIAN yang berjudul “Cing Coleng, tempat Ziarah dan
Tempat Wisata”[20].
Untuk tulisan ini saya mendapatkan uang Rp.24.000 pada saat itu. Saya akhirnya
berhenti menulis artikel. Kedua, Menanam sayur. Melihat kondisi tanah di
sekitar asrama di Wairpelit yang nampaknya subur, saya memutuskan untuk
memanfaatkan dua petak tanah Bapak Tanus[21]
untuk menanam sayur. Setelah saya meminta padanya saya membuat pagar, membuat
bedengan serta memelihara sayur sawi bunga dan sawi besar. Pada akhirnya hasil
sayur ini bukan untuk mendapatkan uang tetapi dipetik untuk dikonsumsi sendiri
bahkan ada beberapa teman se asrama yang memetik hasilnya dengan tidak
menghiraukan bahwa aku bertujuan mencari uang. Pelihara sayurpun berhenti. Dua
cara untuk mencari uang ini bagiku gagal membuat saya kebingungan dan tidak
tahu harus buat apa
Akhirnya saya september 1992, saya pergi menemui Pater
Kirch meminta uang untuk membayar matakuliah ujian Negara dan SPP tahun pertama
kuliahku sebagai awam dan masuk tingkat II. Pater Kirch tidak hanya memberikan uang
untuk kebutuhan kuliah tetapi ia juga memberikan tambahan uang sebesar Rp.15.000
untuk beli beras selama satu bulan. Adanya bantuan uang dari Pater Kirch
setiap bulan untuk beli beras Rp.15.000, membuat saya terbebaskan dari pikiran
uang makan yang diwajibkan stor dalam kelompok masak di asrama[22].
Kehidupanku sepulang
kuliah selanjutnya lebih banyak tidak terarah.
Asrama hanyalah tempat untuk menumpahkan kecapaian di malam hari. Saya sering keluar asrama tidak tentu arah,
Maumere, Lela, dan kampung-kampung sekitarnya mengikuti teman-teman atau inisiatif sendiri. Saya sering bersama Egy Suwandi, seorang Perawat tamatan SPK lela
yang bekerja di Poliklinik Ledalero[23]. Kedekatan
hubungan keluarga dan juga mempunyai kecendrungan yang sama kami sering pergi bersama. Mengunjungi keluarga di
Lela, maumere dan lain sebagainya bahkan mengunjungi teman perempuan pun
bersama-sama. Kadang bermalam di Lela, atau maumere, pagi-pagi baru datang singgah di asrama ambil buku kuliah dan ia ke
Poliklinik untuk berkerja. Keberadaanya di poliklinik Ledalero turut membantu
meringankan biaya hidup harianku. Bersama dia saya akhirnya mengetahui banyak
keluarga di Maumere yang punya hubungan darah dengan saya.
Selain Egy saya juga merasa beruntung karena bertemu
dengan Willu Gusman[24]
masih mempunyai hubungan darah sama dengan Egy. Kami berdua adalah teman kelas di SD selama 6 tahun. Sama-sama juga testing seminari tetapi ia
tidak lulus karena itu selama 9 tahun kami pisah. Pertemuan dengan Willy Gusman
yang sama-sama mempunyai hoby sepak bola membuat saya membangun relasa lebih
luas di Maumere dalam bermain Bolakaki.[25] Saya menjadi salah seorang pemian di Klub
Rumah Sakit Maumere saat itu, dan seterusnya
masuk Klub Spider yang diasuh Bapak
Fidelis Peranda, Dr, Henyo Kerong dan beberapa pejabat lainnya di Maumere saat
itu. Prestasi saya dalam bermain bola kaki
sejak seminari menengah seakan mendapat tempat yang pas ketika sebagai
mahasiswa awam di Ledalero untuk berkenalan dengan masyarakat luas Maumere
pencinta bola kaki. Pada akhirnya pelatih saya Bapak Paul Ladapase mengorbitkan
saya menjadi pemain Yunior PERSAMI[26]
pada tahun 1992/1993. Maumere. Aktivitas
bola kaki ini membuat saya banyak berkenalan dengan para pejabat pencinta bola
kaki di Maumere. Selama kegiatan pelatihan dan pertandingan saya selalu
mendapat hadiah entah baju atau sepatu Bola kaki. Para pengasuh juga sering
memberikan saya uang untuk transpotasi pulang pergi Maumere ketika ada
pelatihan atau pertandingan uji coba antar klub.
Singkatnya Agustus s/d
Desember 1992 pola hidup baru yang saya pelajari sebagai tahun awal hidup
sebagai mahasiswa awam dipenuhi dengan berbagai aktivitas sebagai aktualisasi
diri. Banyaknya relasi yang terbangun, adanya pengakuan atas kemampuan dan
diberi peluang untuk berkembang, membuat saya akhirnya merasa beruntung
berhenti dari Frater dan meneruskan kuliah di Ledalero. Rasa dendam dan kecewa
terhadap teman-teman frater pelan-pelan hilang, apalagi beberapa frater
seangkatan saya di Novisiat mulai
mengakui kemampuan saya, bahkan ada yang datang menyampaikan bahwa dulu
mereka keliru menilai saya.
Walaupun banyak kesibukan
saya berusaha tidak pernah absen mengikuti kuliah. Bahkan kalau ada kegiatan
yang terpaksa tidur di luar Kota Maumere saya meminta kepada pelatih untuk
menyiapkan kendaraan khusus bagi saya ke tempat kuliah pagi hari. Saya berusaha untuk tidak Her dalam ujian,
selalu mencari teman-teman frater yang lebih mampu untuk berdiskusi mata
pelajaran yang belum saya pahami. Kalau istirahat jam kuliah saya selalu
berdiskusi dengan teman-teman frater lebih-lebih kepada mereka yang saya
curigai memberikan penilain buruk kepada saya. Mereka pun tidak kikir
pengetahuan yang mereka pahami untuk dibagikan kepada saya.
Satu hal lagi yang saya
perjuangkan sejak awal kuliah sebagai awam adalah menjaga relasi yang baik dengan perempuan. Sebagai mahasiswa
awam, dengan berbagai aktivitas bermain
bolakaki, dan kemampuan membangun relasi, saya sadari bahwa saya mempunyai
banyak teman perempuan bahkan ada di antaranya yang saya anggap pacar. Namun
dalam pergaulan dengan mereka saya selalu menjaga etika yang baik dan sopan
sehingga tidak menimbulkan keresahan bagi orang lain.
Tambahan lagi saya super sibuk dengan berbagai kegiatan di sore hari dan
hari minggu mendorong saya hampir tidak ada kesempatan untuk berpacaran.
Gempa 12 Desember 1992 : Aku selamat
dari Tanah Longsor.
Tak mungkin terlupakan!. Hari
itu sabtu tanggal 12 Desember 1992. Kami mengikuti kuliah terakhir
mata kuliah Islamologi I. Jam kuliah berikutnya tidak dilaksanakan
karena Dosen tidak berada di tempat. Karenanya kami tingka II bubar kuliah kurang lebih jam 10 siang. Karena
ini hari sabtu dan tidak ada Pelatihan Bola Kaki sore itu di maumere, maka saya
langsung ke asramanya Egy Suwandi di Poliklinik Ledalero. Ia begitu bersemangat
ketika saya mengatakan bahwa tidak ada latihan Bola Kaki di Maumere sore,
karena biasanya saya ada latihan dan hari minggu pagi baru pulang. Kami akhirnya bersepakat untuk ke SPK Lela
bertemu pacarnya yang sudah sebulan
tidak bertemu. Sekalian kami bisa
menghabiskan waktu bersama Keluarga di lela malam minggu dan bisa pulang besok
sore. Dengan segera kami ke luar jalan menunggu Bemo tujuan ke Lela. Tiba di
Lela kurang lebih jam setengah 12 siang.
Setelah makan siang di rumah Egy[27]
di lela dan menyampaikan bahwa kami bermalam kami terus ke Rumah Sakit St.Elisabeth Lela. Kami
sempat berbindang dengan Bidan Ety[28]
di ruangan jaganya sambil menunggu pacar Egy
selesai bertugas. Setelah beberapa menit kami menunggu Pacarnya Egy pun
datang. Sebagai seorang teman saya asyik ngobrol dengan Bidan Ety, dan mereka
berdua jauh dari penglihatan saya. Kurang lebih 15 menit Egy sudah kembali dan
mengajak saya untuk pulang ke rumah. Saya tidak bertanya apa yang terjadi
antara mereka karena nampaknya wajah Egy cemberut. Kami pun pamit dengan Bidan
Ety dan langsung menuju ke rumah Egy. Di rumah Egy pun kami tidak lama hanya
untuk pamit pulang dan batal rencana bermalam.
Gempa terjadi ketika Egy masih ada di dalam rumahnya dan saya sudah di luar rumah, menuju jalan
raya menunggu Bemo ke Maumere. Goncangan gempa yang begitu dasyat terjadi
dengan tiba-tiba membuat kami panik. Beberapa pohon kelapa rebah dan tiang
listrik terjungkal. Beberapa buah batako dari sebuah rumah dekat saya berdiri
terlempar ke tanah dan terdengar bunyi rumah yang rubuh. Dalam keadaan panik
karena goncangan yang dasyat saya berlindung dan memeluk pohon kerara muda di
pinggir jalan. Egy dan anggota keluarga yang baru saja selesai makan siang
berhamburan keluar mencari perlindungan masing-masing. Kira-kira 3 menit gempa berkekuatan dasyat itu
menggetarkan bumi Lela, dan sekejab memporak-porandakan bangunan sekitar kami
berada. Ketika reda sesaat, nampak laut bergemuruh
menambah kepanikan saya yang tidak
berada dengan siapa pun. Tiba-tiba Egy datang dengan lari sambil lompat
melewati tiang listirk dan batako yang berserakan di lorong dan menarik tangan saya yang masih berpelukan
dengan pohon kerara untuk segera berlari mencari temat yang aman dari gelombang
laut yang mungkin akan meninggi. Kami pun sepakat untuk berlari pulang ke
Ledalero.
Setibanya kami di jalan terdengar ada
bunyi kendaraan lari dengan cepat dengan bel yang panjang. Kami berhenti dan
melompat ke dalam mobil untuk lari bersama. Betapa terkejutnya kami karena di
dalam Truck tersebut ada dua orang perawat sedang memangku Bidan Ety yang
tadinya berbixara dengan kami di rumah sakit. Dengan histeris ia meminta
pertolongan kami karena kedua kakinya patah ditindis reruntuah tembok di rumah
sakit. Saya dan Egy dalam keadaan panik dan rasa kasihan bersama dua perawat
yang lain mengatur posisi duduk Bidan Ety agar mengurangi rasa sakit, selagi kendaraan
pun melaju terus. Tidak seberapa jauh kami berjalan yang bergulat dengan
gempa-gempa susulan yang juga sangat dasyat mobil terhenti karena ada
reruntuhan yang menutupi jalan.
Kami pun panik dan tidak
tahu harus berbuat apa, dengan tidak memperhitungkan soal kemanusiaan karena
ada yang sakit, kami berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Dengan sigap
kami lompat dari kendaraan bergulat dengan gempa-gempa susulan kami berjalan
kaki dari Lela Pantai Selatan Sikka menuju Ledalero. Target pertama mencari
tempat selamat adalah di Hepang jalan
umum Maumere – ende di sana tempat yang agak tinggi dan jauh dari laut. Saya
dan Egy berbeda dalam kecepatan, Egy sangat cepat dalam berlari sementara saya
agak berat karena memakai sendal sepatu dan beberapa kali ditinggalkan. Akhirnya
saya memutuskan untuk menanggalkan sendal dan memegangnya sambil berlari. Kami
telah jauh berlari dari Lela dan kini kami berada di Bang Boler
wilayah berbahaya. Sebelah kanan
jalan terbentang tebing dengan kondisi tanah berpasir sehingga mudah
runtuh. Sebelah kiri jalan kondisi miring dan langung berhubungan dengan kali
mati. Kondisi alam memang sungguh sulit dan berbahaya, tetapi kami harus
menyelesaikan perjuangan itu, karena kebelakang sudah tidak mungkin.
Dalam waktu dua menit
gempa susulan entah untuk berapa kalinya terjadi berguncang lagi. Tanah di
belakang kami runtuh menutup jalan bahkan sampai menutup kali mati. Serta merta
Egy secepat kilat berlari meninggalkan
saya dan sesaat tanah di depan saya runtuh memisahkan kami berdua. “Kae....e....!!!”[29]
terdengar teriakan Egy diantara gemuruhnya reruntuhan yang semakin penuh penutupi jalan sampai kali mati antara saya
dan Egy. Dengan penuh kepasrahan pada Tuhan saya menutup mata dengan kedua belah tangan memohon pertolongan Tuhan dan
pasrah. Saya berdiri tepaku tidak bisa melewati tanah yang terus mengalir dari
atas mendekati tempatku berdiri. Sempat pula saya mohon pengampunan dari Tuhan
atas segala dosa, menerima jiwa saya
karena saya berpikir cumalah detik itu saya hidup. Sedetik kemudian gemuruh
reruntuhan diam, gempa susulan berhenti yang terdengar teriakan orang yang
mohon pertolongan. Saya buka Mata dan tidak membayangkan sesuatu keadaan
terjadi. Saya nyaris terkubur tanah longor yang begitu tinggi di hadapan saya
dan di belakang saya. Saya memperhatikan sebelah atas jalan ternyata ada dua
pohon yang berdiri mengapit satu dengan
yang lain. Entah pohon enau dan kemiri
saya juga tidak perhatikan lagi. Kedua pohon inilah yang membagi tanah
longsoran dari atas menutup jalan di depan dan belakang saya. Saya ternyata
berdiri persis tepat di bawah jalan dekat kedua pohon itu. Dengan penuh rasa
ngeri dan beracampur takut saya berteriak dengan keras memanggil Egy, yang saya
juga tidak tahu entah ia hidup atau mati terkubur. Ia pun membalas teriakan
saya dan lari mendekat. Saya berusaha mencari jalan keluar dari reruntuhan itu
dan menyeberang melewati reruntuhan di depan saya. Kurang lebih ada 5 meter jalan yang masih utuh yang tidak ditutupi
tanah. Sepanjang jalan di belakang sudah tertutup timbunan longsor, di depan
pun kurang lebih 25 meter tertimbun tanah setinggi 4 mater. Saya berhasil melewati longsoran di depan saya yang
disambut Egy dengan pelukan sambil menangis. Sesaat ia berlutu di jalan menutup
mukanya dengan kedua tangannya berdoa mengucapkan syukur pada Tuhan karena saya
telah luput dari reruntuhan itu. Sambil memeluk dan mencium saya dia menghapus
air mata saya yang juga menagis terharu, ia memegang tangan saya sambil berlari
terus mencari tempat yang aman sampai di
Hepang.
Di Hepang
kami baru bertemu dengan orang
lain yang sama-sama mencari tempat yang aman untuk berlindung. Tidak ada
komunikasi yang berati antara kami, selain
berdoa sendiri-sendiri bersyukur pada Tuhan bahwa kami diselamatkan dan kini
tiba di tempat yang dianggap aman. Orang lain pun berdatangan, ada penumpang bis karena mobil tidak mampu
meneruskan perjalanan, ada yang dari kampung dan rumah-rumah sekitar duduk dan
melepaskan lelah di jalan aspal itu. Kurang
lebih 20 menit kami beristirahat kami
meneruskan perjalanan bersama-dama dengan orang banyak yang bertujuan arah
Maumere. Walaupun kami yakin sudah selamat, namun kami tetap waspada pada gempa-gempa
susulan. Dalam perjalanan juga berpapasan dengan banyak orang yang dari Maumere
dan memberitahukan bahwa kota Maumere
sudah tenggelam karena naiknya air laut dan banyak orang yang tidak selamat.
Kami juga menyaksikan banyak orang yang duduk-duduk di pinggir jalan dan tidak
berada dalam rumah. Kami juga sempat membopong seorang
Cina (mama tua)[30] sampai di Nita yang pingsan di Jalan karena mendengar toko
dan keluarganya sudah ditelan gelombang laut. Walau banyak informasi namun kami
tetap terus berjalan sampai di Ledalero
dan di asrama - Wairpelit jam enam sore.
Aktivitasku menolong
tetangga sekitar saat Gempa.
Kondisi kehancuran maumere dan
sekitarnya mulai dirasakan malam hari 12 Desember 1992. Asramaku utuh bahkan
kamarku tidak nampak ada hal yang luar biasa, kondidisinya sama seperti aku tinggalkan
pagi hari. Menurut Pius Hamit yang sekamar dengan saya saat gempa terjadi
seakan Asrama Thomas Morus tak kena jalur gempa sehingga semuanya utuh. Karena
itu tetangga sekitar datang dan bernaung di Teras asrama, ditambah dengan buat
tenda darurat. Setelah selesai membuat Tenda saya pergi ke beberapa rumah
tetangga untuk mengambil periuk, kuali, air dan peralatan lainnya untuk memasak
di bawah tenda ini. Bergulat dengan gempa-gempa susulan takut tembok yang sudah
retak atau kayu-kayu rumah yang sudah tergantung jatuh saya penuh keyakinan
tidak akan saya kena bencana karena sudah luput dari tanah longosr di Bang
Boler. Saya betul menghibur tetangga yang sudah panik dan tidak bisa buat
apa-apa pada malam pertama ini. Mereka bisa tenang dan dengan penuh sabar
menghadapi gempa-gempa susulan sepanjang malam dan 2 hari setelah gempa
pertama. Gerakan saya sepertinya sangat cepat dari biasanya ketika ada teriakan
minta tolong. Keesokan harinya ke Maumere bersama Egy mencari dan bertemu
dengan Willy, Nel dan Eldys serta adik-adik lain di Asrama Rumah Sakit maumere.
Setelah semuanya bertemua baru pikiran tenang dan kembali ke Asrama.
Seluruh waktu setelah 12 Desember s/d
21 Desember saya gunakan hanya untuk membantu sesama, tetangga, dalam mengatasi
berbagai hal demi ketentangan batin pasca gempa. Aktivitas yang utama adalah
kunjung mengunjungi, memperbaiki dan membangun rumah-rumah yang bisa dipakai
untuk tinggal. Secara formal dari Kampus STFK Ledalero diumumkan untuk Libur
sampai dengan bulan Februari 1993.
Setelah 10 hari hidup dalam kepanikan
akhirnya pada tanggal 22 Desember 1992 saya bersama dengan semua mahasiwa STFK
Ledalero berlibur ke Manggarai dan sebagai bantuan Gempa kami menumpang Kapal
TNI dari Pelabuhan Maumere menuju Reo. Kurang
lebih selama sebulan di kampung akhirnya kembali ke Ledalero untuk kuliah pada
bulan Februari 1993.
Mengenal dan Masuk Organisasi
Kemahasiswaan : Maret s/d Juli 1993
Menjadi mahasiswa
biasa yang Cuma terikat pada waktu kuliah kurang lebih 5 jam sehari, saya
menilai banyak waktu yang kosong dalam satu hari. Sebagai seorang mantan
seminari yang telah sekian tahun hidup dalam kesibukan waktu yang telah diatur
rapi untuk satu hari, bagi saya terlalu banyak waktu yang kosong ketika saya
kuliah di Ledalero sebagai mahasiswa non Frater.
Bersamaan dengan
kesulitan uang untuk membiayai hidup dan biaya kuliah maka selama saya melibatkan
diri dalam berbagai kesibukan sehingga pikiran tentang persoalan tidak punya
uang terlupakan. Pada sisi lain saya belajar beradaptasi dengan lingkungan
sosial sekitar tempat tinggal khususnya dan Lingkungan sosial masyarakat
Maumere umumnya.
Bersama dengan
teman-teman mahasiswa eks frater yang lainnya kami mulai membangkitkan PMKRI
St. Thomas morus – Maumere, yang secara legal telah diprakarsai oleh beberapa
kaka tingkat seperti Valens Daki Soo dan
Lexi Armanjaya. Namun karena mereka sudah tamat maka kegiatan nyata dari PMKRI
ini belum membumi di Maumere. Pada bulan Maret 1993, kami mulai membenahi PMKRI
dengan membentuk panitia kecil untuk berkomunikasi dengan PMKRI Pusat dan PMKRI
NTT di Kupang. Panitia kecil ini menyelenggarakan Orientasi PMKRI yang
difasilitasi PMKRI Kupang pada tanggal 23 s/d 27 Maret 1993 bertempat di Losmen
Harapan-Maumere. Struktur Organisai Oleh Yanes Wawa, Kedua Menghidupkan PMKRI
oleh Yanes Wawa. Ketiga, Dinamika Kelompok : oleh Alex Longginus, Keempat,
Kesekretariatan oleh Yanes Wawa, Kelima, AD/ART PMKRI oleh Anton Leby Raya,
Keenam PMKRI sebagai Organisasi Katolik oleh Ignas da Cunha dan Ketujuh,
Kualitas Kader Bangsa Sebagai Orientasi pembinaan Kepemimpinan PMKRI. (perlu
dilihat lagi)....
Hasil Orientasi
ini forum menyepakati untuk membentuk Badan pengurus Calon Cabang dan segera
menyurati Pengurus Pusat untuk melantik kepengurusan PMKRI Calon Cabang St.
Thomas Morus. Dalam kepengurusan ini terpilih Sdr. Donatus Tahu sebagai
Mandataris dan Leo boli sebagai Sekretaris.
Moment yang pas
dalam eksistensi PMKRI St. Thomas Morus-Maumere ketika pada tahun 1993 ada isu
Pendirian Mesjid Raya di Kota Maumere. Beberapa mahasiswa STFK Ledalero
tertarik daengan isu ini lalu melakukan analisis sosial tentang peluang dan
tantangan pendirian Mesjid Raya tersebut. Hasil analisis ini didialogkan dengan
PEMDA Sikka sebagai penentu kebijakan. Proses dialog sampai kepada advokacy
kebijakan untuk menolak pendirian Mesjid Raya ini menyatukan para mahasiswa
Eksfrater STFK Ledalero.
Keterlibatan saya
dalam PMKRI ini memberikan pengarush yang sangat besar dalam pemahaman tentang
hidup beroganisasi, komunikasi ide dan gagasan, membangun relasi dengan
berbagai pihak dan prinsip-prinsip dalam hidup bermasyarakat. Dalam pembentukan
kepengurusan lanjutan saya menjabat sebagai Ketua Biro Publikasi dan Komunikasi
PMKRI St. Thomas Morus-maumere. Jabatan ini mendorong saya untuk menjadi
penghubung PMKRI dengan berbagai pihak seperti pemerintah, LSM dan organisasi
lainnya. Disamping itu saya juga mempublikasikan segala aktivitas PMKRI yang
perlu bagi public. Saya ingat beberapa kali saya berhubungan dengan RPD
Kabupaten Sikka untuk menyiarkan kegiatan PMKRI dalam Berita Pembangunan
melalui RPD Sikka. Pada tahun 1993 PMKRI St.Thomas Morus berhasil menerbitkan
sebuah majalah PMKRI dengan nama MOSAIK dengan pimpinan Redaki Kons Kader.
Inilah hasil keterlibatan saya dalam PMKRI di tahun 1993. Dalam kegiatan seminar
misalnya Seminar tentang “Rehablitasi
Flores Pasca Gempa Tektonik 12 Desember 1992” kami secara organisasi dan
pribadi berkenalan dengan berbagai komponen pembangunan di Maumere yakni
organisasi masyarakat (LSM), lembaga pendidikan dan lembaga pemerintah lainnya.
Selain organisasi
PMKRI, kami juga mendirikan sebuah kelompok Studi yang diberi nama Kelompok
Study sosial (KSS). Kelompok ini diprakarsai oleh beberapa mahasiswa eksfrater
yang ingin mengkaji khusus soal-soal sosial secara ilmiah. Setiap minggu ada
diskusi kecil dengan menyiapkan materi secara bergilir. Saya tidak terlibat
dalam kepengurusan organisasi ini, karena banyak sibuk dengan urusan Publikasi
dan dokumentasi PMKRI. Keterlibatan saya hanya sebagai anggota dan peserta diskusi berbagai topik sosial yang diangkat
aktivis kelompok Study ini. Beberapa
topik yang sempat diangkat dalam diskusi kelompok ini antara lain Hak Kaum
buruh dan Adat Belis pada masyarakat Sikka. Dua topik ini cukup menarik simpati
banyak kalangan selain topik-topik lainnya. Diskusi yang pada awalnya hanya
kalangan mahasiswa akhirnya melibatkan beberapa LSM, dan Dosen STFK Ledalero
sebagai fasilitator dan moderator kelompok KSS.
Keberadaan dua
organisasi KSS dan PMKRI St. Thomas Morus di Wairpelit-Ledalero saat itu sangat
strategis dalam membuka pintu bagi mahasiswa STFK Ledalero untuk terlibat dalam
hidup bermasyarakat di Maumere yang nota bene sebelumnya dipahami hanyalah
urusan soal Iman dan Agama Katolik. Beberapa Pastor yang peduli pada
pembangunan masyarakat sangat aktif memberikan semangat dan dukungan moril pada
dua kelompok ini. Saya ingat beberapa dosen seperti P.Dr. Leo Kleden, SVD; P.
John Suban Tukan, SVD; dan P. Krich Berger. Ketiga Pastor yang sekaligus Dosen
ini cukup memberikan kontribusi pemikiran dalam eksistensi dua organisasi ini.
Satu bukti
pengakuan masyarakat bagi KSS pada bulan
April 1993 ialah Yayasan Flores
Sejahtera SANRES menyatakan diri ingin
kerjasama. Bentuk kerja sama yang dilakukan adalah bersama dengan SANRES
mendiskusikan topik-topik sosial yang berkembang pada masyarakat Sikka
khususnya pada kelompok dampingan SANRES. KSS pun bersepakat untuk kerja sama
ini dan selanjutnya segala diskusi yang dilakukan KSS melibatkan Pengurus dan
utusan kelompok Dampingan SANRES. Tempat diskusipun bergantian di kantor
SANRES, di kelompok dampingan dan di Asrama mahasiswa. Beberapa diskusi yang
melibatkan banyak orang dari kelompok dampingan SANRES dan Narasumber yang
direkomendasikan SANRES, dibiayai oleh SANRES. Salah satu topik diskusi yang
melibatkan banyak Narasumber dari masyarakat adat saat itu adalah Mengapa Adat
Belis Orang Sikka Mahal. Topik ini awalnya diangkat oleh Yohanes Juan Rahmat
dalam diskusi intern KSS pada akhirnya diperdalam bersama SANRES dalam sebuah
Seminar dan Lokakarya yang melibatkan banyak Narasumber.
Inilah awal saya
memanfaatkan kesempatan untuk mengenal LSM SANRES saat itu. Bagi saya LSM itu adalah barang
aneh sehingga saya selalu memanfaatkan kesempatan tiap kali diskusi atau ada
waktu luang untuk ke SANRES bertanya dan berdiskusi. Saya pun mulai melatih
diri bagaimana merekam proses seminar belangsung. Saya selalu menawarkan diri
untuk sebagai Notulis dalam beberapa kegiatan agar saya bisa belajar khusus tentang meaknisme
diskusi ala LSM.
Secara personal
mahasiswa yang aktif dalam dua organisasi ini mendapat manfaat yang cukup
berarti saat kuliah dan setelah kuliah. Beberapa orang mahasiswa berhasil
dengan mudah menyusun skripsi dengan mempedalam tema yang diangkat dalam
diskusi-diskusi kelompok. Beberapa mahasiswa akhirnya mempunyai pintu melalui
LSM Mitra kelompok untuk melaksanakan KKN dan penelitan Skripsi. Saya secara
pribadi telah menerima manfaat yang sangat besar dalam keterlibatan dengan dua
organisasi ini. Saya bersama dengan Marsel Ganggur serta Pius Hamid melaksanakan
KKN pada Yayasan Flores Sejahtera (SANRES) untuk memenuhi salah satu syarat
akademis STFK Ledalero. Seterusnya Pius Hamid menghasilkan Skripsi tentang
Strategi SANRES dalam penguatan Organisasi masyarakat lokal, dan saya
menghasilkan Skripsi “Tanggapan Masyarakat terhadap Strategi SANRES dalam
Penguatan Masyarakat Lokal”. Dari kelompok KSS juga saya ingat beberapa orang
yang aktif dalam merekam proses selama diskusi dan akhirnya menjadi penulis dan
Wartawan misalnya Agus Sape dan Tarsi Muwang, dan Vinsen de Ornay.
Manusiawi sekali
ketika akhir dari kesibukan ini entah siang atau sore hari ketika kembali ke
asrama malam hari dan bangun besok paginya berangkat ke ruangan kuliah aku
selalu kembali pada masalah ketidakadaan uangku. Namun aku selalu teringat akan
Pater Kirch bahwa untuk urusan kuliah dan kebutuhan uangku saya bisa meminta
bantuan kepadanya. Dan terjadilah hal untuk kesekian kalinya aku ke Pater Krich
memberikan informasi bahwa uang untuk kebutuhan kuliahku di antaranya uang
Ujian Matakuliah negara dan SPP yang belum lunas pada hal Ujian Smester bulan
Juli sudah diambang pintu. Pater Kirch sekali lagi meneguhkan aku, boleh sibuk
pada banyak kegiatan yang terutama diprioritaskan Kuliah dan harus selesai tpat
waktu.
Ia pun memberi aku uang Rp.25.000 pada awal
Juli 1993 untuk uang makan dan urusan lain di asrama. Sedangkan uang kuliah ia
langsung berurusan dengan Sekretariat Sekolah.
Masuk
dan mengenal Dunia Lembaga Swadaya Masyarakat : Juli s/d September 1993.
Pergulatan Hidupku sejak
Februari 1993 s/d 1994 merupakan potret kehidupan seorang Pejuang yang tanpa
lelah berkreasi demi terjapainya tujuan yang hendak dicapainya. Aku adalah
seorang mahasiswa yang ingin mencapai gelar Sarjana Filsafat namun tidak
mempunyai cukup uang dari orang tua untuk membiayai kehidupan dan kulaihku.
Bergumul pada persoalan-persoalan inilah yang membuat aku berkreasi demi
keberhasilan kuliahku.
Menjelang akhir
Juli 1993 ketika semua teman-teman merencanakan kegiatan liburan, saya bingung
sendiri apa yang akan saya lakukan saat liburan. Ingin rasanya aku pulang ke
kampung namun, saya pikir tidak ada uang untuk sewa bis pulang. Kalau untuk
kembali pasti saya diberi uang oleh orang Tua. Tapi saya juga ragu karena pada
saat yang sama Adik Bungsuku tamat SD dan mau ke SMP. Haruskah aku pulang ???
berjuta bertanyaan yang tidak bisa aku jawab, yang tinggal cumalah pertanyaan.
Satu malam pada
akhir bulan Juni 1993 Pius Hamid
bercerita bahwa ia mau mengadakan KKN pada liburan ini. Ia meminta bantuan saya
untuk memberikan informasi soal Metodologi Penelitian, karena hanya angkatan
kami yang telah mendapat Mata Kuliah Metodologi Penelitan pada smester itu.
Saya pun menjelaskan kepadanya dan memberikan beberapa teks kuliah. Sambil
berbincang saya menawarkan diri bahwa kalau boleh saya yang membuat Proposal
untuk KKN dan saya juga turut serta dalam kelompok KKN tersebut. Pius Hamid pun
setuju dan masih menunggu keputusan Marsel Ganggur apakah ia setuju atau tidak.
Selang 2 hari kemudian Pius menginformasikan bahwa Marsel setuju saya ikut
serta. KKN dilaksanakan di SANRES dan tugas saya menulis Proposal KKN dan
masukan ke sekretariat di Ledalero sedangkan Pius dan Marsel berkorrdinasi
dengan SANRES.
Semua urusan pun
beres dan kami ber KKN di SANRES ketika mahasiswa lain menikmati masa liburan
smester tahun 1993. Selama Bulan Agustus sampai dengan pertengahan September
1993 Saya, Marsel Ganggur dan Pius Hamid
berada di Kantor SANRES, mengikuti segala aktivitas mereka, mengunjungi
kelompok-kelompok, mengikuti diskusi dan seminar-seminar mereka serta aktivitas
lainnya. Kami juga diskusi bertiga untuk merefleksikan apa yang kami alami,
pelajaran-pelajaran yang kami petik dalam kebersamaan dengan LSM SANRES, dan
akhirnya membuat Laporan dalam judul “Strategi SANRES dalam Pendampingan
Kelompok Masyarakat Lokal”.
Selama 2 bulan di
SANRES kami dibekali pengetahuan tentang apa itu LSM, kami diperkenalkan dengan
orang-orang yang berasal dari berbagai LSM yang mendukung maupun Mitra SANRES.
Dari mereka kami belajar apa itu LSM dan bagaimana LSM berkiprah dalam
pemberdayan masyarakat. Saya ingat beberapa orang yang secara pribadi sangat
saya kagumi dalam membagi pengetahuan berkiprah di LSM antara lain alm. Erwin
Panjaitan (digelar sebagai Tokoh LSM NTT), ada Galuh Wandita, berkenalan dan berdiskusi
baik dengan Mansour Fakih (bagiku Mansour adalah Teman, dan guru dalam
pengetahuan tentang LSM), ada Abdon Nababan, Ada Roni soo, ada Willem Openg dan
lain sebagainya. Saya akhirnya tertarik dengan dunia LSM karena banyak teman
yang mempunyai latar belakang yang berbeda memperkaya pengetahuan dan
keterampilan. Inilah yang membuat saya akhirnya mulai tahun 1993 untuk
memutuskan agar saya tetap berkiprah di dunia LSM setelah menamatkan kuliah di
Ledalero.
Pertengahan bulan
September 1993 kami secara formal mengakhiri KKN dengan ditandai sebuah
pertemuan yang mempresentasikan Laporan KKN kami pada Staf Sanres. Hasil
keterlibatan kami dengan SANRES selama KKN mendapat input dari pengurus dan
Staf SANRES seperti Pak Edu Sareng dan Pak Nong Susar, Ibu Darinas Bao, Aprinus
serta pak John Bala . Informasi untuk penyusunan Laporan KKN kami menjadi
lengkap. Pada akhir pertemuan presentasi hasil temuan saat KKN ini Pimpinan
SANRES menyampaikan agar pertemuan yang secara formal selama KKN menjadi
persahabatan antara kami bertiga dengan SANRES. Kami diminta untuk terlibat
dalam beberapa kegiatan SANRES kalau dibutuhkan atau kalau kami membutuhkan
informasi dari SANRES kami bisa datang saja ke kantor SANRES.
Satu hal yang
membanggakan saya saat itu ketika Pimpinan SANRES menyatakan secara resmi di
depan Forum bahwa saya diharapkan untuk tetap di SANRES, selagi Pius Hamid dan Marsel Ganggur menyusun skripsi
dan menyelesaikan kuliah cicilan terakhir. Saya merasa sangat senang dengan
permintaan ini terjadilah hal yang saya dambakan bahwa sambil belajar Filsafat
dalam kulaih formal di Ledalero, saya juga belajar tentang dunia LSM dalam
lembaga SANRES.
Bergulat
dengan berbagai Konflik Kepentingan: Oktober 1993 s/d April 1994.
Krisis personal
melahirkan kreatifitas rasional, demikian yang dapat saya rumuskan tentang
pergulatan saya setelah menyelesaikan KKN pada bulan September 1993 serta
memulai melibatkan diri dalam aktivitas LSM SANRES sebagai salah seorang tenaga
bantu. Pada saat ini saya berhadapan dengan berbagai konflik baik pribadi
maupun organisasi dimana saya terlibat aktif. Bulan September sampai dengan
Oktober 1993 belajar bagaimana menempat diri dan mengatur waktu yang
sebaik-baiknya untuk serius dalam kuliah sekaligus serius sebagai orang yang
bekerja di SANRES. Pagi hari aku kuliah dan siang sampai dengan malam hari saya
berada di SANRES. Kalau hari Kamis dan minggu saya pasti berada sepanjang hari
di SANRES. Kalau ada kegiatan di Kelompok dampingan yang bermalam aku ikut pada
hari Rabu sore karena hari kami tidak kuliah dan hari Sabtu karena besoknya
hari libur/hari minggu.
Sesuai dengan
kemampuan yang saya miliki maka di SANRES ini tugasku kalau ada kegiatan
pelatihan, seminar dan lokakarya saya mengambil peranan perekam proses. Saya
lakukan itu karena saya memang banyak sekali ragu dalam memberikan pikiran saat
diskusi soal – soal LSM dan masyarakat dampingannya. KKN tidak cukup untuk saya
mengetahui hal-hal yang mendalam tentang LSM. Namun dengan mencatat pikiran
orang saat seminar atau diskusi akhirnya saya diperkyara dan pelan-pelan bisa
diskusi soal-soal yang praktis. Di sisi lain selama bulan-bulan awal
keberadaanku sebagai Staf bantu pada SANRES peranan Pius Hamid dan Marsel
Ganggur sangat besar dan memberikan dukungan moril untuk saya dalam mengatur
waktu yang baik agar tidak mengabaikan salah satu dari kepentingan Kuliah dan
SANRES.
a. Konflik
Pribadi.
Sebagaimana yang
saya paparkan terdahulu, bahwa saya berkreasi banyak hal karena persoalan
ketidakadaan uang untuk membiayai kuliah dan membiayai hidup harian di asrama
serta aktivitas harianku sebagai manusia dan mahasiswa. Memasuki kuliah smester
baru September 1993 tentu membutuhkan biaya pendaftaran, dan lain sebagainya.
Bagi yang pulang liburan dari kampung pasti mereka tidak ada kesulitan. Saya yang
memanfaatkan liburan untuk KKN tidak mempunyai uang untuk registrasi, dan
lain-lain. Smester sebelumnya saya menggantungkan diri pada pater Kirch berger
untuk semua Kebutuhan uang.
Memasuki pertengahan
bulan September 1993 ini saya mulai merasa malu pada Pater Kirch, berbagai
pergulatan batin ketika dari kampus ada pengumuman agar semua mahasiswa segera
mendaftarkan diri dan menyelesaikan segala keuangan sambil kuliah dan batas
terakhir sebelum ujian smester. Pergulatan batin ini awalnya saya kuburkan dengan
kesibukan di SANRES dan kuliah seperti biasa. Namun akhirnya tidak bertahan
lama, pada tanggal 6 Oktober 1993 Pagi hari di Sekolah aku diingatkan untuk
segera membayar uang Kuliah dengan total Rp.105.000.
Sejak bulan Maret
1993 aku dibantu pater Kirch sampai Mei 1993 uang makan dan pinjam Uang kuliah.
Namun sejak aku ber KKN aku tidak pernah lagi ke kamarnya untuk meminta
bantuan. Dalam kebingungan dan penuh pasrah akhirnya saya memutuskan untuk
menceritakan semua yang aku alami selama ini kepada Keluarga pak Edu Sareng.
Saya pergi ke Nangaliman kantor SANRES dan tidak ke kantor tetapi ke rumahnya
pak Edu bersama Mama Seri (istrinya). Kepada mereka berdua aku mengemukan
persoalanku sejak saya keluar dari Frater Mei 1992. Aku juga dengan jujur mengakui
bahwa keikutsertaanku ber KKN dengan Pius dan Maresl hanyalah karena tidak ada
uang pergi libur dan ragu apakah orang tua punya uang untuk aku kembali ke
Ledalero untuk kuliah.
Saya akhirnya
mendapat belas kasihan dari Pak Edu dan Mam Seri. Inilah Catatan refleksi dalam
diariku pada hari Rabu tanggal 6 Oktober 1993.
Hari ini adalah hari puncak
kekecewaanku pada orang tua. Sejak bulan Februari sampai dengan saat ini aku
tidak dikirimi uang. Aku Kecewa tetapi aku tahu situasi mereka. Kalaupun uang
tidak mereka kirimi aku butuhkan surat mereka, tapi tak muncul. Aku dibantu
Pater Kirch uang makan sejak bulan Maret tetapi saat ini tidak lagi. Aku malu
setiap kali aku ke sana minta uang makan dan Pinjam uang untuk bayar kuliah.
Bila dipikir aku memang anak muda
yang harus tabah, tetapi sampai kapan.
Hari ini semua mencapai puncaknya.
Aku berlari pada Pak Edu dan
Ibu Seri dan ternyata hati mereka begitu tulus mendekapku yang tak tahu mau ke
mana arah hidupku. Aku dijadikan “anak mereka” dan segala kehidupanku mereka
perhatikan. Tak ada kata yang aku ucapkan selain Trimakasih pada Tuhan, dan
mendoakan mereka. Aku diberi beberapa nasehat :
1. Jangan
terlalu Pacaran dengan nona sehingga lupa kuliah atau meresahkan masyarakat.
2. Pak
Edu dan Mama Seri jangan hanya sebagai Bapa dan Mama tetapi juga sebagai
GURU.dan SAHABAT.
3. Jangan
pernah merasa dendam kepada orang tua karena tidak mereka perhatikan
4. Balas Budi mereka atas biaya seluruh hidup
ialah BELAJAR TEKUN dan HARUS BERHASIL dapat Ijazah Sarjana.
5. Selamat
bekerja dan Tenangkan Pikiran!.
(Wairpelit, Rabu, 6 Oktober 1993). ***
Rewritte.
Beginilah luapan pergulatanku saat itu dan
akhirnya saya lega dari beban persembunyian yang selama ini kupikul sendiri.
Dampak dari
ketulusan ini beban batin semakin ringan, beban uang pun ada jawabannya. Pak
Edu menghantarkan aku 50 kg beras ke asrama dan meberikan uang Rp. 30.000 pada
pagi hari berikutnya dan 3 hari kemudian aku diberi uang dari SANRES sebesar
Rp. 150.000 untuk biaya kuliah. Dalam Kwitansi terulis Biaya akomodasi dan Transport
yang diberi oleh Mama Hely (bendahara SANRES).
Kejadian ini membuat saya bangkit semangat
sekaligus memikul beban karena harus membalas semua kebaikan SANRES dengan kerja tekun tan total. Di sisi lain
aku harus berhasil dala kuliah seperti yang disampaikan Pak Edu yang kini
kuanggap Bapa. Karena itu Jujur saya
akui belum pernah saya absen mengikuti kuliah karena kerja di SANRES dan belum
pernah kerja di SANRES terhalang karena urusan kuliah karena waktu sudah diatur
kecuali sakit. Beberapa kali aku datang kuliah langsung dari Lapangan, dari
Puhu Lela pernah, dan dari Talibura pun pernah kuliah pagi hari. Di antara
semua Staf SANRES yang membantu saya dalam hal ini adalah Pak Paulus Nong
susar, yang menghantar dan menjemputku dengan sepeda Motor.
Pada tanggal 1
Desember 1993 saya akhirnya disepakati dalam Rapat staf SANRES sebagai semi
Staf karena saya masih kuliah. Sebagai seorang Semi Staf saya diberi tugas
khusus menangani Dokumentasi dan Publikasi SANRES dengan tugas utama
Menerbitkan buletin SANRES yang diberi nama IDE. Di samping tugas yang umum
sesuai kebutuhan SANRES. Untuk tugas ini saya diberi honor sebesar kebutuhan
Kuliah, dan Transport dan lumsum Rp.50.000.
b. Konflik
KSS VS SANRES.
Perjalanan
kemitraan KSS dengan SANRES akhirnya mengalami konflik sampai pada pemutusan
hubungan kemitraan. Saya tidak ingat persis apa yang mendasar konflik KSS dan
SANRES ini. Namun saya catat mulainya saling tidak puas antara SANRES dan KSS
saat pelaksanaan pameran pembangunan di Maumere bulan Agustus 1993. Ada harapan
SANRES agar Stand pameran pembangunan dibangun bersama antara KSS dan SANRES,
namun dalam pelaksanaannya banyak anggota KSS yang tidak hadir karena
bertabrakan dengan kegiatan PMKRI. Secara organisasi KSS tidak sepakat untuk
KSS terlibat dalam kegiatan Stand Pameran SANRES. Namun secara personil saya
Marsel dan Pius aktif dalam kegiatan pameran pembangunan ini bersama Tim
SANRES, karena kami merasa bagian dari SANRES. Sikap kami ini tidak disetujui
anggota KSS yang lain. Kondisi ini mendorong lemahnya kehadiran kedua belah
pihak dalam diskusi-diskusi selanjutnya baik yang diselenggarakan oleh SANRES
maupun oleh KSS.
Ketidakpuasan
antara KSS dan SANRES terus memuncak saat adanya rencana penerbitan Bulentin
KSS – SANRES yang diberi nama IDE (Imung Deung). Penerbitan buletin ini muncul
banyak diskusi dan persepsi yang berbeda. Mulai soal legalitas,
penanggungjawab, isi karangan, siapa yang mengerjakan sampai pada biaya.
Perbedaan persepsi dalam penerbitan buletin IDE ini ditambah lagi ketidakpuasan
yang tidak diungkapkan secara terus terang akhirnya KSS dan SANRES memutuskan
kemitraan pada tanggal 19 November 1993.
Konflik KSS
–SANRES turut mempengaruhi pergulatan saya yang adalah anggota KSS dan juga
bagian dari SANRES. Pengetahuan tentang SANRES dan aktivitasnya saat ber-KKN
serta keterlibatan saya secara pribadi di SANRES mendorong saya untuk “diam”
saat konflik terjadi. Namun sikap diam ini ternyata tidak menyelesaikan
pergulatan batin saya karena menimbulkan masalah baru. KSS melihat saya berpihak
pada SANRES, sementara SANRES menilai saya tidak mampu menjelaskan maksud
SANRES pada KSS. Dalam perbedaan persepsi tentang penerbitan Buletin IDE,
anggota KSS menjuluki saya
dan tiga orang teman (Bene Kasman, Marsel Ganggur dan Pius Hamid) “kelompok 4”,
yang mendukung SANRES.
Pergulatan batin ini
pada akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari anggota KSS,
walaupun saya menyadari mundurnya saya dari KSS ada kehilangan Solidaritas
dalam kehidupan bersama sesama mahasiswa di Asrama. Saya memusatkan perhatian
pada kegiatan di SANRES dan melanjutkan penerbitan Buletin IDE milik SANRES.
Keputusan saya untuk memusatkan perhatian pada SANRES didukung secara moril
oleh Bene Kasman, Pius Hamid dan Marsel Ganggur. Kami berempat akhirnya
membantu SANRES menumbangkan karangan, serta mengetik Buletin IDE milik SANRES.
c. Konflik
SANRES dan Pemda SIKKA.
Kehadiran LSM
SANRES dengan strategi pemberdayaan masyarakat
melalui pendekatan advokacy kebijakan yang tidak berpihak rakyat,
membuat oknum Pemda Sikka merasa terganggu. Beberapa instansi pemerintah yang
tidak mengenal SANRES secara baik ditambah lagi pengetahuan tentang LSM dengan
berbagai paradigma pendekatannya belum memasyarakat, mendorong mereka
menyimpulkan bahwa SANRES penentang pemerintah. Keterlibatan Staf SANRES dalam berbagai seminar yang diselenggarakan
oleh PMKRI St.Thomas Morus Maumere yang
pernah melakukan aksi penolakan Rencana pendirian mesjid Raya di Maumere
pada bulan April 1993 turut menguatkan opini bahwa SANRES penentang kebijakan pemerintah.
Beberapa kegiatan
SANRES diboikot oleh oknum pemerintah dan okunm anggota keamanan. Saya teringat
akan pemboikotan ini terjadi. Misalnya
malam Pentas Budaya Sikka di Kantor SANRES Nangaliman, ada warga yang
lagi asyik menenonton ditabrak lari sehingga kegiatan diberhentikan. Saat
pengresmian Blevak di Kringa Boganatar ada oknum Polisi yang datang mencegat
pelaksanaan kegiatan tersebut. Beberapa kelompok dampingan di wilayah kecamatan
diintimidasi untuk tidak boleh kerjasama dengan SANRES karena mereka itu
kelompok penentang pemerintah, organisasi terlarang dan sebagainya. Peristiwa
ini adalah bentuk pengungkapan konflik SANRES dengan Pemerintah kabupaten Sikka
saat itu.
Kondisi ini
sangat disadari oleh Pengurus dan Staf SANRES, karena mereka telah memahami
pendekatan Advokacy. SANRES tidak bergentar sedikit pun menghadapi opini ini.
Karena itu suatu saat di akhir bulan September 1993 diadakan pertemuan Staf
SANRES mendiskusikan opini ini. Hasil diskusi menyimpulkan bahwa SANRES tetap
melakukan advokacy kebijakan dan malah lebih gencar agar kebijkan pemerintah
daerah harus betul-betul berpihak rakyat. Agar advokacy ini tidak mengambang
dan tidak dinilai dangkal maka SANRES harus menguasai data. SANRES perlu
memiliki data-data yang akurat yang didapatkan dari berbagai isntasi resmi
PEMDA Sikka. Adapun data-data utama yang mau diperoleh SANRES adalah data
tentang Potensi Ekonomi Rakyat Sikka yang didapatkan dari Kantor Statistik.
Selain data-data SANRES juga perlu mencari tahu mengapa SANRES dianggap lawan pemerintah.
Pekerjaan
mengambil dan mengumpulkan data dan mencaritahu pendapat pemerintah tentang
SANRES ini, bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena sudah pasti informasi ini
tidak akan diberikan kalau yang melakukan pengambilan data dan wawancara
diketahui sebagai Staf SANRES. Karena itu forum menyepakati kegiatan ini saya
yang laksanakan, karena saya dapat menggunakan predikat Mahasiswa. Segala biaya
untuk pelaksanaan pekerjaan ini, fotocopy, transportasi dan penulisan laporan
ditanggung lembaga (SANRES). Dengan berbagai pertimbangan dan usulan maka saya
memutuskan untuk menerima tugas ini dan akan melaksanakannya sesuai kebutuhan
SANRES.
Sambil Menyelam minum air.
Pergulatan Hidup
setelah keluar dari frater tanggal 26 Mei 1992, sering saya dialogkan dengan
diri sendiri melalui refleksi-refleksi pribadi. Hal ini terbawa sejak menemukan
manfaatnya refleksi pribadi selama 2 tahun di frater. Hasil refleksi saya tulis
dalam buku harian entah dengan catatan biasa maupun dengan puisi-puisi.
Refleksi yang
sama saya lakukan segera setelah mendapat tugas dari SANRES untuk mengambil
data-data dan mewawancarai beberapa camat yang menolak maupun yang menerima kehadiran
SANRES di wilayah kerjanya. Dalam permenungan awal saya menyimpulkan bahwa
SANRES memanfaatkan predikat saya sebagai mahasiswa untuk kepentingannya. Hal
ini wajar karena saya seorang Staf pembantu
pada Lembaga SANRES. Saya begitu yakin
pekerjaan ini mudah dilakukan karena sebagai Biro Publikasi dan Komunikasi
PMKRI saya biasa berkomunikasi dengan berbagai personail PEMDA Sikka kegiatan
PMKRI. Permenungan lanjutan saya bertanya manfaat pekerjaan ini bagi saya
secara pribadi. Pertanyaan ini menjadikan pekerjaan ini sebagai peluang untuk
meraih kepentingan saya yang lebih besar tidak hanya sekedar uang imbalan/honor
sebagai Staf SANRES. Karena itu saya
memutuskan untuk melakukan Penelitan tentang SANRES di mata Masyarakat Sikka
sebagai bahan penulisan Skripsi.
Saya akhirnya merumuskan pertanyaan sendiri
untuk mengkritisi persoalan SANRES dengan pemerintah secara akademis. Benarkah
SANRES melawan pemerintah? Benarkan
Pemerintah menolak kehadiran SANRES di wilayah Kabupaten Sikka? Mengapa hal
semacam ini terjadi? Semua pertanyaan
ini saya rampung dalam sebuah Kerangka Penelitan berjudul TANGGAPAN
MASYARAKAT TERHADAP STRATEGI SANRES DALAM PENDAMPINGAN KELOMPOK MASYARAKAT
LOKAL.
Pikiran ini saya
konsultasikan dengan Pimpinan SANRES Pak Edu Sareng dan Pak Paulus Nong Susar.
Argumentasi yang berikan kepada Pak Edu dan Pak Nong Susar dalam konsultasi
penelitian ini lebih banyak berhubungan dengan legalitas saya di beberapa
intansi yang dibutuhkan SANRES. Saya menggunakan predikat mahasiswa peneliti
untuk mewawancarai para camat dan kepala desa dimana SANRES diterima dan
ditolak, serta pengambilan data di beberapa instansi. Pak Edu Sareng dan pak
Nong Susar setuju dengan gagasan saya ini dan menyatakan langkah yang saya
ambil ini adalah langkah yang strategis baik untuk kepentingan SANRES maupun
untuk kepentingan pribadi saya.
Saya menulis
Proposal Penelitan ke Sekolah Tinggi Filasafat Katolik (STFK) Ledalero dan tembusannya
disampaikan ke SANRES. Dalam proposal ini saya mengusulkan waktu penelitian
berlangsung Oktober 1993 s/d April 1994, tempat peneltian di seluruh wilayah
dampingan SANRES yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Sikka dan
pembimbing Penelitian sekaligus pembimbing penulisan Skripsi Pater Dr. Leo Kleden, SVD. Pemilihan Pater Dr. Leo Kleden, SVD. sebagai dosen
pembimbing karena Pater Leo adalah
penasehat rohani LSM SANRES dan dalam
beberapa kegiatan SANRES Pater Leo Kleden sering terlibat. Sebelum Proposal
saya serahkan ke Sekretariat STFK Ledalero, saya berkonsultasi terlebih dahulu
dengan Pater Dr.Leo Kleden,SVD. Saya mendapat dukungan dari Pater Leo Kleden
dan menyatakan bersedia menjadi pembimbing penulisan Skripsi sedangkan segala
hal yang berhubungan dengan data penelitian untuk kepentingan analisis Skripsi
diserahkan seluruhnya pada kreasi saya.
Hari Rabu tanggal
27 Oktober 1993 Izin Penelitian di
keluarkan dari STFK Ledalero. Berbekalkan surat Ijin Penelitan ini seterusnya
Kamis 28 Oktober 1993 saya bersama Pengurus SANRES (Pak Edu Sareng, pak Paulus
Nong Susar) serta pak John Bala (Staf
SANRES), memantapkan persiapan penelitian ini. Pengurus dan Staf SANRES menyampaikan
data-data apa saja yang perlu untuk SANRES, intansi-instansi mana yang perlu
diwawancarai, serta camat, kepala desa/kelurahan mana saja yang perlu
diwawancarai. Semua ini saya catat dengan rapi untuk setersunya meminta
Rekomendasi Bupati Sikka agar saya sebagai peneliti diberi keluasan untuk mengunjungi
dan memperoleh informasi yang dibutuhkan. Hari sabtu tanggal 30 Okoteber 1993
dan Senin 1 November 1993 saya bertemu dengan Bupati Sikka, Bapak Alex Idong
dan mendapatkan keluasan untuk melaksanakan penelitian di beberapa wilayah di
kabupaten Sikka. Saya dibekali sejmulah surat rekomendasi ke beberapa wilayah
kecamatan dan ke instansi terkait untuk
pengambilan data dan wawancara.
Berbekalkan
dokumen resmi baik dari Ledalero maupun dari Bupati Sikka saya melaksanakan
penelitian untuk dua kepentingan yakni SANRES dan data Skripsiku sebagai
mahasiswa. Pelaksanaan penelitian yang secara formal berlangsung bulan Oktober
1993 s/d April 1994 berjalan lancar dan tidak ada halangan apapun. Lamanya
waktu penelitian ini mendorong saya untuk mengutamakan data dan informasi untuk
SANRES dibandingkan dengan kebutuhan Skripsiku. Kini keberadaanku di SANRES
cukup berarti, sebagai Staf bantu saya diberi tugas rutin mengedit dan mengetik
Buletin IDE, mengunjungi kelompok dampingan dan pada sore hari dan hari libur. Semua
pelaksanaan tugas di SANRES dilakukan ketika selesai jam kuliah. Pimpinan dan
management SANRES sungguh bijaksana dalam memberikan pekerjaan bagi saya.
Karena itu saya tidak pernah absen kuliah dan mengabaikan segala tugas
kemahasiswaan.
Berkaitan dengan
kegiatan penelitian saya mengalami banyak kemudahan. Banyak moment strategis di
SANRES saat itu yang memberikan ruang luas bagi saya untuk wawancara di desa-desa dan komunitas adat. Beberapa moment yang saya ingat
bermanfaat seperti Kajian Adat NTT yang melibatkan beberapa LSM di Flores dan
Timor termasuk SANRES, wakil masyarakat Adat, dan kalangan akademis yang difasilitasi oleh Erwin Panjaitan, Galuh
Wandita dan Abdon Nababan dari Yayasan Sejati – Jakarta. Ada kegiatan Pentas
Budaya masyarakat Sikka yang dihadiri oleh komunitas adat Sikka dampingan
SANRES, ada kunjungan silang dari masyarakat Irian Jaya, ada monitoring program
SANRES dari OXFAM dan kunjugan lainnya dari mitra SANRES.
Pengalaman keterlibatan
dalam berbagai kegiatan SANRES sungguh sangat menarik sebagai tempat belajar
berbagai pengetahuan praktis di Lapangan. Saya belajar berbagai pengetahuan
praktis dari kelompok masyarakat dampingan SANRES, serta berbagai kegiatan yang
dilakukan bersama dengan SANRES. Beberapa pengetahuan teknis yang aku pelajari
antara lain pertama, mengendarai sepeda dayung. Tentang sepeda dayung saya
telah mempunyai pengalaman dasar dalam hal keseimbangan sementara saya berada
di asrama wairpelit dan belum mengenal SANRES. Saya ingat betul bagaimana saya
melatih sepeda dayung milik salah seorang gadis asal Nita-Maumere yang sering
berapel di Asrama Wairpelit dan berteman salah seorang mahasiswa Kaka tingkat. Kebetulan
memang saya menjadi penghubung antara keduanya sehingga ketika mereka lagi
asyik berduaan saya meminta sepeda gadis itu dan melatih. Begitu semangatnya
rasa ingin tahu saya sampai-sampai suatu saat kaka tingkat saya meminta saya
untuk sama-sama tanggung beli ban luar karena sudah gundul. Saya pun mengikutinya
karena saya senang belajar sepeda dayung. Ketika saya sampai di SANRES,
kesempatan untuk menggunakan sepeda dayun
berpeluang lebih besar. Saya sering berlatih menggunakan sepeda milik Om
Nandes, salah seorang tukang kayu yang bekerja di SANRES dalam berbagai
kegiatan pembangunan baik untuk SANRES maupun untuk keluarga Pak Edu dan Staf
SANRES. Saya juga beberapa kali menggunakan sepeda dayung milik pak Edu Sareng
untuk berlatih lebih jauh dan sampai mengelilingi kota Maumere di sore hari
sebelum pulang ke asrama.
Ada rasa bangga
pada diri saya memiliki keterampilan ini walaupun saya tahu tidak mungkin bisa
memiliki sepeda dayung. Kebanggan ini pelan-pelan menjadi kesombongan dimana
saya merasa lebih dari teman-teman di asrama. Pada akhirnya saya lupa
mengendalikan diri untuk mengatur saat yang pas menggunakan sepeda. Beberapa
kali saya membuat kesalahan dan kekanak-kanakan. Ketika Pak Edu isitiraha siang
saya mengambil sepeda motor dari teras rumahnya dan berjalan-jalan ke Kota
Maumere. Saat pak Edu bangun untuk berolah raga sore sepeda masih ada di saya.
Pak Edu menegur saya secara halus dan menjelaskan bahwa sepeda itu dibelikan
untuk olah raga pribadinya pak Edu karena saat itu badannya gemuk. Saya boleh
menggunakan sepeda dayung asal lihat saat yang tepat dan memberitahu terlebih
dahulu. Dasar sudah ketagihan nasihat ini hanya ingat beberapa hari dan
kemudian buat lagi. Tibalah satu saat Pak Edu menegur keras, suatu sore terjadi saya menggunakan Sepeda Om Nandes
sampai gelap, saat ia harus pulang ke
rumahnya. Setibanya di kantor SANRES pak Edu langsung marah keras dan mencaci
maki, mengolok dan lain sebagainya, sampai ia menyinggung latar belakang
keluarga saya. Di sini saya baru kapok, dan merasa tersinggung ketika sampai
menyinggung latar belakang keluarga.
Pengalaman pahit
ini ternyata pada akhirinya ada manfaatnya. Kegiatan penelitan saya di sekitar
kota Maumere saya menggunakan sepeda dayung sehingga hemat biaya transport dari
SANRES. Ketika saya dan teman-teman WIPKM (Wahana Informasi Pengembangan Kemasyarakatan)
mitra SANRES di Talibura, mengadakan kegiatan di Tanjung Darat saya bisa
leluasa menelusuri pantai Tajung darat menggunakan sepda Dayung. Keterampilan
mengendari sepeda dayung sangat bermanfaat bagi kebutuhan pekerjaan dan
penelitian saya saat itu.
Kedua, mengendarai sepeda motor. Keterampilan saya
mengendarai sepeda motor sejak berada di SANRES karena jasa Pak Nong Susar dan Pak Pieter Embu Gusi.
Mereka berdua sungguh sabar dan setia melatih saya mengendara sepeda motor. Hal
ini disebabkan karena merekalah yang selalu direpotkan dalam menjemput maupun
menghantar saya dari dan ke asrama kalau ada kegiatan mendadak , larut malam
atau kegiatan yang bermalam di Lapangan. SANRES memiliki dua sepeda motor saat
itu ada sepeda motor baru GL MAX, dan sepeda motor lama GL 100. Pak Nong dan
Pak Pieter melatih saya menggunakan sepeda motor GL 100.
Satu sore di
bulan November saya melatih sepeda motor di samping rumah pak Nong Susar di
dalam semak-semak setinggi lutut. Pak Nong menjelaskan saya bagaimana start,
melepaskan kopling sambil menaikan gas pelan-pelan dan mulai berjalan serta
menaikan dan menurunkan gigi. Berhubung banyak rumput maka saya dengan mudah
pelan-pelan mengetahui akibat dari naik dan turunkan gigi sepeda motor serta
naik dan turunkan gas. Saya berhasil pada sore itu juga dan pak Nong mendukung
saya serta menguatkan kepercayaan diri saya. Saya diajurkan untuk terus melatih
sampai bisa di Lapangan yang tidak ada rumputnya dan juga melatih di Jalan
Raya.
Pengalaman
bersama pak Pieter terjadi ketika kami berdua mengunjungi Pemukiman Bang Boler.
Ia mendukung saya dan mengatakan saya harus berani. Diberikannya sepeda motor
untuk aku yang menyetir ketika melwati jalan yang sepi dan rata dalam
perjalanan. Saya berhasil dan sempat dikoreksi beberapa kesalahan yang aku
lakukan. Saya pun percaya diri hari itu sampai ketika pulang sore hari saya nekat
memintanya untuk aku yang menyetir dari Nita sampai di Maumere. Walaupun ia
menolak karena agak ramai dengan kendaraan ia setuju juga. Terjadilah saat yang
tak terlupakan itu terjadi. Karena jalan menurun maka saya matikan mesin ketika
menuruni jalan Worooret menuju Wairpelit. Sepeda motor GL 100 itu pun melaju dengan kencangnya. Saya panik mengendalikannya
dan pieter teriak dari belakang. Ketika memasuki belokan pada ruas jalan
setelah gerbang Ledalero, persis di samping dapur Ledalero saya lupa belok.
Kami terjungkal ke Got. Sepeda motor menabrak tebing pinggir jalan sehingga
semua bagian depan remuk. Kaca dan lampu depan pecah. Pa pieter mengalami luka
goresan pada kaki dan saya pun terluka. Kejadian ini membuat saya gugup, saya
mulai lagi membayangkan kemarahan yang akan saya terima dari Pak Edu. Entah apa
lagi yang ia ucapkan tapi betul saya takut. Kami singgah sebentar di asramaku
meminta obat merah dan mengoles luka kami berdua, seterusnya kami ke SANRES.
Entah apa yang
dijelaskan pak Pieter kepada Pak Edu dan teman-teman yang lagi santai di
pelataran kantor SANRES. Pak Edu langsung bertanya pada saya bagaimana keadaan
luka saya. Setelah saya jelaskan pak Edu langsung mengatakan, Kendaraan boleh rusak asalkan
kakiku tidak patah. Kendaraan bisa diperbaiki tetapi kalau saya patah kaki maka
semua yang saya cita-citakan gagal total. Dugaanku meleset, pak Edu tidak marah
malah memberikan peneguhan bagi saya. Keesokah harinya sepeda Motor langsung
dibawa ke Bengkel untuk diperbaiki. Sejak kejadian itu saya akhirnya hati-hati
dalam melatih dan pelan-pelan bisa membawanya sendiri.
Sama halnya
dengan melatih sepeda dayung semangat ingin tahu yang tinggi serta sifat
kekanak-kanakan membuat saya kena teguran dari Pak Edu karena tidak melihat
moment yang tepat untuk melatih bahkan membuat kesan pada teman-teman di SANRES
saya sombong dan tidak tahu diri. Memang saya sadari bahwa keterampilan saya mengendarai
sepeda motor tidak mempunyai manfaat bagi SANRES karena akhirnya saya
dipergikan dari SANRES. Keterampilan sepeda motor ini bermanfaat untuk
aktivitas pribadi saya selanjutnya ketika kembali ke asrama di Wairpelit.
Ketiga, melatiah menggunakan komputer. Saya ingat
SANRES memiliki komputer kurang lebih pada bulan Oktober 1993. Pada bulan
November 1993 kami semua staf dilatih menggunakan komputer oleh Pak Siprianus
Uran salah seorang pegawai STFK Ledalero. Kurang lebih 4 kali kami dilatih
program WS4. Dari beberapa staf yang dilatih itu akhirnya yang bisa menggunakan
komputer untuk mengetik dengan program WS4 adalah Pak Edu Sareng, Pak Paulus
Nong Susar dan saya sendiri. Keterampilan ini sangat bermanfaat bagi saya
secara pribadi dan SANRES saat itu karena saya mengetik dan mengedit Majalah
IDE dengan menggunakan komputer program WS4. Lagi-lagi soal semangat ingin tahu
saya akhirnya dinilai sombong juga dalam menggunakan komputer ini dan menjadi
kasus beli saya dikeluarkan dari SANRES.
Keempat, Melatih cetak batako. Sebagai seorang yang
dibesarkan dalam pendidikan di seminari saya merasa pengetahuan praktis ini
sangat baru bagi saya. Karena itu ketika ada kesempatan untuk mencetak batako
untuk pembangunan Kantor SANRES saat itu saya belajar untuk bisa mencetak
batako. Pekerjaan ini tidak rumit karena hanya soal mencampur semen dan pasir
dengan ukuran berapa ember pasir dan berapa ember semen serta bagaimana
mengaduk serta mencetak dalam forma yang didalamnya ada batu-batu mangga. Pada
akhirnya saya berhasil mengerjakan berapa puluh batako untuk kantor SANRES
bersama dengan anak-anak yang tinggal dengan Pak Edu Sareng dan juga didampingi
SANRES. Saat itu ada anak-anak yang diperhatikan oleh Pak Edu dan SANRES dengan
sebutan “anak-anak Merdeka”. Saya belajar banyak dari seorang anak yang sangat
rajin saat itu namanya Doset.
Kelima, belajar menggunakan Sensor. Saya sempat
juga sempat belajar menggunakan alat sensor saat berada di SANRES. Saya sering
ikut Om Nandes dalam pekerjaan sensor kelapa baik untuk kepentingan SANRES
maupun ketika diminta oleh orang yang membutuhkan. Sambil membantu om Nandes
saya belajar bagaimana mencampur oli sensor, bagaimana membuka bar dan rantai
sensor serta bagaimana menghidupkan sensor. Saya memang tidak sampai tahu
menggunakan sensor ini tetapi beberapa kali Om Nandes melatih saya cara
memegang dan berhasil memotong batang kelapa yang sudah tumbang, sebelum
akhirnya Om Nandes yang belah untuk dijadikan balok atau papan kelapa.
Kelima hal di
atas hanya mau menggambarkan bahwa banyak hal yang saya belajar dari
keterlibatan saya dengan SANRES sejak Juli 1993 s/d Oktober 1994. Saya begitu
senang berada di dan terlibat total dengan berbagai kegiatan SANRES entah oleh
Staf maupun kelompok dampingannya. Saya sungguh tidak menyia-nyiakan kesempatan
untuk memanfaatkan berbagai fasilitas dan belajar banyak pengetahuan praktis
dan teknis. Beberapa hal lain yang sempat saya belajar antara lain, masak
minyak kelapa, menjadi Tukang kayu dengan bahan dasar balok kepala bagaimana
mencegah agar paku tidak bengkok saat memaku balok kelapa yang keras; dan saya
juga sempat belajar membuat kursi sofa. SANRES bagiku saat itu adalah
perpustakaan berisi buku-buku keterampilan menyongsong pergumulan hidup anak manusia.
Selain
pengetahuan keterampilan praktis keterlibatan saya dengan SANRES juga mendapat
banyak pengetahuan teoretis yang saya dapatkan dari banyak orang baik Staf
SANRES maupun mitra kerja serta kelompok masyarakat dampingannya. Saya belajar
bagaimana menjadi menjadi perekam proses yang partisipatif saat diskusi atau
pertemuan maupun lokakarya. Bagaimana mencatat semua pikiran yang disampaikan
oleh setiap orang, bagaimana memimpin pertemuan tingkat kelompok masyarkat
dampingan, pertemuan sesama Staf LSM mapun pertemuan-pertemuan yang melibatkan
berbagai komponen masyarakat. Saya juga bisa berrelasi dengan banyak orang dan
para aktivis LSM sebut misalnya Alm.Erwin Panjaitan, Galuh Wandita, Abdon
Nababan, Alm. Mansour Fakih, dan beberapa teman aktivis di NTT dan daratan
Flores. Pertemuan dengan beberapa orang ini membuat saya terobsesi saat itu
untuk bekerja di dunis LSM ketika tamat kuliah nanti. Saya mau menjadi
orang-orang bebas dengan berbagai pikiran yang kritis dalam mencermati realitas
sosial dan kalau ada kesempatan bisa menerapkan berbagai strategi pemberdayaan
rakyat yang bermartabat.
Dalam kesibukan
keterlibatanku dengan SANRES saya teringat hari Rabu, 1 Desember 1993. Hari ini
mempunyai arti penting dalam keberadaanku di SANRES. Sebagai orang yang
membantu di SANRES saya mendapat pengakuan secara Lembaga dan diputuskan dalam
rapat Staf, sebagai Semi Staf SANRES karena masih kuliah. Kesulitan keuanganku
yang pernah saya sampaikan kepada keluarga Pak Edu Sareng akhirnya juga sampai
ke Kantor SANRES dan menjadi kepedulian SANRES. Ketika teman-teman Staf SANRES
menerima gaji pada hari itu, saya diminta untuk menandatangani kwitansi
bernilai Rp.150.000 dimana uangnya telah
saya terima bulan November untuk bayar kuliah. Seterusnya pak Nong menjelaskan,
untuk biaya kuliah atau kebutuhan uang kuliah selama saya menjadi Semi Staf
SANRES ditanggung seluruhnya oleh SANRES. Setiap bulan saya mendapat uang dari
SANRES sebesar Rp.50.000 untuk transport dan lumpsum. Pada hari itu aku mendapatkan uang Rp 35.000 dengan
perincian lumpsung sebesar Rp.20.000 dan Transport Rp.15.000.
Aku sungguh
bahagia dalam hal ini. Karena terima uang Rp.35.000 bukan karena belas kasihan
seperti yang aku terima sebelumnya. Walau pun sebelumnya saya pernah terima
uang Rp.180.000, Rp.175.000, Rp.80.000; Rp.45.000 dan Rp.115.000 dari pater
Kirch Berger sejak September 1992 s/d September
1993; Terima uang Rp.30.000 dan 50 Kg beras dari Pak Edu Sareng bulan
Oktober 1993 dan Rp 150.000 dari SANRES pada November 1993 perasaan senang saya
tidak bisa dibandingkan dengan perasaan senang saat terima uang Rp.35.000 untuk
sebagai honor pekerjaan bulan Desember 1993. Saya bangga bahwa saya terima uang
karena keringat yang telah dan akan saya keluarkan bukan karena belas kasihan.
Menerima jabatan
sebagai Semi Staf dengan honor Rp.50.000 setiap bulan dengan semua kebutuhan
uang kuliah ditanggung SANRES sesuatu yang luar biasa bagi saya. Semua ini
menjadi pendukung untuk menncurahkan segala kemampuan dan tenaga untuk
menyukseskan program SANRES dan kuliah saya. Bagiku Asrama hanyalah tempat
untuk tidur, mandi, cuci pakaian dan minum pagi sebelum kuliah. Makan siang dan
makan malam di SANRES atau pada kelompok-kelompok dampingan. Saya merasakan
bagaimana pergulatan dalam menyelesaikan beberapa pekerjaan pada satu waktu.
Situasi yang saya alami mengulang kembali Situasi saat Seminari Menengah 6
tahun dan seminari tinggi 2 tahun (Novis I dan Novis II). Detik dan jam dalam
satu hari telah dijadwalkan untuk diisi dengan berbagai pekerjaan yang harus
diselesaikan. Kondisi ini tidak pernah aku sesali karena bagiku inilah jalannya
menuju keberhasilanku dalam Kuliah. Aku dengan keuputusan bebas untuk
mengikatkan diri dalam kondisi ini.
Kegiatan tahun
1994 cukup padat di SANRES dan saya terlibat penuh dalam berbagai aktivitas di
SANRES sambil tidak pernah mengabaikan jam kuliah atau tugas kemahasiswaan.
Saya betul mencurahkan segala waktu yang ada untuk kepentingan SANRES dan
kuliah. Beberapa kali saya berangkat kuliah dari Lapangan seperti dari Talibura
(Kantor WIPKM) mitra SANRES, berangkat dari PUHU- Lela, Koting dan Wolohuler.
Saya tidak terlambat karena dihantar dengan sepeda motor padi hari ke asrama
oleh pak Paulus Nong Susar dan Pak Pieter Umbu Gusi. Pak Paulus Nong Susar dan
Pieter Umbu Gusi sangat berjasa dalam menjemput dan menghantar saya dan sangat
mendukung agar saya cepat selesai kuliah. Kadang juga numpang mobil JEEP SANRES
bersama-sama dengan Staf lain dan keluarga pak Edu kalau kegiatan ada acara pesta atau kegiatan pengresemian tempat
pertemuan dan pulang pagi hari bersama-sama.
Tidak terasa
waktu penelitian saya secara formal telah habis dan kini konsentrasi pada
pekerjaan dan kuliah. Semua data penelitian saya simpan baik-baik dan
merapikannya dalam sebuah buku catatan tersendiri. Limitnya waktu, banyaknya pekerjaan, repotnya
menjemput dan menghantar ke asrama untuk
kuliah, Pak Edu Sareng dan teman-teman di SANRES mengusulkan agar aku tinggal
saja di rumah pak Edu Sareng di kantor SANRES. Setelah saya berpikir dan
mempertimbangkan untung ruginya akhirnya saya menyatakan setuju dan tinggal di
Nangalimang SANRES.
Tanggal 6 Juni
1994 Aku berpindah dari asrama dan tinggal di Rumah Pak Edu. Aku ingat
bagaimana aku berangkat ke rumahnya Pak Edu. Ada 3 Gardus yang aku bawa dua
gardus berisi buku-buku dan diktat kuliah dan satu gardus berisi pakaian karena
koporku yang dibeli sejak awal masuk frater tahun 1989 di Nenuk sudah rusak.
Aku numpang Bis Cemerlang sopirnya om Agus yang sudah saya kenal. Setibanya di
Rumah Pak Edu saya disambut baik oleh keluarga Pak Edu. Ibu Seri memberikan aku
satu kamar di dekat dapur pisah dengan rumah besar. Kamar ini sebelumnya
digunakan oleh anak-anak keluarga pak Edu antara lain Sona dan satu lagi aku
lupa. Di dalamnya terdapat satu buah tempat tidur dengan kasur yang empuk. Juga
terdapat sebuah meja belajar yang terbuat dari tirpleks yang baru dengan kaki
dari kayu Kelapa. Karena tidak ada Lemari maka saya bersama Adik Doset
(Anak-anak piara pak Edu) membuat satu lemari dengan rangkanya dari kelapa.
Rangka lemari ini cukup besar, ada dua pintu dan 3 rak. Karena keterbataan
tirpleks maka yang bisa dihasilkan adalah rak lemari untuk menempatkan
buku-buku dan pakaian, sedangkan untuk dinding dan pintunya hanya ditutup
dengan kain seprrey dan kain jendala yang aku bawa dari asrama. Aku sangat
bahagia dengan kamar ini sangat privasi dan memungkinkan aku belajar dengan
baik. Aku betah dalam kamar ini.
Dengan tinggal di
rumah Pak Edu ini maka saya rasakan hal yang luar biasa, semangatku untuk
belajar, kuliah dan kerja di Kantor SANRES sayang bergairah. Diskusi dengan
teman-teman di kantorpun semakin lancar karena dekat, demikian pun dengan pak
Edu serta teman-temannya khususnya dari sesama mitra LSM. Aku bisa mengenal
ide-ide pak Edu dan Pak Paulus Nong susar saat mereka diskusi. Aku mendapat
banyak pelajaran dari tinggal di rumah pak Edu ini. Di sisi lain pada smester
itu nilai ujianku baik dan tidak ada mata kuliah yang HER. Pak Edu dan Mama
Seri (istri pak Edu) sangat bangga dengan prestasi saya itu.
Pada bulan Juli 1994 saat liburan kuliah, dari rumah pak Edu saya
pergi libur ke kampung halaman di Manggarai menemui orang tua dan keluargaku.
Aku membawa oleh-oleh dari keluarga Pak Edu untuk orang tua berupa 1 gardus
ikan kering yang semuanya disiapkan oleh Mama Seri. Aku bangga untuk pertama
kalinya aku membawa oleh-oleh ketika aku pulang Liburan. Semua biaya pergi dan
kembali dari liburan sudah disiapkan dengan baik oleh keluarga Pak Edu. Sesuai
dengan pesan pak Edu tujuan utamaku dalam liburan ini untuk memberitahukan
kepada orang tua bahwa mereka tidak perlu memikirkan biaya hidup dan kuliah
untukku karena semuanya sudah diatasi keluarga pak Edu dan SANRES. Hal itulah
yang aku sampaikan di orang tuaku. Aku berada di kampung kurang lebih 2 minggu
dan kambali lagi sebelum kuliah di Mulai.
Bergulat
dengan salip keputusan yang telah diambil.
Awal Agustus 1994 saya berada lagi di Kantor
SANRES setelah pulang liburan dari kampungku di Manggarai. Ketika mulai kuliah
di semester ini saya mengalami keterpecahan dalam diri. Hal ini lebih banyak
pergulatan perasaan pribadi sebagai seorang manusia yang tidak sanggup
menempatkan diri secara tepat. Pertama, aku seorang mahasiswa yang harus
mengikuti kuliah setiap hari dan juga harus merampungkan semua data-data
penelitian untuk skripsi. Pada tujuan ini aku harus menggunakan waktu yang
tersedia untuk belajar dan menulis. Karena itu kamar tidur dan bangku kuliah
adalah prioritas aku berada. Kedua, Kuliah dan hidupku dibiayai SANRES, dan sebagai imbalannya aku bekerja di
kantor SANRES seperti Staf lainnya dengan menyelesaikan beberapa tugas yang
telah diberikan tanggungjawabnya padaku di samping tugas umum yang seswaktu diberikan
untuk aku selesaikan. Dalam situasi ini maka waktu yang tersedia aku gunakan
juga untuk tugas-tugas kantor. Ketiga,
aku tinggal di rumah pak Edu sebagai anak mereka. Dalam kehidupan berkeluarga
aku mempunyai kewajiban untuk mengambil
bagian dalam kegiatan rumah tangga. Mencuci piring, mengisi air, memberi makan
babi dan mencari makanan kambing. Menyapu dan menyiram halaman yang berdebu
saat itu.
Saya betul-betul
mengalami keterpecahan diri yang sangat luar biasa pada saat ini, dan
betul-betul tidak mampu menempatkan diri secara tepat dan sempurnya pada
masing-masing predikat di atas. Saya sadar bahwa kegagalan yang paling besar
dari ketiganya adalah menempatkan diri sebagai anak Pak Edu dan tinggal di
rumah pak Edu. Memang saya akui pernah mencuci piring, memberi makanan babi,
mencari makanan kambing menyapu dan menyiram halaman tetapi kalau hari libur
dan tidak sering saya lakukan. Saya lebih banyak bergulat dan sukses pada
predikat sebagai mahasiswa dan seorang peneliti dan sebagai Staf SANRES.
Singkatnya aku gagal sebagai anggota keluarga Pak Edu.
Ketidakmampuan
saya untuk terlibat toal dalam kehidupan keluarga Pak Edu Sareng mendorong
salah seorang anak piara Pak Edu Sareng sekeluarga menyatakan bahwa saya tinggal di rumah pak Edu sama seperti tinggal di Hotel. Segala sesuatunya dilayani
keluarga Pak Edu dan anak-anak yang ada di rumahnya. Pernyataan ini di
sampaikan di antara mereka dan ketika berhadapan dengan saya disampaikan dengan
sindirian. Hal ini sungguh menyakitkan saya. Sakit karena apa yang mereka
katakan itu benar, namun saya tidak mampu mengikuti apa yang mereka inginkan
karena waktu yang telah tersita dengan
pekerjaan di kantor SANRES dan urusan kuliahku.
Hari demi hari
saya akhirnya sampai pada penyesalan mengapa saya harus tinggal di rumah pak
Edu. Penyesalan ini terus bergulat menggerogoti jiwaku, sehingga dalam segala
hal saya saya menganggap serba salah. Tidak ada yang tahu pergulatan batin ini,
saya sering termenung dan akhirnya pergengaruh pada tidak konsentrasinya
menyelesaiakan pekerjaan di kantor. Saat yang paling aku rasakan sebagai salip adalah
saat makan malam dimana selalu dilematis. Ketika tiba saatnya untuk makan aku selalu
bimbang apakah aku tunggu dipanggil untuk makan atau ketika saat makan aku
keluar dari kamar dan mengambil nasi dan sayur terus makan bersama Pak Edu dan
keluarganya. Dalam kebimbangan ini aku mengambil keputusan tunggu dipanggil
baru aku pergi makan. Tentu hal ini salah karena akhirnya betul aku berperilaku
rumah pak Edu bagaikan hotel. Tapi inilah yang dapat saya lakukan.
Suatu siang
terjadi terjadi sinis yang menyakitkan seorang anak lain yang tinggal dengan pak Edu, dengan tidak
mempertimbangkan perasaan saya menyatakan bahwa kalau makan banyak orang tetapi kalau
kerja hanya sedikit orang. Walaupun
pikiran sehat saya mengatakan bahwa kegagalan saya dalam menempatkan diri
sebagai anggota keluarga Pak Edu bisa dibapahami keluraga Pak Edu dan teman-teman
staf SANRES, namun perasaan saya terluka. Luka batin ini terasa terus ternganga
dari hari ke hari dan saya yakin pak Edu dan Mama Seri atau Ana dan Dewi tidak
(keluarga inti pak Edu Sareng) tidak mengetahui perasaan saya ini. Saya pun tidak
menceritakan hal ini pada siapa pun sampai tulisan ini ada. Karena bagiku
adalah pengalaman yang sangat baik; pengalaman kerkah batin sebagai pelajaran Etika moral dalam hidup rumah pada tangga orang.
Diusir dari Rumah Pak Edu Karena Lupa diri.
Demikian yang
saya dapat rumuskan segala persoalan yang membuat saya pergi dari rumah Pak Edu
sekaligus dari SANRES pada tanggal 06 Oktober 1994. Ketika pergulatan batin
soal biaya kuliah sudah selesai dan saya dipercayakan beberapa tanggungjawab di
SANRES, saya tiba pada suatu pengalaman dinilai lupa diri. Betul saya akui
bahwa saat saya berada dan tinggal di rumah Pak Edu saya sering salah
menggunakan kepercayaan. Didikan Pak Edu memang sulit dipahami, karena ia
membiarkan anak-anak yang tinggal bersamanya untuk bebas berkreasi namun tidak
mengabaikan hal-hal etika dan hal-hal yang prinsip dalam hidup. Aku terjebak
dalam pola didikan pak Edu ini.
Tinggal di rumah
Pak Edu Sareng, tersedianya berbagai fasilitas seperti: sepda dayung, sepeda
motor, komputer, serta alat komunikasi jarak jauh (dua meter band); didorong oleh sifat dasar selalu ingin tahu
dan mencoba, telah menyuburkan sikap saya yang lupa mengendalikan diri dalam
memanfaatkan fasilitas ini. Jujur saya
mengakui bahwa saya sangat suka belajar sesuatu yang baru, apapun tantangannya
saya harus bisa. Berhadapan dengan kondisi saya di SANRES, tentu hal ini tidak
bisa diterima oleh perasaan pak Edu serta teman-teman Staf SANRES. Dan pada
akhirnya mereka menolak keberadaan saya di rumah Pak Edu dan SANRES.
Beginilah
gambaran singkat pengusiran dan detik-detik terakhir saya berada di SANRES.
Hari itu kamis tanggal 06 Oktober 1994 aku tidak kuliah, tapi karena mau mecari
buku sumber untuk Srkipsiku aku ke Perpustakaan Ledalero jam 07 pagi dan pulang
jam 08.30. Setelah turun dari Bemo dan hendak ke Kamar untuk menyimpan Buku
yang aku pinjam dari Perpustakaan Ledalero terlihat semua Staf SANRES berkumpul
di Ruangan pertemuan. Sesaat ketika saya melintas di samping ruangan pertemuan,
Pak Paulus Nong Susar memberitahukan agar aku cepat ke ruangan pertemuan supaya
pertemuan segera di mulai. Saya pun dengan semangat yang menggebu dan tidak
tahu maksud pertemuan melempar buku di
atas tempat tidur dan bergegas masuk ruangan.
Suasana ruangan
pertemuan sangat hening, saya masuk dan
mengambil posisi dekat pintu masuk, berhadapan dengan Aprinus, Darinas dan Yanti. Mereka menunduk tidak tahu kalau aku menatap mereka.
Pak Paulus Nong susar duduk dekat pak
Edu mengambil posisi dekat papan tulis dalam ruangan pertemuan. Pak Pieter berada di salah satu sisi ruangan sendirian
sehingga menyamping dengan saya. Saya
pun berada sendirian pada sisi yang lainnya. Segera setelah saya duduk
membuka buku catatan untuk menulis agenda dan hasil pertemuan sebagaimana
biasanya yang saya lakukan sebagai perekam proses terdengar suara pak Nong
memecah kesunyian.
“Baik teman-teman hari ini kita pertemuan
untuk membahas agenda yang khusus, menyangkut evaluasi terhadap saudara
Frans......” . Saya kaget dan terperanjat. Belum sempat saya berpikir jernih
dari kekagetan ini pak Edu langsung menyambar pembicaraan pak Nong dengan suara
yang agak keras dan berwibawa.
“Yah, ini memang
pertemuan khusus dan penting bagi SANRES dan khusunya untuk saudara
Frans......” Pak Edu mengambil alih pembicaraan dengan nada marah dan seakan
tidak memberikan spasi apapun dari semua pemicaraannya sejak mulai. Pak Edu dan
dengan nanda marah serta kertakan
gigi membeberkan hal-hal yang saya
lakukan sejak bersama dengan SANRES serta sejak tinggal di rumah Pak Edu. Semuanya
tentang kejelekan saya baik yang ia saksikan sendiri maupun yang ia dengar dari
orang lain (STAF, dan anak-anak yang tinggal bersama di rumah Pak Edu, bahkan
ia mengatakan juga informasi dari masyarakat sekitar Nangalimang). Pak Edu
mengucapkan litani dosa saya di SANRES mulai dari hal yang sangat pribadi sampai
kepada hal-hal yang berhubungan dengan kantor.
Kurang lebih 22
menit Pak Edu memberikan evaluasi terhadap perilaku saya yang intinya saya bisa diberi waktu lagi untuk berada di SANRES. Di akhir
pembicaraannya pak Edu memfonis dan
berkata, “ karena itu saya memerintahkan kepada Frans untuk pergi dari sini dan
meninggalkan kamar dalam tempo dua jam.......” sambil menatap saya ia pergi dan
meninggalkan ruangan pertemuan. Di pintu dekat saya duduk sebelum ke luar pak
Edu menambahkan, “silahkan teman-teman lain memberikan evaluasi dan mengambil
keputusan....” ia melangkah keluar dari pintu ruangan pertemuan.
Bagai
sebilah Pedang menyambar di hatiku dan tak pernah terduga saya dihakimi seperti ini.
Saya diam tertunduk malu dan menangis. Tanpa menghiraukan kondisi saya Pak Nong
melanjutkan pertemuan dan memberikan kesempatan kepada Staf Lain untuk
berkomentar. Saya tidak lagi konsentrasi untuk mengikuti pertemuan itu dan
tidak merekam baik pembicaraan-pembicaraan Staf SANRES yang lain. Pembicara
berikutnya Ibu Darinas, ia tidak memberikan evaluasi terhadap saya tetapi langsung menawarkan solusi untuk melamar di
LSM lain setelah dari SANRES. Kemudian giliran
pembicara yang lainnya pak Aprinus, Pak Pieter dan Pak Nong. Saya tidak ingat
persis apa yang mereka katakan selanjutnya karena tidak pernah bayangkan kalau
saya harus pergi dari SANRES dengan tiba-tiba seperti ini. Tapi apa yang mau
dikata, saya yakin pembicaraan staf
SANRES tidak merubah keputusan pak Edu yang telah keluar dari ruangan
pertemuan entah ke mana. Walau sakit hati dan lain sebagainya dengan sedikit
sisa kepercayaan diri, saya berusaha untuk tenang dan berpikir rasional. Pak
Nong memberikan saya kesempatan untuk berbicara menanggapi evaluasi pak Edu dan
teman-teman SANRES.
Bagi
saya tidak perlu mengungkapkan pembelaan diri karena tidak ada gunanya, karena
itu saya hanya menyampaikan terima kasih atas semuanya dan mohon maaf segala
hal yang telah saya buat seperti litani dosaku yang disampaikan pak Edu Sareng.
Segera setelah saya mengakhiri pembicaraan pertemuan ditutup dengan situasi
yang juga cukup menegangkan. Semua Staf diam-diam meninggalkan ruangan
pertemuan. Saya pun bangkit dari ruangan dengan penuh rasa malu bercampur sakit
hati dan lain sebagainya dan bergegas mengemas barang-barangku sebelum dua jam
batas waktu yang ditentukan Pak Edu.
Di dalam kamar
yang telah kuhuni sejak tanggal 6 Juni 1993 (tempat empat bulan), saya Kuatkan
hati untuk berhenti menangis. Semua isi lemari saya yang saya miliki diambil
sedangkan yang bukan milik saya dibiarkan. Aku datang dengan tiga gardus barang
dan kembali dengan 4 gardus karena aku ada penambahan buku, data-data
penelitian dan buku sumber untuk penulisan Skripsi. Setelah semua sudah dimasukan
dalam gardus walau belum diikat rapi saya siap mengeluarkannya, takut
kehilangan waktu yang Cuma diberi batas dua jam. Sejenak saya memperhatikan
semua isi kamar dan berdoa dalam hati berterima kasih kepda Tuhan yang telah
memberikan aku kamar yang membuatku betah selama 4 bulan. Saya berpamitan
dengan kamarku dan seluruh isinya yang telah memberikan ketentangan lahir dan
batin bagiku selama berada di dalamya, menghasilkan nilai ujianku tak ada yang
HER, telah memberikan aku keberhadilan dalam kerja di SANRES dan yang telah
menghasilkan aku keputusan untuk segera meninggalkannya dua jam yang lalu.
Ketika barangku
semuanya sudah berada di luar kamar dan hendak membawanya ke jalan raya, baru
saya sadar bahwa sisa uang di saku tinggal Rp 300 perak. Saya tahu bahwa biaya
Bis yang diperhitungan saya dan
barang-barang 4 gardus besar ini, mencapai Rp 600. Tapi saya berusaha untuk
tidak bingung. Saya pasrah saja, dan berpikir akan dijelaskan Om Agus Sopr
Cemerlang Maumere – Nita langgananku.
Setelah semua barang sudah berada di jalan raya
depan gerbang SANRES agak ke Barat saya kembali ke rumah pak Edu Sareng
untuk pamitan.
Walau merasa
risih, kerdil dan malu tanpa air mata saya menghadap Pak Edu dan Ibu Sri yang
lagi duduk santai di teras depan rumah. Saya kuatkan batin dan memanfaatkan
tenaga yang tersisa untuk membuka suara dan berkata, “Bapa, Mama, saya berterima
kasih dan mohon pamit....” itu saja yang mampu saya ucapkan tak mampu
meneruskannya takut air mataku jatuh. Pak Edu menatapku dengan wajah yang sayu
namun tidak bisa menebak apa yang
dirasakannya. Aku tak mampu membalas tatapannya dan langsung menunduk dengan
berbagai perasaan berkecamuk di hati. “Jalan baik-baik Frans.....” terdengar
suara mama Seri (Isteri pak Edu) memudarkan perasaanku yang berkecamuk. Aku
menundukkan kepala rasa hormat tidak mampu mengeluarkan kata-kata dan
berlangkah dari hadapan mereka menuju jalan Raya. Aku juga tidak pamit dengan
teman-teman SANRES yang lagi asyik kerja di kantor karena takut saya menangis.
Saya mengharapkan mobil segera datang agar aku cepat hilang dari pandangan
mereka.
Kurang lebih setengah
saya menunggu mobil ke arah Nita pun
datang dan saya kembali ke asrama di Wairpelit. Dalam perjalanan Nangalimang –
Wairpelit saya hanya duduk termenung dan membayangkan bagaimana awalnya aku
mulai tinggal di SANRES. Aku datang disambut dengan sorak-sorai oleh anak-anak
yang tinggal dengan Pak Edu serta disambut baik oleh Pak Edu dan Mama Sri, dan
kini aku diusir bagaikan pencuri dan pergi dengan tangan hampa, sampai uang
untuk sewa bemo pun tidak cukup. Sakit hati, kecewa, rasa malu, penyesalan dan
lain sebagainya bercampur jadi satu sehingga tidak terasa aku sudah tiba di
depan Asrama Thomas Morus Wairpelit.
Karena di Asrama
tidak ada kamar yang kosong dan harus melapur lagi ke kepala asrama sebagai
penghuni baru, maka saya menumpang di
rumah tetangga sampirng asrama (Bapa Tanus sek.) untuk beberapa hari. Setelah
saya berterus terang kepada Mama Sinta (istri Bapak Tanus) tentang keadaan
saya, maka mereka dengan rela dan iklas hati memberikan saya tumpangan, dan
makan minum sebelum aku ada kamar di asrama.
Beginilah akhir
pertualangan hidupku dalam belajar di dunia LSM SANRES. Sejak Juli 1993 s/d Oktober 1994, dengan membawa
sejumlah keberhasilan dan kegagalan. Keberhasilan yang diperoleh adalah
Selesainya KKN dan Penelitian untuk Skripsi. Keberhasilan lain adalah berbagai
pengetahuan teknis dan praktis sebagai modal hidup sebagai manusia. Kekecewaan dan sakit hati berakhir dengan cara diusir pelan-pelan dikuburkan dengan pikiran
bagaimana pertualangan selanjutnya mendapatkan uang untuk makan dan minum serta
uang untuk ujian beberapa mata kuliah yang belum dibayar.
Bergulat Setelah diusir dari SANRES dengan tangan Hampa tanggal 06 Oktober 1994.
Pengalaman keluar dari
SANRES tanggal 06 Oktober 1994, seakan mengalami lagi pengalaman keluar dari
Frater tanggal 26 bulan Mei 1992. Saya mulai lagi perpikir uang kuliah, biaya
hidup di asrama dan lain sebagainya. Namun saya lebih optimis karena telah
banyak membangun relasi dengan orang dan telah mengalami hidup bermasyarakat.
Kondisi kuliahku pun semakin banyak waktu luang karena beberapa mata kuliah
saja yang diberikan menjelang semester-smester akhir.
Setelah seminggu aku
menunggu keputusan kepala asrama St.Thomas Morus Wairpelit, akhirnya aku
mendapatkan kamar dan kembali masuk asrama seperti dulu sebelum tinggal di
SANRES. Perasaan kecewa dan sakit hati karena diusir dari SANRES pun
pelan-pelan pulih dan aku mulai merancang hidup dan perjuangan yang baru. Aku juga
berusaha untuk menyembunyikan persoalan kepergianku dari SANRES terhadap
teman-teman di asrama, sehingga yang mereka tahu kalau aku kembali ke asrama
karena penelitian skripsi sudah selesai dan konsentrasi mengikuti kuliah tahun
terakhir dan menyusun Skripsi. Saya hanya berbuka hati pada orang yang aku
percayakan yaitu Pius Hamid dan Bene Kasman. Mereka pun memahami kondisi saya
dan menguatkan saya untuk tidak terlalu memikirkan persoalan di SANRES lagi.
Tapi konsentrasi pada usaha-usaha lain sambil mulai menulis skripsi.
a.
Belajar menjual sayur.
Akhir bulan Oktober 1994
saya bertemu dengan seorang kaka tingkat asal Jopu yang sering bermain ke
asrama di Wairpelit namanya Yuvens Edo. Ia menawarkanku untuk kerja sama dalam
menjual sayur dengan cara mendroping langsung ke pelanggan dalam jumlah yang
besar. Sumber sayur berasal dari kampungnya dan pasar Wolowaru. Ia juga
menjelaskan prospek bisnis sayur ini yang nampaknya menguntungkan dan kerjanya
agak ringan. Setelah saya berpikir beberapa hari akhirnya saya menerima tawaran
ini, dan mulai menyepakati tugas dan tanggungjawab saya. Saya diberi tugas
untuk memnghubungi beberapa tempat yang akan membeli sayur seperti,
kentang, wortel, sawi dan Kol dalam
jumlah yang besar.
Segera setelah menyepekati
hal ini, saya pertama-tama menghubungi dapur Seminari Ledalero, Ritapiret,
Frateran alma di Wairklau, rumah sakit Maumere dan Frateran BHK maumere. Untuk
kelancaran transportasi saat pergi Yuvens memberikan aku Sepeda dayung yang
bisa over gigi. Saya senang pekerjaan ini. Hasil kerja awal adalah dapur
Ledalero dan frateran Alma di Wairklau siap menerima kentang, dan wortel dari
saya. Sementara tempat lain belum bisa karena masih punya stok untuk dua minggu
ke depan. Saya melaporkan kepada Yuvens tentang hasil kerja ini dan seterusnya
ia berangkat ke Wolowaru mengambil
kentang dan wortel untuk melayani dapur Ledalero dan dapur Frateran Alma
di Wairklau.
Selang 3 hari setelah itu
ia datang dan membawa banyak kentang dan Wortel melampui yang dipesan dan
simpan di rumah keluarganya di Pasar Baru Maumere. Sesuai dengan harga beli di
Wolowaru maka Yuvens memperhitungkan harga jual dengan ketetapan minimal Rp.
1.400/kg. Untuk kentang dan wortel Rp.1.200/kg. Dengan mengambil beberapa buah
sebagai sampel saya kembali lagi ke dapur
Ledalero dan Alma di Wairklau untuk memberitahukan bahwa pesanan siap dihantar
dengan harganya per kilogram. Setelah melihat contoh yang saya bawakan Dapur
Ledalero melalui Pa Kris saat itu memesan kentang 125 kg dan Wortel 80 kg.
Sedangkan dapur Alma Wairklau memesan kentang 15 kg dan wortel 8 kg. Besok
paginya semua pesanan dihantar ke Ledalero dan Wairklau. Penyetoran pertama ini
sangat memuaskan dan saya diberikan uang hasil kerja ini sebanyak Rp.20.000
sedangkan jatahku yang lainnya entah berapa aku tak tahu disimpan Yuvens dengan catatan kalau mendesak
uang aku minta saja. Seterusnya saya dan
Yuvens menjual kentang dan wortel yang tersisa di sekitar Maumere baik kepada
kenalan saya maupun kepada siapa saja yang membutuhkan termasuk kepada para penjual
di pasar Baru.
Seterusnya pekerjaan ini
menjadi kesukaan saya, tidak pernah kenal lelah untuk menawar dan menghantar
sesuai pesanan ke beberapa langganan. Saya pernah menghantar belasan sawi ke
rumah sakit maumere dengan mendorong gerobak dari pasar baru maumere,
menghantar sayur ke frateran BHK jalan kaki, dan juga ke Rumah sakit kewa pante
menghantar kentang dan Wortel.
Ada satu pengalaman
menarik diantara banyak pengalaman selama terlibat dalam usaha ini adalah yakni
terjadi tanggal 6 Januari 1995. Kami terlambat stor sayur di dapur Ritapiret
karena kesulitan komunikasi dengan Yuvens yang saat itu pergi Natal di
Kampungnya di Jopu. Suster di dapur Seminari tinggi Ritapiret memesannya untuk
hantar tanggal 29 Desember 1994, tetapi kami baru menghantar sayur tanggal 06
Januari 1995. Saya kena omelan dan ditambah lagi sayur yang dihantar kurang
baik karena sudah musim hujan. Hampir saja suster tidak terima dan menolak
sayur yang telah sampai di dapur Ritapiret. Dengan menyampaikan permohonan maaf
yang disertai mohon belas kasihan, akhirnya suster membayar sayur kami dengan
keadaan terpaksa. Saya akhirnya kehilangan kepercayaan dari dapur Ritapiret.
Pengalaman kehilangan
kepercayaan ini menyadarkan saya bahwa betapa sulitnya pekerjaan sebagai
penghubung barang milik orang. Namun saya tidak putus asa, bahkan tidak hanya
sayur saja yang saya pasarkan tetapi juga barang apa saja yang mau dipasarkan
dan dibutuhkan oleh pelanggan. Saya juga pernah memasarkan barang-barang produk
MW milik Vinsen de Ornay yang saat itu
menjadi Distributor Produk MW dengan sistem Multy Level Marketing. Setiap
produk ia diberikan saya komisi 13% dari
harga jual. Saya betul menyukai
pekerjaan ini dan menjalankannya dengan senang hati tanpa kenal lelah dan
memanfaatkan waktu setelah pulang kuliah. Saya banyak belajar baik cara
meyakinkan pelanggan maupun menguasai produk/barang yang dipasarkan.
Pengalaman memasarkan
barang tanpa modal ini saya jalankan kurang lebih 3 bulan dari bulan Oktober 1994 s/d bulan Februari 1995. Satu tantangan
yang saya hadapi dalam pekerjaan ini adalah bagaimana menjaga kepercayaan
pelanggan yang diwujudkan dalam mutu barang yang diberikan dan ketepatan waktu
untuk menghantar. Hal ini memacu saya untuk membangun banyak relasi dengan para
pemilik barang dan tidak mengikat pada satu orang.
Ketika Yuvens Edo
menghentikan pasokan sayur tanpa sebab dan kemudian diinformasikan ia sudah
berada di Tim-Tim, saya ditantang untuk melayani pelanggan bagi dapur biara
Alma, Frateran BHK, serta Rumah sakit Maumere. Mereka tetap memesan sayur dalam jumlah yang tidak terlalu
banyak dan bervariasi. Demi menjaga kepercayaan saya akhirnya membangun relasi dengan para Pedagang sayur di
Pasar Baru Maumere. Saya bertemu dan menjalin kerja sama dengan Om Herman,
pedagang sayur asal Riit yang mengambil istri orang Kota Uneng Maumere. Ia
mempunyai tedang sayur yang besar dengan berjenis-jenis sayur yang ia pasarkan.
Setiap kali ada pesanan sayur dari langganan biara Alma, BHK dan Rumah sakit
Maumere Saya mengambil sayur dari tedangnya
kemudaian dihantar jalan kaki sambil
pikul sayur dan kalau banyak saya mendorong pakai gerobak. Pekerjaan mengambil
sayur dari tedangnya Om Herman ini hanya menjaga relasi karena harga yang
dipasarkan om Herman sama dengan harga yang saya setor, jadi saya tidak
mendapat keuntungan apa pun. Saya akhirnya mempunyai obsesi agar memiliki
tedang sendiri dan memiliki modal sendiri sehingga bisa mendapatkan keuntungan
dari pekerjaan ini.
Begitu kuatnya obsesi ini,
sehingga setiap pulang kuliah saya habiskan banyak waktu untuk berada di pasar
Baru Maumere untuk belajar dari Om Herman dan para pedagang sayur lainnya. Saya
belajar bagaimana menawarkan sayur pada pagi hari, bagaimana memajang sayur
pada tedang jualan, bagaimana menyiram sayur siang hari agar tidak layu dan
lain sebagainya. Bahkan belajar bagaimana siasat mengecohkan pembeli sayur.
Tekunnya saya belajar pada Om Herman sampai pada akhirnya ia mempercayakan saya
untuk menjaga tedang sayurnya setiap kali saya ada di Pasar Baru. Ia pun bahkan
menyuruh saya untuk menawarkan sayur kalau ada mobil Rute Pati
Somba/Nangahure atau mobil Lekebai masuk
pasar baru. Karena saya kenal beberapa petani sayur dari Pati Somba dan
Watuleke yang adalah kelompok masyarakat dampingan SANRES.
Kurang lebih dua minggu saya
melakukan pekerjaan belajar ini sampai pada akhirnya Om Herman tahu kalau saya
adalah mahasiswa eksfrater yang menjual sayur sambil kuliah. Hal ini terjadi
ketika pacar saya orang Kota Baru mencari saya dan menunggu seharian di tedang
sayur Om Herman, dan kebetulan saya saat itu tidak turun ke Maumere. Dalam
penantiannya selama seharian ia menceritakan tentang saya kepada Om Herman.
Besoknya saya terkejut ketika saya tiba di tedang sayur Om Herman, saya
disambut dengan wajah yang lain dari biasanya oleh Om Herman. Keluarga Om
Herman serta beberapa penjual sayur datang dan menyampaiakn mohon maaf atas
perlakuan mereka kepada saya selama saya berada di antara mereka. Ada yang
marah termasuk om Herman dan mengatakan mengapa saya tidak memberitahukan
kepada mereka sejak saya datang ke pasar Baru, kalau saya itu mahasiswa STFK
Ledalero, dan lain sebagainya. Saya hanya diam dan akhirnya menjelaskan kepada
keluarga Om Herman tentang perjalanan hidup saya sejak keluar dari Frater tahun
1992.
Akhirnya Om Herman memutuskan
siap mendukung saya untuk mempunyai tedang sendiri dan agar usahanya lancar
maka saya kerjasama dengan adik Iparnya Bertoldus sehingga ketika saya kuliah
pagi hari ia yang menjaga sayur sampai saya pulang kuliah. Saya pun ditawarkan
untuk tinggal besama adik-adiknya di Kota Uneng sehingga urusan makan minum
tidak menyulitkan bagi saya. Tawaran untuk tinggal di Kota Uneng saya tolak
dengan alasan susun Skripsi, namun sebenarnya alasan utama pengalaman tinggal
di SANRES telah memberikan pelajaran yang bermanfaat bagi saya.
b.
Mempunyai Tedang Sayur di pasar Baru Maumere.
Berangkat dari Obsesi,
ketekunan untuk belajar memasarkan sayur tanpa modal, membangun relasi, serta
identitas sebagai mahasiswa STFK Ledalero mengkodisikan saya untuk mempunyai
tedang sayur sendiri di antara para penjual sayur di Pasar baru Maumere pada
tahun 1995. Dukungan Om Herman tidak serta merta menjadi kenyataan untuk saya
mempunyai tedang sendiri dalam menjual sayur di pasar baru Maumere. Saya harus
menyiapkan banyak hal seperti modal awal, bahan-bahan untuk buat tedang, tempat
untuk mendirikan tendang, negosiasi dengan para penjual sayur lainnya, dan
sebagainya.
Suatu Ide atau rencana
yang baik apa pun kalau tidak mempunyai moment yang pas pasti tidak mungkin
bisa dilaksanakan. Mempunyai tedang jual sayur sendiri di pasar Baru Maumere
bagi saya bermodalkan relasi yang baik dalam kejujuran dan kerendahan hati.
Suatu moment penting bagi saya terjadi pada hari minggu tanggal 21 Mei 1995.
Saya bertemu dengan Bapak Domi Taluma seorang Staf Tananua Ende di pasar baru
Maumere. Selagi saya menjual sayur milik Om Herman, tak pernah terduga kami
bertemu dan berceritera banyak hal. Sebagai teman lama selagi saya di LSM ia
mendukung pekerjaan yang saya ambil menjual sayur. Karena itu ia menawarkan
bagaimana kalau sayur dari kelompok
dampingannya yang selama ini dipasarkan di pasar Wolowaru dan Moni dipasarkan
ke Maumere dan saya siap untuk menerima sayur mereka. Saya pun sangat setuju
dengan ide itu, dan seterusnya dia mengajak saya untuk bertemu langsung dengan
kelompok dampingannya di Moni, menyepakati mekanismenya sehingga kelompok
dampingannya yakin terhadap kemungkinan sayur mereka dipasarkan langsung ke
Maumere. Saya pun setuju dengan hal ini.
Tanggal 26 Mei 1995 saya
berangkat ke Wolowaru, dan seterusnya bersama dengan Bapak Domi Taluma tanggal
27 Mei 1995 ke Watu Raka untuk berdiskusi dengan masyarakat kelompok
dampingannya tentang Ide tersebut. Saya sering tentang harga sayur di pasar
baru Maumere sementara mereka sharing tentang harga sayur di pasar Wolowaru dan
pasar Moni. Hasil sharing ini membuahkan kesepakatan bahwa mereka menjual sayur
ke Maumere dan saya yang menerimanya di sana dengan harga terima Maumere. Tanggal 28 Mei 1995 saya kembali ke Maumere
sambil memikirkan bagaimana mencari uang untuk Modal usaha ini.
Hari Minggu tanggal
29 1995, saya akhirnya berdiskusi dengan
P.Hubert Thomas Hasuli,SVD. Bagiku P.Hubert adalah seorang Dosen sekaligus
seorang sahabat. Pagi hari saya ke Ledalero dan sempat makan pagi di sana. Ia sangat
tertarik dengan tema diskusi ini dan ia mendukung ide ini dilaksanakan. Pada
akhir diskusi ketika ia bertanya berapa modal saya saya mengatakan saya tidak
punya modal sedikit pun. Mendengar jawaban saya ia terdiam sejenak, lalu
berkata,”Frans saya ada uang lima dolar. Uang itu adalah uang yang diberikan
oleh teman saya dengan tujuan mengolok saya karena saya ini pemadat rokok
selagi ada di Amerika. Saya pikir kami bisa menggunakan uang itu. Kalau ini
uang olokan bagaimana kamu memanfaatkannya sehingga pada akhirnya berkembang
untuk usaha kamu.....”. Tanpa persetujuanku ia mengajak aku ke kamarnya
dan mengeluarkan uang itu dari anlfonya yang sudah dirupiahkan berjumlah
Rp.10.750. Dengan bangga aku
menerimanya dan pamit pulang ke asrama.
Saya merasa ditantang olehnya dan berniat untuk mengembangkan uang ini dari
jual sayurku di Pasar Baru Maumere.
Hari selasa, 31 Mei 1995
tibalah hari yang bersejarah itu. Saya mempunyai tedang dan jual sayur sendiri
pisah dari Om Herman. Pagi Hari Om Herman memberikan saya berbagai jenis sayur
sebagai modal awal dengan nilai uang Rp.60.000 yang akan saya kembalikan dengan
mencicil. Siang hari terima sayur Moni senilai Rp.164.600 dengan perinciannya
sebagai berikut :
- Kol Bungkus sebanyak 77 pohon X Rp. 500 = Rp.38.500
- Sawi Besar/Ndevi 83 Pohon X Rp.700 = Rp.58.100
- Kentang Kurang lebih 35 kg X Rp.800 = Rp.28.000
- Pisang Beranga 20 sisir X Rp.1.000 = Rp.20.000
- Wortel 1 karung kecil= Rp.20.000
Total Rp. 164.600
Dengan demikian modal awalku hari itu
sebesar
Uang tunai Rp.10.750
Uang barang Rp. 224.000 Total Rp. 234.750.
Tidak sampai 1 Jam setelah sayur sari Moni
datang, banyak teman lain juga yang membeli sehingga sore hari sebelum mereka
pulang ke Moni saya mencicil mereka sejumlah Rp.96.600. Sampai pada sore hari
hasil jual sebanyak Rp.106.350, Sehingga tutup kas hari pertama tanggal 31 Mei
1995 sebesar:
Modal awal Rp.234.750
Laku terjual Rp.106.000
Bayar Pengeluaran Rp.96.000
Menjual sayur dan
mempunyai tedang sendiri seperti yang saya alami setelah menjual tanpa modal
memang sungguh menyenangkan. Setiap hari ada uang walaupun tidak banyak namun
ketika dikumpulkan dari hari ke hari dan dihitung dalam satu bulan saat itu
cukup banyak. Rata-rata pendapatan saya setia hari Rp.17.300, dan kalau
dikalikan selama 30 hari maka pendapatan selama satu bulan berjumlah Rp.519.000.
Pendaptan ini sangat besar pada tahun 1995, mendekati gaji DPRD. Pendapatan ini
adalah pendapatan bersih karena sudah dikurangi dengan biaya operasional
seperti, bayar pajak setiap hari, bayar air serta bayar yang membersihkan
kotoran sekitar tedang sayur. Bulan awal saya bekerja untuk membayar uang Om
Herman Rp.60.000, dan membayar sayur dari Moni. Sedangkan bulan kedua dan
seterusnya baru merasakan pendapatan. Semua pedapatan ini dibagi dua dengan
Adik Ipar Om Herman karena kami bekerja saling bergantian selama 1 hari. Selama
3 bulan Juni s/d Agustus 1995 saya masih mengendalikan arus kas setiap hari,
tetapi karena saya banyak kesibukan menyelesaikan beberapa mata kuliah
ujian smester akhir serta mulai menyusun
skripsi maka seluruh urusan jual sayur dipercayakan kepada Adik Bertoldus
Sukardi (Todus).
Menulis Skripsi di Tedang
Sayur.
Sibuknya
menjual sayur bulan-bulan awal, tiba-tiba
tanggal 14 Juni 1995 saya dikejutkan dengan pertanyaan Pak Bene Kasman
tentang skripsi saya sudah disusun sejauh mana. Pertanyaan ini menyadarkan saya
bahwa jual sayur karena kuliah, bukan
kuliah untuk menjual sayur. Setelah saya menceritakan kepada Pak Beni
tentang perkembangan penyusunan Skripsi saya maka ia dengan iklas menawarkan
bantuan untuk mengetik Sripsi saya. Pak Pisu Hamid pun menawarkan akan
menunjukkan kepada saya beberapa buku sumber karena ia baru saja menyelesaikan
penulisan Skripsi tentang LSM. Saya merasa beruntung diteguhkan oleh Pak Bene
Kasman dan Pius Hamid. Mereka sungguh mendukung upaya yang saya lakukan jual
sayur atau kegiatan lain karena itu mereka membantu mengetik dan mencari buku
sumber untuk skripsi.
Saya
pun tidak menunggu lagi setelah diingatkan Pak Bene Kasman untuk segera memulai
menulis skripsi. Sesuai dengan kesepakatan awal dengan Pater Dr. Leo Kleden,SVD
sebagai dosen pembimbing bahwa saya membuat saja skripsi sejak awal sampai
selesai kemudian diserahkan kepadanya untuk diperiksa dan dimbimbing
selanjutnya. Maka sejak tanggal 15 Juni 1995 saya mulai menulis skripsi di
tedang sayur setiap ada waktu yang sepih atau di sela-sela melayani orang yang
datang beli sayur. Saya tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi karena semua orang
di pasar baru tahu kalau saya masih kuliah dan saat ini sedang menyusun skripsi.
Setiap Bab yang telah saya tulis diserahkan ke Pak Bene Kasman untuk diketik.
Menjual
sayur yang menetap pada sebuah tedang di Pasar Baru Maumere, dan menulis
skripsi untuk menyelesaikan kuliah di STFK Ledalero memang mempunyai
tantangannya tersendiri. Analisa datan Lapangan yang tinggal menyusunnya dalam
alur berpikir logis karena data-data sudah tersedia saya bisa lakukan di Tedang
Sayur, namun menganalisis data dengan kerangka teoretis yang membutuhkan buku
sumber tentu saja tidak mungkin saya lakukan di tedang sayur. Karena itu maka
frekwensiku menjaga sayur semakin hari semakin berkurang berbanding lurus
dengan frekwensiku ke Perpusatakaan Ledalero dan tinggal di asrama semakin
tinggi. Akhirnya pada tanggal 4 September 1995 saya memutuskan untuk
menyerahkan tedang serta sayur yang berada di atasnya Nilia rp.70.000) disertai dengan uang tunai Rp.27.350 saya
serahkan kepada Adik Bertoldus Sukardi (todus)
untuk mengelolanya lebih lanjut bagi dirinya. Saya akan datang hanya
untuk melihatnya sesewaktu dan kalau saya butuh uang untuk beli rokok dan makan
minum saya mohon untuk diberikannya. Todus pun setuju dengan alasanku yang
masuk akal.
Sebagai
tanggungjawab moralku pada Pater Hubert saya coba menghitung berapa
berkembangnnya Modal Rp.10.750 yang ia berikan kepadaku. Perputan uang
mengalami peningkatan dari hari ke hari. Sampai dengan tanggal 4 September 1995
uang tunai yang kami pegang sebesar Rp. 135.000 dan sayur yang belum laku
senilai Rp.70.000 total uang sebesar Rp.205.000. Uang telah dibagikan untuk
kami masing-masing berjumlah Rp. Dengan
perincian Bulan Juni Rp. 37.750, bulan Juli 98.600, bulan Agustus 135.850.
Sedangkan untuk makan minum kurang lebih Rp. 403.500 total 3 bulan Rp.1.762.000
Proyek Pagar Kompleks Candradiya – Maumere.
Keseringan
sayan berada di Wairpelit dengan berbagai kegiatan Mudika dan sebagainya
memungkinkan aku sering bertemu dengan pater Huber Thomas. Suatu ketika pada
awal oktober 1995 dengan basa basi menanyakan kerja jual sayur saya dan hasil
uang yang telah ia berikan kepadaku sebagai modal, ia mengajakku untuk
melaksanakan sebuah pekerjaan untuk pagar keliling Lokasi Candradiya di Wair
Klau Maumere. Setelah dijelaskan perincian pekerjaan dan luasnya lahan yang
akan di Pagar saya akhirnya saya terima pekerjaan itu. Jenis pekerjaan yang
disepakati adalah sebagai berikut : Membuat pagar keliling lokasi seluas 7 ha.
Dengan kayu hidup, gamal dan angsono
dengan jarak 2 meter. Dalamnya tanam kayu hidup 30 cm. Bentangan kawat
duri keliling lokasi yang telah ditanami kayu hidup tersebur sebanyak 4
tingkat. Jarak antara bentangan 50 cm. Tinggi pagar 2 meter. Biaya sebesar Rp.
750.000. Waktu pekerjaan selama 2 minggu. Batas terakhir bekerjaan 10 November
1995.
Pekerjaan proyek
ini menantang bagi saya, namun melihat keuntungan yang akan diperoleh akhirnya
saya menyatakan setuju dan siap melaksanakannya. Saya mengajak teman saya
Yakobus Jie (Jack.) untuk mengerjakan bersama-sama proyek ini dengan sistem
hasil bagi. Tahap pertama yang kami lakukan adalah mencari sumber-sumber kayu
gamal dan angsono di sekitar Ledalero dan Wairpelit. Kami mendapat peluang dari
Ledalero untuk memotong kayu angsono sedangkan kayu gamal dari tetantta sekitar
dengan jumlah Yang terbatas. Selama 2 hari kami memotong gamal angsono dan
gamal di Ledalero dan sekitar wairpelit, namun yang kami dapatkan tidak banyak.
Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti mencari sendiri, dan memutuskan untuk
beli di tempat kerja/Proyek dengan harga Rp.250/batang. Kayu gamal ini akhirnya
diadakan oleh Om Sensi dari Ribang dan Om Naning dari Gere.
Berhubung
pekerjaan ini bersamaan dengan kegiatan pekan Mudika se dekenat Maumere, yang
berlangsung 23 s/d 30 Oktober 1995, maka pekerjaan ini kami sepakati untuk
memnggunakan tenaga dari paga, keluarga pak Jack Jie. Pendropingan gamal dan
angsono terjadi pada tanggal 23 s/d 26 Oktober 1995, pekerjaan menggali dan menanam kayu terjadi pada tanggal 27 s/d
28 Okober 1995, dan bentangan kawat duri terjadi pada tanggal 29 s/d 30 Oktober
1995. Penerimaan dana proyek terjadi tiga tahap. Tahap Pertama 23 Oktober 1995,
tahap II tanggal 28 Oktober 1995, dan penerimaan tahap akhir 08 November 1995
dengan masing-masing tahap berjumlah rp.250.000.
Pekerjaan proyek
ini awalnya sulit saya rasakan, namun dalam pelaksanaannya kami mendapat banyak
kemudahan. Hal ini karena para karyawan
Ledalero yang saat itu lagi membangun Gedung dan kebun di Candraditya,
tahu betul tentang saya dengan segala aktivitas saya sebelumnya. Hanya dua hari
kami menyiapkan beras dan masak sendiri, hari-hari selanjutnya kami makan siang
bersama dengan para tukang dan karyawan lain yang bekerja di Candraditya.
Kumdahan ini membuat kami bekerja dengan serius dan menyelesaikan pekerjaan
lebih cepat dari waktu yang ditargetkan. Saya melapor hasil pekerjaan kepada
Pater Hubert pada tanggal 30 Oktober 1995, kemudian mereka langsung periksa
hari itu juga. Hasil pekerjaan kami dinyatakan sesuai dengan kesepakatan.
Namun karena masih ada kayu gamal dan
angsono yang tersedia serta masih banyak kawat duri yang tersedia maka Pater Hubert
meminta bantuan kepada kami untuk menanam semua kayu yang tersedia dan menambah
bentangan kawat lagi dua tingkat, khususnya bagian bawah supaya menghindari
ternak yang masuk lokasi. Untuk pekerjaan ini kami dijanjikan tambahan dana
tapi tidak disepakati jumlahnya. Karena para pekerja sudah kembali ke Paga maka
tambahan pekerjaan ini kami lakukan sendiri (saya dan Jack Jie.) tanggal 3 /s 4
November 1995.
Dalam catatan
saya mencatat keuntungan dari pekerjaan proyek ini sebagai berikut :
Biaya kayu sebanyak
1040 x Rp. 250.000 = Rp.260.000
Penggalian lubang
dan tanam kayu : Rp.112.000
Pemasangan Kawat
Ikat Rp. 100.000
Biaya-biaya lain
Rp. 68.000
Total Biaya :
750.000 – 540.000 = Rp. 210.000
Sesuai
kesepakatan keuntungan ini di bagi sama
rata maka Penerimaan saya dan Jack masing-masing Rp. 105.000. Sedangkan uang tambahan pekerjaan Rp.50.000,
diberikan jack dengan tulus iklas kepada saya. Sehingga saya mendapat
keuntungan sebesar Rp.155.000 dari pekerjaan proyek pagar keliling lokasi
Candraditya Maumere pada 08 November 1995.
Ujian Skripsi 1 Desember 1995.
Proses
penyelesaian skripsi yang diawali dengan KKN, dan penelitan di Wilayah
dampingan SANRES, penyusunan di Tedang Sayur Maumere, serta pengaturan waktu
diantara bergbagai kesibukan kuliah mimbar, aktivitas mudika, pekerjaan mencari
uang untuk biaya hidup dan lain sebagainya akhirnya membuahkan hasil yang
membanggakan. Dosen pembimbing menyatakan skripsiku layak diuji dan
dipertanggungjawabkan pada Dosen penguji untuk sebagai salah satu tuntutan akademis
memperoleh gelar sarjana Filsafat Katolik Ledalero.
Sebagaimana
dalam uraian terdahulu secara resmi penulisan Skripsi ini mulai pada pulan Juni
1995, yang diawali dengan konsultasi Kerangka tulisan bersama dosen pembimbing
pater Dr. Leo Kleden, SVD. Setelah dikoreksi dan diberikan bimbingan aku
menulisnya sejak Bab I sampai selesai.
Pada bulan Awal Oktober 1995, setelah saya menyelesaikannya saya berkonsultasi
dengan dosen pembiming. Hasil bimbingan kedua ini adalah saya harus membenahi
metodologi penulisan skripsi, bagaimana teknis mengutip sumber baik langsung
maupun tidak langsung, menyempurnakan bahasa, memahami istilah-istilah, serta
korelasi antara bab.
Pada akhir
pertemuan pater Leo membuat perjanjian untuk bertemu lagi pada tanggal 24
Oktober 1995. Berhubung pater Leo tahu tentang kegiatan saya di luar waktu
kuliah maka ia menyampaikan kesepakatan sebagai berikut. Kalau pada tanggal
yang direncanakan Pater Leo berhalangan atau tidak berada di tempat maka dia
yang pergi menemui saya. Karena itu saya memberikan penjelasan kepadanya bahwa
tempat saya berada saat kuliah pasti ada di kelas, setelah jam kuliah saya
berada di asrama atau berada di pasar Baru Maumere. Setelah kesepakatan ini
terjadi saya pergi dan seterusnya menyelesaikan skripsi sesuai yang seharunya
dikoreksi. Tepat pada waktu yang
dijanjikan ternyata pater Leo tidak berada di tempat, maka tibalah suatu hari
ketika saya asyik duduk dengan teman-teman di Pasar Baru bersantai dengan
teman-teman, tak terduga pater Leo datang di tedang sayur. Entah dengan sengaja
untuk bertemu aku atau kebetulan lewat di Maumere aku juga tidak tahu. Dengan
senyum kebapaanya ia berdiri di samping tedang dan menyampaikan salam kepada
saya dan semua yang ada di situ. Ia menanyakan bagaimana laku sayurku hari itu
sebagai pengantar. Kemudian ia menanyakan penyelesaian skripsiku dan
menjelaskan bahwa untuk beberapa waktu ke depan ia ada di Ledalero, sehingga
bisa konsultasi lanjutan sesuai kesepakatan bulan Oktober. Saya pun mengatakan
bahwa sudah selesai dan siap untuk berkonsultasi.
Kedatangan Pater
Leo ke tedang sayur sangat mempengaruhi semangatku dalam berbagai upaya untuk
mencari uang demi penyelesaian kuliah. Aku mendapat dukungan moril yang tidak
terbayarkan. Aku bangga dan merasa sangat bersyukur mempunyai Dosen yang begitu
rendah hati dan memahami kesulitanku. Aku pun merasa sangat berdosa kalau saya
tidak bisa menyelesaikan kuliahku di STFK Ledalero. Dengan rasa penuh semangat
dan lain sebagainya akhirnya dua hari kemudian di awal November saya menyerahkan
hasil pekerjaanku kepadanya.
Entah ini
merupakan awal ujian oleh dosen Pebimbing saya juga tidak mengerti. Salah satu
Bab dari skripsi saya ditolak seluruhnya dari awal sampai akhir dengan
memberikan tanda silang dari halaman ke halaman. Penolakan ini terjadi karena
dalam uraian khususnya kerangka teoretis tentang LSM saya mengutip langsung
dari Buku sumber “Membedah Perut LSM” karangan Sebastian Saragih, serta tidak
ada sumber lain yang diulaskan dalam Bab tentang LSM ini. Saya begitu kecewa
dengan hasil konsultasi ini. Berbagai pertanyaan yang muncul mengapa tidak
dikoreksi sebelumnya karena semuanya telah dilihat pada konsultasi kedua. Saya
hanya diam dan tertunduk. “Saya percaya Frans bisa menyelesaikan Bab ini dengan
cepat,.....” peneguhan Pater leo memudarkan rasa kekecewaanku. Selanjutnya ia
menyebutkan beberapa buku sumber untuk membenahi bab yang ditolak tersebut.
Setelah beberapa saat akhirnya saya menyatakan setuju untuk memperbaiki Bab
tersebut dan akan menyelesaikannya dengan cepat.
Kurang lebih
seminggu saya konsentrasi untuk menulis Bab ini. Mencari buku sumber dan
menulisnya dengan tidak mengabaikan buku dasar yang telah kupakai. Penyusunan
dan pengetikan rampung seluruhnya. Pada tanggal 23 November 1995 saya
menyerahkan Skripsi tersebut pada Pater Leo. Tidak ada konsultasi saat itu,
pater Leo menjelaskan bahwa ia akan
mengoreksinya dulu setelah itu baru dipanggil
untuk konsultasi lanjutan. Saya pun pulang sambil berharap mudah-mudahan tidak ada
koreksi lagi sehingga ketik final untuk persiapan ujian.
Tiga hari setelah
saya menyerahkan hasil koreksi bab yang ditolk, tanggal 26 November 1995 dengan
tidak terduga sebelumnya saya diberitahukan pater Leo untuk siap menghadapi
ujian Skripsi yang akan diadakan tanggal 1 Desember 1995. Saya betul-betul
kaget dan tidak terduga tentang hal ini. Berbagai perasaan Senang, bingung,
cemas bercampur menjadi satu. Dengan berbagai pertanyaan saya menatap pater Leo
seakan tak percaya. Namun ketika ia menjelaskannya bahwa yang telah saya buat
sudah layak untuk menghadapi ujian dan layak untuk dipertanggungjawabkan di
hadapan dewan Penguji. Saya diminta untuk membuat abstraksi dan konsentrasi
untuk menyiapkan pertanggungjawaban pada apa yang telah saya tulis.
Hari Jumat
tanggal 1 Desember 1995, jam 4 sore saya berhadapan dengan 3 orang Dewan
penguji dengan penguji Utama P.Robert Mirsel, SVD, dibantu pater Willem Julay
dan pater leo sendiri. Dengan sedikit gugup saya masuk pendopo Ledalero, dan
duduk dihadapan Dosen penguji yang sudah menunggu kedatangan saya 30 menit
terlebih dahulu. Hal ini karena perbedaan waktu yang dipesan Pater Leo pada
saya dan pada Dosen penguji. Setelah
saya duduk lalu berdoa untuk memulai ujian.
“Frans, ...
banyak mahasiswa yang menghadapi ujian skripsi dengan lutut yang gementar. Itu
berarti belum siap untuk menghadapi ujian. Atau bisa jadi karena belum paham
apa maskudnya ujian skripsi. Ketika penyusunan skripsi dimulai maka pada saat
yang sama dosen pembimbing sedang menguji mahasiswa itu. Ketika dosen
pembimbing dosen pembimbing menghadapkan mahasiswa bimbinganya ke dewan penguji
itu berarti mahasiswa yang bersangkutan sudah lulus dalam nilai skripsinya.
Saat ini Frans sudah lulus dan telah mendapatkan nilai 6, karena Frans sudah
datang dan menyatakan siap dihadapan dosen Penguji. Yang harus dilakukan Frans
saat ini adalah bagaimana mempertahankan nilai lulus yang telah dicapai dan
mempertanggungjawbkan skripsi yang ditulis sehingga mendapat tambahan nilai”,
demikian kata pengantar Pater Leo membuka acara ujian skripsi sore itu.
Mendengar
pengantar ini hati saya sangat girang dan segala kegugupan saya hilang. Saya
begitu percaya diri dan semangat saya seakan meningkat serta ingin
menyelesaikan ujian ini dengan baik. “kalau frans mau dapat point 6, silahkan
tak usah ikut ujian dan kami tanda tangan berita acara, tapi saya yakin Frans
mau mendapatkan point lebih dari 6. Karena maka ujian ini kita mulai. Saya
tidak akan banyak bertanya karena semua pertanyaan selama ini sudah dijawab
Frans dalam penyelesaian tulisan ini. Apakah Frans siap?” Pater leo menambahkan
dan mencek kesiapan saya. Saya pun dengan lantang menjawab siap dan ujian pun
dimulai.
Pater Robert
Mirsel sebagai penguji Utama mengajukan 6 pertanyaan mulai dari
pertanggungjawaban judul dan relevasinya dengan disiplin ilmu Filsafat yang
saya pelajari, pertanyaan menjebak untuk lari dari konteks tulisan dan lain
sebagainya sampai mengkritisi berbagai pokok pikiran yang ditulis dalam skripsi
tersebut. Semua pertanyaan penguji utama saya jawab dengan baik dan tanpa
klarifikasi karena sudah jelas. Giliran berikutnya Penguji kedua Pater Willem
Juley memberikan 4 pertanyaan satu pertanyaan tentang metodologi pen ulisan
skripsi, satu pertanyaan klarifikasi soal penulisan budaya Sikka, satu
pertanyaan mengkrisi pokok pikiran tentang data responden, satu pertanyaan
diskusi yang melibatkan saya dan semua dosen penguji.
Tiga pertanyaan
dosen penguji kedua saya jawab dengan mudah, selagi pertanyaan diskusi
melibatkan kami berempat untuk berpendapat. Pertanyaan diskusi ini membuat saya
merasa terhormat karena diberikan hak yang sama dengan ketiga dosen ini untuk
boleh berpendapat. Asyiknya diskusi membuat kami tidak menyadari waktu ujian
sudah selesai, namun karena masih hangat diskusi maka pertemuan atas panduan
Pater Leo kami lanjutkan dengan berbagai topik diskusi. Pada saat diskusi
berlangsung terjadi hujan dan angin yang agak kencang, sehingga diskusi
dilanjutkan di Kamar pater leo Kleden. Kurang lebih jam 5.45 sore diskusi
berakhir. Pater Leo membatasi diskusi dan mengajukan satu pertanyaan untuk saya
sebagai pertanyaan penutup dan harus saya jawab. Saya ingat baik pertanyaan ini
berhubungan dengan persoalan mendasar yang dihadapi oleh LSM umumnya dan SANRES
khususnya dimana dalam Skripsi saya tidak sempat dianalisis. Pertanyaan ini menurut
pater Leo tidak mempengaruhi point tetapi sangat penting untuk mengkritisi LSM.
Karena tidak
mempengaruhi point maka saya pun menjawab dengan tidak ada beban. Menurut saya
persoalan yang dihadapi oleh LSM umumnya di dunia termasuk SANRES adalah persoalan
kemandirian keuangan dalam membiayai seluruh aktivitas LSM baik untuk program
maupun operasional Kantor dan Staf. Banyak LSM yang menggantung diri pada
Sponsor / donatur. Ketika donatur tidak lagi mendukung dana maka dengan
sendirinya LSM itu tidak akan bertahan lama dan bubar. Di sisi lain kalau LSM
memulai untuk mengumpulkan modal bagi keberlanjutannya maka sering terjebak
sebagai badan Usaha yang akhirnya mengingkari Visi dan misinya sebagai Lembaga
Nirlaba.
Sebelum
mendengarkan hasil ujian saya dipersilahkan untuk keluar kamar 5 menit selagi
ketiga dosen memberikan penilaian atas hasil pertanggungjawaban skripsi saya.
Setelah dipanggil masuk Pater Leo memberitahukan hasil ujian skripsi saya namun
sebelumnya ia memberikan pertanyaan manfaat penulisan Skripsi saya untuk hidup
setelah tamat kuliah dengan pertanyaan apakah saya mampu membuat seperti yang
telah saya tulis dalam skripsi setelah tamat kuliah. Dengan lantang dan tegas
saya menjawab sekaligus janji saya kepada pater Leo bahwa setelah tamat kuliah
saya akan tetap berkarya di LSM. Untuk saat awal saya akan bergabung dengan LSM
yang telah ada, pada akhirnya kalau memungkinkan saya akan mendirikan LSM
Sendiri. Jawaban ini mengakhiri pertemuanujian Skripsiku dengan nilai yang
sangat memuaskan Nilai A, dengan point
8.5. Hampir saja saya meneteskan
air mata mendengar hasil ujian skripsi ini sebagai puncak segala pergulatan
hidup yang aku jalankan sejak tahun 1991 s/d 1995. Bersamaan dengan pamitnya
para Dosen Penguji aku pun pamit pulang dari kamar Pater Leo dengan hati yang
penuh bangga menuju asrama di Wairpelit.
Pengalaman hari
yang istimewa ini saya baru bisa abadikan dalam agenda harianku esok harinya
dengan sebuah tulisan Inilah tulisanku
tanggal 2 Desember yang dikutip langsung dari diaryku
Hari kemarin Jumaat 1
Desember 1995, adalah hari yang istimewa dalam perjuanganku. Aku menyelesaikan
ujian Sripsi dengan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan point 8.5 nilai A.
Bersamaan dengan amukan badai yang menimpa bukit Ledalero aku bertarung menjawab
pertanyaan dosen penguji satu demi satu.
Dalam rintik hujan dan
gelapnya listrik aku disambut teman-teman se asramaku dengan salam Provisiat
atas keberhasilanku. Tapi di hatiku tersimpan sebuah penyesalan. Pertama, aku
tidak sempat merayakan hari istimewa ini dengan teman-teman karena krisis uang.
Kedua berasku di dapur sudah habis. Makan di mana? Untungnya ada pesta di guru.
Aku makan malam di pesta seakan-akan keberhasilanku dirayakan. (Wairpelit, 2 Desemer 1995)
Ujian cicilan terakhir dan Pelatihan
Ekonomi Rumah Tangga 24 Januari 1996.
Menyelesaikan
ujian Skripsi bagi saya yang telah bergulat
dengan berabagai tantangan sejak awal tingkat II adalah suatu pengalaman
yang luar biasa dan istimewa. Tinggal satu langkah lagi yaitu ujian cicilan terakhir
yang harus aku selesaikan sehingga pada saatnya keberhasilanku menggapai
Sarjana Filsafat diumumkan secara resmi pada saat Wisuda. Wisuda bagiku adalah
pengumuman kepada public tentang keberhasilanku meraih sarjana serta pendasaran
legalitas pengakuan public atas intelktualitasku dalam pembangunan
masyarakat.
Berbagai
kegiatan aktivitas setelah ujian skripsi saya lakukan dengan penuh gembira dan
penuh semangat. Bulan Desember saya konsentrasi khusus dalam kegiatan Mudika
Wairpelit, kebetulan saat itu saya dipilih menjadi ketua PU, beberapa pokok
pikiran saya dan usulan kegiatan saya diterima dan dilaksanakan oleh Mudika
Waiperlit. Penghijauan halaman paroki dengan tanam ansono, pepaya dan lain
sebagainya sebagai upaya agar umat tidak
mengikat kambing di halaman gereja atau
halaman gedung Paroki, mengkoker mangga dan tanam di sekitar gereja wairpelit
dan lain sebagainya, hal ini bisa terwujud karena keaktifan saya dalam kegiatan
mudika.
Demi
membiayai hidup harian di asrama saya tetap ke Pasar Baru membantu memasarkan
sayur Om Herman dan Adik Todus, sehingga pada siang hari saya makan di pasar
baru dan malam hari pasti dapat uang Rp.3.000 s/d 5.000 dan bisa hidup untuk
beberapa hari. Keberadaanku di tedang sayur hanya untuk senang-senang dengan teman-teman
lama. Karena tidak sibuk dengan kuliah dan hanya tunggu cicilan terakhir maka
kadang saya tidur di Kota Uneng di keluarga Om Herman, dan pada hari-hari pasar
menjelang Natal saya membantu dia untuk menjual sayur di pasar Nita. Kadang
saya melayani pesanan sayur beberapa dapur di barak-barak ledalero. Semua uang
yang aku dapat hanya untuk membiayai hidup makan dan minum serta untuk
membeli kertas dan biaya fotocopy
penjilidan Skripsi.
Pada
bulan Januari 1996 saya bertemu dengan Bapak Drs. Sabinus Nabu, saat itu Kepala Kantor PMD kabupaten Sikka di Pasar baru Maumere. Ia
merasa terkejut ketika suatu pagi ia bersama istrinya belanja sayur di tedang
Om Herman dan saya yang layani. Ia mengenal baik dengan saya karena saya aktif
di PMKRI dan sering meminta uang padanya
di kantor kalau ada kegiatan PMKRI. Ketika saya memberikan penjelasan
keberadaan saya di pasar baru dan jual sayur saat itu ia merasa tak percaya,
namun tambahan informasi dari teman-teman sekitar tedang sayur tersebut membuat
ia yakin atas penjelasan saya. Karena sayur yang dibelinya agak banyak maka
saya menghantar sayur itu ke mobilnya. Sebelum mobilnya pulang ia sempat
mengklarifikasi beberapa hal, antaral lain keberadaanku dulu di SANRES, PMKRI
dan GEMA KOSGORO. Seterusnya ia menanyakan kepadaku soal kuliah yang saya
sambut dengan bangga bahwa saya tunggu Wisuda saja pada bulan Mei 1996 yang
akan datang. Ia pun mengatakan bahwa aku hebat sambil mengangguk ia menstater
mobilnya lalu pergi.
Suatu
pagi tanggal 20 Januari 1996, sopirnya datang ke asrama dan menjemput aku untuk
ke Kantor PMD. Karena saya sudah kenal dengannya maka tanpa basa basi pun saya
mengikuti sopir itu untuk turun ke Maumere bertemu Bapak Sabinus Nabu.
Setibanya di Kantor ia meminta saya untuk ikut pelatihan Ekonomi Rumah Tangga yang
berlangsung pada tanggal 21 s/d 26 Januari 1996. Dan pelatihan sudah dibuka
pada malam hari tanggal 20 Januari 1996. Saat itu saya tidak mengerti maksud
Bapak Sabinus Nabu terhadap saya, karena itu berdalih bahwa bagaimana sayur
saya di tedang. Memahami usaha saya maka ia menyepakati, semua keuntungan
harian saya dari jual sayur akan diganti dengan kesepakatan selama tiga hari
saya dilatih saya mendapat penggantian Rp. 25.000, dan tiga hari melatih saya
mendapat uang Rp.45.000, seterusnya saya diminta untuk segera kembali siapkan
diri dan sore hari sudah melapor diri pada panitia pelatihan di Hotel
Sugonian-Maumere.
Saya
pun kembali ke asrama dan menyiapkan sejumlah pakaian untuk pelatihan tersebut.
Namun satu tantangan menghadang saya ketika salah seorang teman saya memberikan
khabar bahwa ujian Matakuliah Kristologi II yang kebetulan cicilan terakhir
saya terlaksana pada tanggal 24 Januari 1995. Setelah saya berpikir kahirnya
saya memutuskan bahwa saya ikut pelatihan, Saya pun mulai perpikir minus malum
bahwa nilai Kristologi I saya adalah A kalau Kristologi II tidak lulus saya
tetap Wisuda dan tambat Sarjana.
Pelatihan bagi
Pelatih (TOT) Ekonomi Rumah Tangga ini adalah kerjasama LP2M Padang dengan
Pemda Sikka dalam rangka mempersiapkan para Pendamping IDT tahun 1996/1997,
peralihan dari GERBADES saat itu. Bersama dengan beberapa Camat dan Ibu PKK
kabupaten saya menjadi pesera Pelatihan. Selama 3 hari kami dilatih bagaimana memnfasilitasi pelatihan dan 3 hari
kemudian kami memberikan pelatihan kepada calon Pendamping IDT angkatan I
berjumlah 45 Orang.
Di antara hari
pelatihan ini pada tanggal 24 Jaunari 1996 saya melapor langsung ke Bapak
Sabinus Nabu bahwa beberapa jam saya akan kembali ke Ledalero untuk ikut ujian
Cicilan terakhir. Ia pun setuju dan memberikan kepadaku sebuah sepeda motor
Dinas untuk dibawa ke Ledalero dan digunakan selama pelatihan berlangsung.
Padatnya pelatihan membuat saya betul tidak belajar mengahdapi ujian Cicilan
terakhir mata kluiah Kristoligi II pada tanggal 24 Januari 1996, tapi saya
tidak gentar dan penuh percaya diri mengerjakan soal-soal ujian tersebut.
Setelah selesai ujian saya pun pulang langsung meneruskan kegiatan di Hotel
Sugonian.
Pelatihan Pelatih
dengan Materi Ekonomi Rumah Tangga ini memberikan manfaat yang cukup berarti
bagi saya. Kami dilatih bagaimana memberikan pelatihan yang pastisipatif,
menyusun modul dan materi pelatihan, bagaiman menghidupkan susana pelatihan
(Dinamika Kelas), bagaimana menyimpulkan diskusi kelompok dan lain sebagainya. Pada
akhirnya setelah tiga hari di latih kami langsung melakukan praktek untuk
memnfasilitasi para pendamping GERBADES
dan calon Pendamping IDT Anggkatan I di kabupaten Sikka saat itu. Pelaksanaan
praktek memfasilitasi ini dinilai oleh Tim Pemandu dalam rangka menemukan
fasilitator terbaik untuk seterusnya memfasilitasi para pendamping IDT angkatan
berikutnya.
Pada saat memfasilitasi pelatihan saya diberikan kesempatan oleh Tim Pemandu untuk membawakan Materi Metodologi Pedagogi
dan Andragogi. Dengan berbagai keterbatasan belum berpengalaman memfasilitasi
para pendamping yang sudah berpengalaman saya pun memfasilitasi pada sore hari
tanggal 25 Januari 1995. Tak pernha terduga bahwa materi Metodologi Pedagogi
dan Andragogi ini termasuk salah satu materi yang dimintai oleh para pendamping
GERBADES dan Calon Pendamping IDT sebagai peserta angkatan I di kabupaten Sikka saat itu. Saya
betul kewalahan dala menjawab pertanyaan peserta, namun dengan bantuan sesama
Fasilitator dan Tim Pemandu akhirnya materi ini diselesaikan dengan memuaskan
peserta.
Hasil Evaluasi Tim
Pemandu /Tutor dari LP2M Padang memberikan penilain kepada saya menduduki urutan
ke-7 dari 30 orang peserta Pelatihan Pelatih Ekonomi Rumah Tangga kerja sama
LP2M Padang kerja sama dengan PEMDA Sikka yang berlangsung tanggal 21 s/d 26
Januari 1996. Saya merasa puas dengan penilaian ini dan merasa percaya diri
bahwa suatu saat saya bisa menjadi seorang fasilitator yang baik. Tidak hanya
saya yang merasa puas namun bapak Sabinus Nabu juga menyatakan tidak sia-sia ia
memberikan rekomendasi saya sebagai salah seorang peserta pelatihan.
Bergulat dengan tangatangan Bapak Sabinus
Nabu. Feruari s/d April 1996.
Pertemuan
dengan Bapak Sabinus Nabu dilanjutkan dengan diskusi-diskusi dan sharing
pengalaman di rumahnya. Secara pribadi ia mengagumi perjuangan saya sejak saya menceriterakan
semua pergulatanku sejak keluar dari Frater sampai saat kami bertemu dan
menunggu wisuda. Dalam beberapa cerita pengalaman saya tentang berada di
SANRES, jual sayur dan lain sebagainya, menerima pekerjaan proyek pagar yang
merupakan kebanggaan saya dalam menyukseskan kuliah, ternyata di matanya tidak
mempunyai arti apa-apa. Baginya semua yang saya alami memang berhasil namun
tidak akan mendewasakan saya karena semuanya karena belas kasihan orang.
“Frans..., kami harus menjadi orang yang profesional. Bisnis yang profesional
tidak mendasarkan perhitungan untung dari belas kasihan orang. Kamu harus
belajar lagi kalau mau menjadi orang yang profesional...” pernyataan Bapak
Sabinus Nabu pada suatu sore di awal bulan Februari 1996.
Pernyataan
ini menantang saya dan mendorong saya untuk merefleksikan berbagai kegaitan
yang saya lakukan selama ini. Walau pun di hati kecil saya agak kecewa, namun
setelah saya merenungkan lebih mendalam akhirnya saya simpulkan bahwa
pernyataan ini ada benarnya. Beberapa hari saya tidak ke rumahnya karena ia ada
tugas ke luar Kota Maumere. Di asrama saya merenungkan pernyataan ini dan
akhirnya bingung sendiri apa yang saya lakukan sebelum saya wisuda. Saya
mengecek utang kuliah saya di Sekretariat Ledalero, berjumlah Rp. 337.500,
ditambah dengan persiapan wisuda dan urusan untuk Ijasah dan lain-lain bisa
mendekati Rp.450.000. Saya kembali bingung memikirkan bagaimana saya bisa
melunasinya sebelum Wisuda sehingga ijasah bisa langsung diambil dan segera
mencari pekerjaan. Saya juga malas ke tedang sayur lagi, karena tidak mungkin
saya bisa menebus uang kuliah ini dengan menjual sayur, apalagi telah dikelola orang lain dan.... ingat lagi
pernyataan bapak Sabinus Nabu.
Menjual Semangka tanpa hasil.
Entah
Bapak Sabinus Nabu maksud apa lagi saat, itu namun dalam refleksi saya bahwa ia
mau mengajarkan saya bagaimana caranya meningkatkan posisi tawar Petani. Suatu
hari ia meminta saya untuk menjual semangkanya di Pasar baru Maumere. Saat itu
ia mempunyai pekarangan yang penuh dengan semangka yang siap dipasarkan. Saya
pun tidak pikir panjang setuju yang usulkannya. Hari pertama saya dan salah
seorang anak yang tinggal bersama Pak Sabinus Nabu mendorong gerobak dari
rumahnya di Wair Klau menuju pasar baru, berisikan semangka sebanyak 14 buah.
Kami di suruh untuk menjual dengan harga Rp.3.500/buah, tidak bisa kurang. Kami
pun berangkat dan tiba di pasar Baru. Gerobak kami parkir di tempat yang saya
tahu ramia dikunjungi orang. Dengan semangat yang menggebu saya berdiri di
samping Gerobak itu sambil menawarkan kepada pembeli seperti saya menawar
sayur. Banyak orang yang datang mendekati gerobak dan ingin membeli semangka
tersebut, namun karena harganya sangat mahal maka tidak ada yang membeli. Sudah
2 jam kami duduk dan tidak ada satupun yang laku dan pasar mulai sepih.
Karena
penasaran saya akhirnya meninggalkan gerobak itu pada anak yang menemani saya
tadi dan berjalan di dalam pasar baru. Ternyata di dalam pasar itu juga ada
yang menjual semangka dengan harga yang sangat murah. Rp.500/buah atau
Rp.1.000/3 buah. Dengan tidak disangka salah seorang ibu yang tadinya ingin
membeli semangka saya di gerobak tiba juga di tempat Bapa Tua yang jual
semangka selagi saya berada disampingnya. Ia memborong 8 buah semangka milik
Bapa Tua tadi dengan harga Rp.3.000. Setelah itu Ibu itu berlalu saya ceritekan
ke Bapak tua itu bahwa saya juga jual semangka dengan Rp.3.500/buah. Bapak itu
tidak percaya dan langsung menuju gerobak yang aku tunjukkan. Setelah ia
melihatnya ia berkata mengapa jual semahal itu, dengan gaya negosiasi saya
menjelaskan memang harga semangka sekarang apalagi yang berkualitas seperti
yang ada di gerobak itu mahal. Hanya Bapak yang jualnya telalu murah. Mendengar
ucapan saya Bapak itu pun pulang meninggalkan kami.
Sampai
dengan jam 11 siang pasar mulai sepih tidak ada satu buah semangka pun yang
laku. Saya amat kecewa dan kuatir bahwa nanti saya kena marah dari Bapak
Sabinus karena dinilai tidak mampu memasarkan semangka miliknya. Kami akhirnya
pulang dan membawa kembali semangka yang kami pasarkan dengan utuh. Sesampainya
di rumah ketika Bapak Sabinus pulang kantor jam 2 siang, kami melaporkan bahwa
tidak ada satu pun yang laku karena harga terlalu mahal. Bapak Sabinus hanya
diam dan tak komentar, dan ia menanyakan kepada saya apakah tadi kami tolak
gerobak keliling pasar dan masuk dalam pasar sambil jual, saya mengatakan tidak
kami berada di tempat. Dengan alasan ini maka ia menjelaskan inilah yang
menyebabkan semangka tadi tidak laku. Saya membela diri dan mengatakan banyak
juga yang jual semangka dengan harga yang murah. Dia kembali berargumen bahwa
kualitas dan mutu berbeda. Ini Semangka Super, isinya warna merah dan tanpa
biji. Itu yang harus kami pasarkan. Saya pun mengalah dan diam sambil
merenungkan bahwa yang dijelaskannya itu juga benar, tapi banyak orang yang
menjual semangka murah. Ia pun meminta supaya besok harinya kami menjual lagi
dan bawa dua gerobak. Kalau satu orang tinggal di tempat satu orang dorong keliling
pasar. Saya tak kuasa menolak karena agak segan dan ia sangat kebapaan dalam
berdiskusi bahkan ngobrol berdua di depan teas rumahnya, isap rokok bersama dan
nimum kopi bersama. Sayapun diperlakukan seolah-olah anaknya sahabatnya. Ketika
aku mau pulang ia mengatkan bawa saja sepeda motor sehingga datang pagi-pagi.
Keesokan harinya
kami mengikuti perintah, bawa dua gerobak dan sampai di pasar berputar-putar
keliling pasar dan bahkan saya mendorong gerobak masuk di antara tedang sayur
bertemu teman-temanku yang jual sayur. Mereka pun tidak ada yang membeli karena
harganya mahal. Kejadian hari kedua persis hari pertama, tidak ada yang laku
terjual. Ingin rasanya saya mengikuti harga di pasar tetapi takut dimarahi.
Karena agak lapar maka saya berani mengambil salah satu semangka dan membawanya
ke tedang sayur untuk makan bersama teman-teman lama saya. Setelah itu kami
pulang dan melaporkan hasilnya. Ia pun tidak marah karena tidak ada yang
terjual, Ketika ditanya tentang petunjuk yang diberikan saya menjelaskan
semuanya sudah kami lakukan bahkan sambil jalan saya sempat berteriak-teriak.
Pada akhir
penjelasan itu ia mengatakan agar kami
coba sekali lagi besok besok harinya
kalau tidak laku lagi tidak apa-apa. Bawa pulang dan semangka yang rusak
diberikan saja ke babi, sedangkan kalau saya mau bawa pulang ke asrama untuk
kasih teman-teman atau makan sendiri silahkan saja. Karena ia mau isitirahat
siang dan ada kegiatan pertemuan sore maka ia mengatakan bahwa setelah makan
siang saya boleh pulang besok bertemu lagi. Saya pun kembali ke dapur dan
dengan rasa malu saya makan siang karena saya diberi makan sementara semangka
tidak laku. Tapi ketika saya mau pulang Istri pak Sabinus memberikan aku uang
Rp.15.000 untuk isi bensin di motor dan selebihnya saya pakai. Ia pun memberikan saya sebuah karung untuk mengisi
semangka seberapa saya mau bawa untuk makan di asrama atau untuk teman-teman.
Saya pun tidak sanggup menolak dan ada rasa takut mereka tersinggung kalau saya
menolak. Saya membawa 3 buah semangka isi dala karung. Karena masih siang maka
saya kembali ke tedang sayur dulu untuk memberikan sebuah semangka pada
keluarga Om Herman, sebagai oleh-oleh dan terus ke Waipelit. Saya tidak
langsung ke asraa namun singgah terlebih dahulu ke rumah Bapak Agus Odang untuk
membawa satu buah semangka sebagai oleh-oleh. Bagi saya Bapak Agus Odang dan keluarganya bagaikan keluarga sendiri dan
hampri setiap minggu atau dua hari sekali saya ada di rumahnya bahkan sering
meminyajm sepeda motornya untuk menghantar sayur atau keperluan apa saja sejak
saya keluar dari SANRES bualn Oktober 1994.
Pada bapak Agus
odang saya menceriterakan pengalaman saya yang buruk ini bahkan ceritera agak
tidak puas dengan Bapak Sabinus Nabu. Bapak Agus Odang hanya tersenyum dan
mengatakan bahwa kalau Pak Sabinus Nabu memang orangnya sangat keras kalau
mendidik orang dan tidak jaga perasaan orang. Tapi hatinya sangat baik, suka
membantu orang dan suka mengajarkan orang tentang hal-hal yang berguna. “Pak
Frans jangan putus asa, dia pasti ada maksudnya untuk Pak Frans, apalagi dia
tahu betul kegiatan pak Frans selama ini...”, kata pak Agus Odang. Ia juga
menjelaskan kalau pak Sabinus Nabu itu keluarga yang sangat dekat dengan
keluarga Pak Agus Odang sejak dari Timor sana. Saya akhirnya terhibur dengan
penjelasan Pak Agus tentang pak Sabinus Nabu dan kelaurganya. Saya baru sadar
bahwa Bapak Sabinus Nabu mau mencoba
saya.
Keesokan harinya
beberbekalkan informasi dari Bapak Agus Odang saya turun ke rumahnya meletakan
sepeda motor dan segera mengambil gerobak dan mengisi semangka yang sudah
dipetik oleh teman jual saya kemudian segera menuju pasar baru. Hasilnya sama
dengan dua hari sebelumnya, tidak ada satu buah semangka pun yang laku dijual.
Hari ini saya tidak putus asa dan segera kembali ke rumahnya Pak Sabinus Nabu.
Karena bliau belum pulang dari kantor dan saya sudah sepakat hari terakhir kami
menjual semangka tersebut, maka saya langsung pergi dari rumahnya dengan
meninggalkan sepeda motor. Untuk beberapa hari saya tidak ke maumere dan tinggal
saja di asrama menjilid memperbaiki skirpsi dan menyerahkannya ke Sekretariat
untuk dijilid.
Karena saya penat
di asrama maka saya pergi main-main di tedang sayur pingin bersendagurau dengan
teman-teman pernjual sayur. Saya kaget ternyata harga semangka di pasar baru
sudah meningkat dalam tempo satu minggu. Harga paling rendah Rp.1.500/buah dan Rp.5.000/3
buah. Sedangkan semangka super dengan harga Rp.3.500 s/d 5.000/buah. Saya baru
sadar ternyata Bapak Sabinus Nabu telah mengajarkan kepadaku sebuah pelajaran
yang sangat luar biasa. Saya akhirnya sadar ia seorang pahlaman yang
menggunakan saya sebagai ujung tombaknya untuk memperjuangkan kenaikan posisi
tawar Petani Semangka di kota Maumere pada bulan Februari 1996. Saya malu
dengan Bapak Sabinus dan semakin segan karena itu pada tahap selanjutnya saya
tidak berpikir panjang ketika ada ide baru yang ia tawarkan.
Pak Sabinus
akhirnya tahu bahwa selama saya kuliah Bapak Agus Odang sama dengan keluarga
saya sendiri. Kepada keluarga Bapak Agus Odang ia menceritakan bahwa saya orang
yang hebat dalam sebuah perjuangan hidup. Namun ia tidak pernah mengungkapkan
secara langsung dengan saya, termasuk maskudnya menyuruh saya jual semangka
yang tidak pernah laku itu. Dalam pertemuan selanjutnya dengan saya ia lebih
banyak bertanya tentang utang kuliah saya di Ledalero serta memikirkan usaha
yang bisa mendatangkan uang lebih cepat untuk tebus utang kuliah sebelum
wisuda.
Menjual Ikan dan Advokat ke Kupang.
Merasa prihatin
atas kesulitan saya menjelang Wisuda, akhirnya Bapak Sabinus Nabu menawarkan
saya untuk berusaha dengan deukungan modal Rp.500.000 dengan kesepaktan
dikembalikan hanya pokok pinjaman saja tanpa bunga. Ia memberikan waktu dua
hari bagi saya untuk memikirkan usaha apa yang akan saya jalankan kemudian ia
memberikan saya modal tersebut. Setelah saya mendapat peluang modal ini akhirnya saya berani mengambil keputusan
kalau saya harus menjual ikan kering ke Kupang. Setelah saya memantapkan
rencana ini akhirnya akhirnya saya memberitahukan kepada Bapak Sabinus Nabu. Ia
sangat setuju pikiran saya dan memberikan penjelasan tambahan apa yang
sehrusnya saya lakukan dengan modal Rp.500.000 itu. Ia juga mengatakan jangan
hanya satu jenis barang saja tetapi usahakan juga barang lain seperti advokat
dan lain sebagainya. Setelah bertemu dan menjelaskan tujuan saya maka ia
memberikan saya uang Rp.500.000 kepda saya.
Tahap pertama
yang saya lakukan adalah memewan Advokat pada salah seorang teman langganan
saya yang berasal dari Koting. Dari uang tersebut daya membeli advokat dan ikan
kering dengan jenisnya Ikan besar belah dan yang terbanyak ikan teri.
Perbelanjaan ikan ini bersama Bapak Sabinus Nabu di pasar Geliting, langsung
dari Pulau. Dengan setia dan penuh dukungan Bapak Sabinus menggunakan mobil
dinas untuk mengangkut Ikan tersebut dari Geliting ke rumahnya. Pengepakan
barang pun terjadi di sana. Adapun barang bawaan saya ke Kupang sangat banyak
antara lain : 3 keler besar advokat, dengan susunan yang rapi, 2 keler ikan
belah dan 6 karung Ikan teri, dan 1 gardus Lombok Kecil.
Saya berangkat
dari maumere menuju Larantuka pada tanggal 21 Maret 1996 dan tiba di Pelabuhan
Bolok Kupang tanggal 23 Maret 1996. Memang sangat aneh perjuangan ini karena
saya tidak pernah ke kupang sebelumnya. Namun dengan penuh percaya diri dan ada
kenalan saya di sana maka saya berani pergi ke Kupang. Saya berjalan bersama
Kaka Mery (alm.) Saudari dari Kak Yos Inosensius kampung Ribang Wairpelit. Karena
belum tahu rumah calon Kaka Ipar saya di Kupang maka saya menurunkan semua
barang saya itu di rumah kontrakan Pak Ino bersama dengan Kaka Mery.
Betapa
membahagiakan saya ternyata barang yang saya bawakan ini sangat dibutuhkan di
Kupang. Serentak hari itu di rumah pak Ino bagaikan pasar. Banyak orang datang
ingin membeli advokat dan ikan belah. Karena tidak tahu harga pasaran di sana
maka menyogok sals seorang gadis cilik tetangga kelas V SD. Memberikannya
advokat yang besar, dengan penuh lugu anak itu mengatakan tak usah om, nanti om
rugi. Lalu saya enjawabnya tidak seberapa ko ruginya, ini hadiah om. Ketika
advokat itu sampai di tangannya langsung saya tanaya memangnya kalau Nona beli
di pasar yang itu harganya berapa ? ih mahal om yang segini itu Rp.500 om. Atas
informasi ini maka saya memasarkan advokat tersebut Rp.500/buah atau Rp.100/3
buah. Serentak semua yang datang membeli dengan Rp.1.000/3 buah. Di maumere
saya beli Rp.1.000/8 buah.
Hari pertama
menjual advokat dan beberapa ekor ikan saya mendapatkan uang Rp.67.500.
Keesokan pagi harinya saya dihantar Pak Ino ke Pasar Oeba dengan memikul 2
gardus Advokat dan satu gardus Ikan Kering (ikan belah). Semua advokat laku
terjual sedangkan ikan hanya beberapa ekor yang laku. Tiga hari saya memasarkan
advokat di pasar Oeba dan semua advokat laku terjual di Pasar Oeba dan di rumah
Pak Ino di Kupang. Setelah semua advokat laku terjual baru saya menjual ikan.
Saya pernah menjual ikan teri di depan Kantor BPD Kupang kepada teman-teman
kantor Pak Ino. Setelah tiga hari di Pak Ino akhirnya Calon Kaka Ipar saya saat
mereka tahu saya ada di Kupang datang menjemput saya dan semua ikan yang saya
bawa ke Rumah mereka. Dengan mengendarai bemo milik pribadinya Kaka Petrus
Sukardi mengangkut Ikan-ikan saya ke rumah Kaka Yohana susmiati (Kaka Ati.)
Dari rumah kaka
Ati saya menjual ikan dengan cara membawa contoh ke beberapa kenalan mereka dan
beberapa tempat dan biara. Saya memasarkan ikan ke Hotel Cahaya Bapa, Susteran
SSps, belakang Unika, ke biara Klaret di Penfui, ke para Frater di Penfui dan
ke Seminari St.Rafel Kupang, saya juga memasarkan ikan ke Biara RVM dan
keukupang Kupang dan teakhir ikan belah saya diborong Bapak Dr.Hendrikus
Fernandez, atas pesanan Pater Blas Fernandez.
Merasa bahwa ikan
kering yang saya bawa sangat diminati masyarakat Kupang maka saya akhirnya
mencari pasaran sampai di Kefa dan Soe. Saya sempat tidur satu malam di Pasar
Soe bersama dengan salah seorang anak penjual sayur bernama Melky Molo.
Walaupun tidak menjual ikan saya mendapatkan informasi banyak tentang harga
ikan di pasar Soe, serta bagaimana pengawetan Ikan ala Timor sehingga
mendapatkan ikan kering yang bermutu baik untuk ikan belah maupun ikan Teri.
Seterusnya keesokan harinya saya teruskan ke Kefa mencari pasaran dan menjual
Ikan kering satu Gardus. Saya tinggal dengan keluarga Pak Agus Odang, bapak Yan
Siga di Tanah Putih. Selama 3 hari saya berada di Kefa dan memasarkan Ikan di
Pasar Kefa. Semua Ikan kering yang saya bawa laku terjual di pasar Kefa. Dan
saya sterusnya kembali ke Kupang. Sesampainya saya di Kupang Ikan teri yang
saya bawa tinggal 3 karung karena selama saya di soe dan kefa Kaka Ipar saya
tetap memasarkan ikan tersebut. Saya tinggal beberapa hari di Kupang sambil
mempelajari situasi pasar Naikoten. Saya sempat belajar menjual sayur juga di
Kupang bersama dengan orang-orang Maumere yang mempunyai Tedang di Pasar
Naikoten, juga sempat menjual Ayam pedaging milik Kaka Ati di Pasar Naikoten. Setelah
dua minggu di Kupang akhirnya saya kembali ke Maumere tanggal 07 april 1996.
Segera setelah
tiba di Maumere saya melaporkan hasil perjalanan saya kepada Bapak Sabinus Nabu
dan membawa uang Rp. 787.500. Ikan 3 karung masih tersimpan di Kupang dan dari
Biara Seminari Tinggu Penfui masih ada uang Rp.86.000 yang belum sempat saya
ambil. Dengan demikian hasil jualan ikan dengan modal Rp.500.000 ini telah
menghasilkan uang sebanyak Rp. 1.089.000 dengan perincian Uang barang Rp. 36 kg
Ikan teri X Rp.6.000 = Rp.216.000, uang belum diambil Rp.86.000 dan Kas yang
saya pegang Rp.787.500. Bapak Sabinus Nabu sangat senang dengan hasil
perjalanan pertama ini. Ketika saya memberikan saya memberikan uang untuk
mengembalikan uang pinjaman tersebut ia hanya menerima Rp.300,000 yang lainnya
sebagai Modal Usaha lanjutan apalagi saya akan ke Kupang lagi untuk menghantar
pesanan dari Seminari Oe Pui dan Seminari Penfui Kupang. Ia juga menyarankan agar saya melunasi semua hutangku
di STFK Ledalero.
Dengan hati
bangga saya menuju STFK Ledalero dan melunasi semua hutang kuliahku sebelum
saya Wisuda. Sesuai dengan utangku yang masih tersisa saya membayar dengan uang
hasil jualan ikanku di Kupang. Aku juga langsung membayar sebagian uang untuk
Widua dan berjanji akan saya lunasi sebelum Wisuda dan ambil Ijasah. Kini
perasaan sangat legah dan bahagia tak terlukiskan, aku merayakan Paskah 1996
dengan penuh kemenangan saya bagaikan bangkit bersama Kristus dari perjuangan
melawan kesulitan hidupku yang kini seakan tidak pernah terasa lagi.
Setelah perayaan
paskah Maret 1996, tanggal 12 April 1996 saya kembali lagi ke Kupang untuk
menghantar pesanan Ikan dari Biara Seminari Oe Pui dan seminari tinggi di
Penfui Kupang. Kepergianku ke Kupang bukan untuk mencari keuntungan lagi tetapi
seakan untuk bersenang-senang karena sudah otomoatis aku diwisuda dan ijasahku
langsung dibawa karean tidak ada utang ibaya kuliah. Di Kupang saya merayakan
hari Ulang Tahun ke -27 pada 14 April 1996 dengan air mata kebahagiaan. Karena
sebentar lagi saya diwisuda dan menjadi seorang Sarjana. Hanya 4 hari saya di
Kupang untuk menghantar pesanan dari dua biara, seterusnya aku kembali dengan
menumpang Fery Kupang Ende. Hal ini terjadi karena Fery ke Larantuka ada macet
dan baru ada pada minggu berikutnya. Saya berangkat dari Kupang pada tanggal 17
April dan tiba di Maumere tanggal 19 April 1996.
Dalam perjalanan
Fery Kupang Ende aku bertemu dengan Adikku Theresia yang baru saja pulang dari
Kupang menuju Ruteng. Kepadanya aku sempat menitipkan Surat untuk Bapakku Andreas Subang (Alm.) untuk hadir
wisuda yang akan diadakan bulan Mei 1996. Saya pun menjelaskan ke adik thersia
bahwa semua uang kuliahku sudah selesai dibayar dan Bapa tinggal hanya datang
untuk menyaksikan aku diwisuda.
Wisuda Sarjana Filsafat : 04 Mei 1996.
Satu
kebahagiaan besar bagi saya terjadi pada
tanggal 04 mei 1996 ketika wisuda Sarjana
Filsafat Agama Katolik di Ledalero-Maumere Flores. Untuk diketahui bahwa saya
salah satu dari 6 orang mahasiswa yang
diwisuda lebih cepat dari teman-teman seangkatan. Angkatan kami sebenarnya baru
bisa diwisuda pada tahun 1997, namun karena kami mampu menyelesaikan kuliah
mimbar dan menyelesaikan skripsi dengan cepat maka kami bisa diwisuda pada
tahun 1996.
Adalah
biasa bagi seorang mahasiswa yang akan diwisuda maka tentu saja banyak hal yang
perlu dipersiapkan, mulai dari persiapan seremonial wisuda sampai pada acara
syukuran bersama teman atau kenalan atas keberhasilan yang diarihnya. Ada
beberapa persiapan yang saya lakukan menjelang wisuda antara lain Pertama,
Tanggal 29 April 1996, Bapa saya tercinta Andreas Subang (Almarhum) tiba di Wairpelit-Maumere.
Ia membawa 3 potong kain sarung (songke) untuk dijual demi mendapatkan uang
yang saya butuhkan saat wisuda. Berhubung semua keuangan telah tersedia
semuanya maka kain sarung tersebut saya gunakan untuk menyampaikan terima kasih
kepada Bapak Sabinus Nabu Sek. karena ia membantu saya dalam menuntaskan biaya
kuliah. Lagi pula saya masih mempunyai Hutang Rp.200.000 uang pinjaman modal
Usaha jual ikan ke Kupang. Dua Kain songke yang dibawakan Bapak saya serahkan
kepada Bapak Sabinus Nabu dengan menyampaikan ucapan terima kasih serta
memberitahukan kepadanya bahwa saya akan segera diwisuda. Satu lembar kain
sarung yang lainnya diberikan kepada Calon Mertuaku saat itu, karena ia sempat
membongkar Celengannya berjumlah Rp.50.000 memberikan hadiah kepada saya yang
dengan penuh perjuangan menyelesaikan kuliah dan sampai pada wisuda. Dengan
demikian hadiah Bapak telah saya teruskan kepada semua mereka yang telah
berjasa dalam detik-detik terakhir perjuanganku.
Kedua, Pater Kirch Berger, SVD memberikan uang Rp.750.000
kepada kepala asrama St.Thomas Morus Wairpelit sebagai dana perpisahan antara
kami dan dengan teman-teman yang se asrama. Hal ini merupakan salah satu
kebiasaan yang dilakukan pater Kirch kepada
para mahasiswa eks frater yang menghuni di asrama Thomas Morus
asuhannya. Ketua Asrama memberikan tahukan kepada kami para wisudawan (7 orang
) saat itu bahwa dalam rangka perpisahan kami yang wisuda mengundang keluarga
berjumlah 20 orang setiap wisudawan karena dana terbatas. Pada saat ini Pacar
saya Yohana Poni, menghadiahkan saya satu ekor Babi yang dipiaranya untuk
merayakan pesta Wisuda saya dan teman-teman di Asrama. Dan Calon Mertua Bapak
Antonius Puang memberikan 6 botol arak yang dijual di Kiosnya kepada Panitia
Pesta sebagai rasa turut berbahagia atas keberhasilan saya. Ia pun membelikan
saya baju kemeja putih karena untuk seremonial Wisuda para sarjana mengenakan
pakaian baju kemeja putih dan celana warga gelap/hitam. Inilah persiapan dan
hadiah yang saya peroleh saat menjelang Wisuda.
Ketiga, Satu hal lagi yang
tidak saya lupakan adalah hadiah khusus menjelang Wisuda dari seorang Gadis
asal Timor yang saya akui sangat memberikan dukungan moril kepda saya , menjadi penjual sayur untuk menyelesaikan
kuliah. Selama saya memainkan peranan ganda mahasiswa dan penjual sayur banyak
gadis baik pacar ataupun teman dekat merasa minder kalau mereka menjadi
pacar/teman saya karena saya penjual sayur dan bahkan menjadi kondektur. Mereka
semuanya memutuskan hubungan dengan saya dengan alasan malu terhadap
teman-teman mereka karea berpacaran/berteman dengan penjual sayur/kondektur.
Tapi gadis yang satu ini sangat mendukung saya bahkan pernah membantu saya
menjual sayur di Pasar Nita ketika menjelang Sambut Baru tahun 1995. Ia
memberikan hadiah kepadaku satu bonek cantik. Bersamaan dengan bungkusan hadiah
itu, saya juga menrima sepucuk surat Undangan dari kantor Yayasan Wahana Tani
Mandiri Pagi untuk mengikuti Pelatihan Gapoktan yang akan terjadi pada tanggal
07 s/d 11 Mei 1996. Surat ini adalah awal panggilan kerja di Yayasan WTM Paga
tanpa melamar. Kedua hadiah ini membuat
saya begitu berbahagia karena aku mendapat perhatian dan juga aku langsung
mendapat pekerjaan segera selesai Wisuda.
Wisuda Sarjana
saya didampingi oleh Bapak Andreas Subang. Entah apa yang dirasakan Bapak
Andreas Subang saat saya menghadpa para Dosen untuk meresmikan saya sebagai
Sarjana tidak saya tahu persis. Cuma ketika aku kembali duduk disampingnya ia
meneteskan air mata dan memberikan tangan kepada saya. Saya pun tunduk hormat
dan mencium tangannya dengan penuh kebanggaan. Inilah hadiah yang terbesar yang
aku berikan kepadanya seumur hidupnya pikirku.
Sesampainya di
asrama saya telah ditunggu keluarga Om Herman dari tedang sayur Maumere dan
keluarga Kaka Ate dari lela membawakan hadiah berupa makanan dan sejumlah uang
dalam anflop sebagai hadiah. Mereka semua menyampaikan ucapan selamat kepada
saya dan masing-masing mereka bernostalgia tentang sepak terjang saya yang
mereka ketahui kepada Bapak Andreas Subang. Bapak Andreas Subang tidak henti-hentinya menyampaikan terimakasih
banyak atas dukungan dan bantuan mereka termasuk semua orang yang telah dengan
caranya sendiri-sendiri mendukung keberhasilan saya.
Pada malam
resepsi bersama dengan temanteman di asrama yang dihadiri oleh undangan para
wisudawan (7 orang Wisudawan), serta utusan Mudika saya diberi kesempatan untuk
menyampaikan kata sambutan mewakili 7 wisudawan. Kepada udangan saya
menyampaiakan bahwa keberhasilan yang kami raih bukan karena usaha kami sendiri
saja melain lebih banyak didukung oleh orang lain entah, keluarga, sahabat
kenalan, terlebih teman-teman se asarama dan tetangga sekitar. Saya
menyampaikan terima kasih dan mohon maaf kepada teman-teman se asrama karena
dalam kebersamaan di asrama pasti ada banyak hal yang saling mendukung dan ada
hal juga yang membuat hati tersinggung. Saat
resepsi ini saya bahagia karena orang-orang tua sekitar Waipelit juga
hadir dan utusan teman-teman dari pasar baru juga sempat hadir untuk mengambil
bahagian dalam kegembiraan saya.
Selama dua hari
tanggal 5 s/d 6 Mei 1996 saya habiskan waktu bersama dengan Bapak Andreas
Subang di asrama dan sempat mengunjungi teman-teman penjual sayur di Pasar Baru
Maumere untuk menyampaikan ucapan terima kasih pada hari Minggu tanggal 06 meri
1996. Pada tanggal 07 Mei 1996 pagi Bapak Ande berangkat ke Ruteng sementara
siang hari saya berangkat ke WTM Paga menghadiri Undangan pertemuan yang
akhirnya sejak saat itu saya dihitung tanggal 01 Mei bekerja di yayasan WTM
Paga sampai tahun 1999.
Catatan akhir
Mendaki Puncak Ledalero “pergulatan semasa
kuliah” adalah sebuah pelajaran baru untuk mendamaikan tantangan dan
harapan/impian. Menyadang gelar Sarjana umumnya atau Sarjana Filsafat pada STFK
Ledalero khususnya, pasti mempunyai cerita masing-masing mahasiswa. Tulisan ini
hanyalah fleshback pengalaman pribadiku yang tentu sangat berbeda dengan
rekan-rekan seperjuangan saya atau mahasiswam Ledalero umumnya. Mimpiku
menamatkan kuliah di Ledalero bagaikan seorang pendaki Gunung yang sudah berada
di atas Puncak yang dikejar. Dalam situasi yang tidak menentu antara
keberhasilan yang sudah dicapai sambil mengusapi luka-luka yang tergores pada
seluruh tubuh perjuangan hanya bisa diungkapkan dengan sebuah kalimat. “memetik setangkai mawar janganlah takut pada
duri yang menggoresi jari-jari dan pergelangan tangan; dan ketika dihadiahkan pada kekasih jangan katakan
padanya tentang jari dan tangan yang terluka. Dalam diam, cinta akan membalut goresan luka; dalam
beningnya air mata langkah dan
tapak-tapak perutusan ke tangah dunia didoakan
untuk memetik tangkai mawar yang baru…..”
ME LOVE
FLORES
[1] Votase adalah......
[2]Ratio adalah
[3] Pater Niko Hayon SVD adalah Magister I Novisiat SVD Ledalero saat
itu.
[4] Seks Appeal adalah istilah psikologi untuk....................The
quality of being attractive in sexual way: a
man with lots of sex appeal.
[5] Pater Boli Uja adalah Magister II Novisiat SVD Ladalero saat itu.
[6] Homo seks. Tahun 1992 marak isu homo seks di kalangan Frater
Ledalero saat itu termasuk di Novisiat.
[7] Adalah kebiasaan bagi saya untuk mengungkapkan perasaan lewat puisi
atau catatan harian. Kebiasaan ini dibangun sejak saya di Novisiat Nenuk dalam
setiap renungan harian.
[8] Mama Yus Warut, ......
[9] Ungkapan bahasa Manggarai yang bisa diterjemahkan demikian “mengapa
enkau terlalu berpikir tentang hidup ini. Kalau tidak mampu untuk sekolah kita
mempunyai Sawah dan Kopi untuk menghidupkan kita. Kalau memang Tuhan memberikan
jalan untuk kita seperti itu yah... terima saja, Mengapa engkau berputus
asa??”.
[10] Bulan Januari bagi Petani di kampungku adalah bulan Paceklik. Uang
sangat sulit didapat. Bila membutuhkan uang pada bulan-bulan seperti ini
biasanya pergi ke Rentenir, dan dikembalikan 2 kali limat pada bulan Juli tahun
yang sama. Atau biasanya dikembalikan dengan kopi saat panen bulan Agustus atau
september.
[11] Demi melunasi biaya sekolah menjelang ujian akhir di SMA Seminari
Kisol Bapakku menjual tanah dengan kopinya yang sudah berbuah luas 1.2 ha
dengan harga Rp.3.000.000.
[12] Ibuku punya keterampilan membuat periuk tanah....
[13] Kerja harian dengan upah Rp.4.000/hari di persawahan Rana Loba
milik Om Kiong, di desa Ranaloba Jec. Borong tahun 1986.
[14] Kerja harian di Dampek Sius Mboeng.....
[15] Saya pemain bola seminari Kisol dan pernah mempunyai keterampilan
menjahit sepatu bolakaki dengan harga Rp.2.500/pasang.
[16] Erna Dalung anak dari Bapak Gaspar Matu Dalung orang asal Kampung
Maumere-Ruteng, yang sudah puluhan tahun tinggal di Halilulik – Atambua-Timor.
Selama Frater Novisiat SVD Nenuk, saya dan beberapa Frater dari Manggarai
sering bertamu dan mengunjungi keluarga bapak Gaspar Dalung di Halilulik. Erna
Dalung bersama teman-teman STKIP-nya pernah berkunjung ke Paroki Benteng jawa
dan pernah berlibur di keluarga saya di kampung Kedel.
[17] Rebok berasal dari...
[18] Bapak Frans Kedang pergi mengunjungi saudarinya seorang suster di
Maumere, yang kebetulan saya kenal baik dan sering bertemu ketika saya masih
Frater. Saya sempat menghantar Bapak Frans Kedang ke alamat adiknya itu.
[19] Setelah tamat SD saya langsung ke seminari Kisol (SMP dan SMA) 6
tahun, dan seterusnya Frater 2 tahun di nenuk dan di ledalero, sampai bulan Mei
1992.
[20] Insipirasi saat berada bersama pastor Paroki di Benteng jawa, bulan
juli 1992.
[21] Bapak Tanus adalah tetangga.di wairpelit
[22] Di asrama kami membentuk kelompok masak sesuai kesepakatan bersama.
Saat itu bergabung dengan beberapa teman bergabung satu dapur dan ada
kesepakatan setiap bulan kami mengumpulkan uang untuk beli beras dan ikan
rp.15.000/bulan.
[23] Egy Suwandi adalah anak dari saudari sepupu Bapakku, yang nikah
dengan orang Lela dan tinggal di Bentengjawa – Manggarai. Saya dan Egy punya
hubungan darah dekat. Karena itu kesulitanku baik uang maupun biaya kesehatan
kadang dibantunya.
[24] Willy Gusman adalah anak Saudari sepupu Bapakku, ia dan Egy adalah
adik kakak Mama. Willy Gusman adalah teman sdku.
[25] Sejak kelas I SMA Seminari Kisol saya telah menjadi pemain bolkaki
Seminari Kisol dan selama di Novisiat menjadi salah seorang pemain terbaik.
Klub Novisiat memenangkan Piala St.Arnoldus Yansen pada tahun 1991 mengalahkan
semua tingkat II s/d tingkat VI saat itu.
[26] PERSAMI adalah klub Kabupaten Sikka, yang anggotanya terpilih dari
berbagai klub dengan prestasi yang dilihat dalam pertandingan merebut Piala
kabupaten.
[27] Egy sejak kecil tinggal dengan Bapa Besarnya di Lela.
[28] Bidan Ety salah seorang Korban saat gempa terjadi. Kedua Kakinya
patah dan sempat diangkut dengan Truck ke RS. Maumere tetapi berhenti di tengah jalan karena jalan putus
karena longor. Akhirnya ia dikembalikan ke Lela.
[29] Bahasa Manggarai artinya Kaka...... Egy menyakini saya terkubur dan
teriakannya adalah kata pisah....
[30] Mama tua ini baru saja berobat di rs Lela. Karena mobilnya tidak
bisa jalan maka ia dalam keadaan sakit berjalan kaki menuju maumere yang
dikabarkan semua keluarga dan tokonya tertelan gelombang laut.
1 komentar:
Saya sangat senang dan memutuskan untuk berbagi kebahagiaan saya dengan Anda semua, saya dan keluarga saya telah diberkati oleh Tuhan menggunakan Sandra Ovia Loan Firm, saya mengajukan pinjaman satu minggu lalu dan saya mendapat pinjaman disetujui Jumat lalu dan hari ini saya punya saya pinjaman senilai Rp900,000,000.00 ditransfer ke rekening bank saya, saya sarankan Sandra Ovia Pinjaman Firm sebagai yang terbaik dan saya berdoa Tuhan akan memberkati mereka dan menjaga bisnis mereka ke depan, Amin
Jika Anda membutuhkan saran tentang bagaimana saya pergi melalui dengan itu, saya wil senang untuk menempatkan Anda melalui, Anda dapat menghubungi saya melalui Email-widyaokta750@gmail.com
Anda dapat menghubungi firm pinjaman langsung pada mereka
Email-sandraovialoanfirm@gmail.com
Terima kasih
Widya Okta
Posting Komentar