LEMAH
+ LEMAH = KUAT
(REFLEKSI
GERAKAN KOPERASI DAMPINGAN YAYASAN AYO INDONESIA)
Oleh
: John Amiwijaya
Ketua Pengawas
Kopdit AMAN
Pengantar
Gerakan
koperasi kredit di dunia tidak terlepas dari sejarah pertengahan abad ke-19 di
Jerman. FRIEDERICH
WILHELM RAIFFEISEN bersama kaum buruh mendirikan Credit Union pertama di sana di tengah situasi
perekonomian dunia yang morat marit. Situasi yang mendasari berdirinya koperasi
di sana adalah kondisi sosial ekonomi yang suram (petani melarat karena
paceklik – krisis pangan – serangan penyakit, lintah darat – gali lubang tutup
lubang, urbanisasi terjadi, tenaga buruh diganti oleh industri,bank perketat
syarat, pemerintah bagi bantuan uang dan roti – tidak permanent).
Gerakan
awal ini kemudian terus berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran setiap
orang untuk membantu dirinya sendiri dan keluarganya. Prinsip yang menyebutkan
bahwa kesulitan yang dialami oleh setiap orang hanya bisa diatasi sendiri oleh
orang tersebut, mulai merasuki setiap orang di jaman itu. Mereka kemudian
berkumpul dan bersatu untuk menolong diri mereka sendiri dalam wadah yang
kemudian kita kenal sebagai koperasi.
Di
abad 20, Credit
Union mulai merambah wilayah Kanada. Orang pertama yang memperkenalkan koperasi di sana
adalah seorang wartawan
bernama Alphonse Desjardin. Dari Kanada koperasi berkembang ke Amerika Serikat yang dipelopori pedagang kaya asal Boston bernama Mr. Edward Fillene.
Perkembangan gerakan ini terus menunjukkan perubahan yang cepat, hingga pada
akhirnya dibentuklah biro pengembangan koperasi kredit sedunia di Medison AS. Pembentukan
biro tersebut sekaligus menjadi titik awal koperasi kredit mulai dikembangkan di seluruh dunia. Di
Indonsia sendiri, gerakan koperasi dimulai pada awal Januari 1970 dengan
dibentuknya CUCO yang dipimpin oleh Pater Albrech Karim Arbie, SJ.
Mari
kita lihat bahwa embrio terbentuknya sebuah koperasi adalah suatu kesamaan.
Situasi ekonomi yang sama, pengalaman yang sama, kondisi hidup yang sama, nasib
yang sama, kesulitan yang sama, perasaan senasib dan sepenanggungan serta
berbagai hal kesamaan yang lainnya. Kondisi yang sama itu mendorong setiap
orang untuk secara bersama-sama bergerak menuju tujuan yang sama pula yakni
perubahan kondisi hidup yang lebih baik dalam semangat kebersamaan dan
solidaritas antara sesama.
Tulisan
ini mencoba untuk mengurai pengalaman dan sejarah perjalanan gerakan koperasi
yang diprakarsai oleh Yayasan Ayo Indonesia di Manggarai, Flores, NTT, setelah
kurang lebih 12 tahun lembaga ini bekerja bersama dengan para petani kecil di
wilayah pedesaan yang tersebar di sejumlah tempat di Manggarai Raya
(Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur).
Perjalanan penuh dinamika
Semakin
jauh kaki melangkah, semakin banyak pengalaman yang dijumpai. Sepenggal kalimat
di atas sedikit banyak menggambarkan pengalaman dan pengetahuan yang dirasakan
oleh lembaga Ayo Indonesia selama kurang lebih 12 tahun berjalan bersama para
petani dampingan di pedesaan yang tersebar di wilayah Manggarai Raya.
Perjalanan bersama yang didukung oleh sejumlah lembaga donatur dari luar negeri
itu telah banyak memberi warna dan pengalaman. Ada pengalaman yang mengesankan
juga yang tidak mengenakkan hati. Cerita seorang mantan staf yang pernah
bekerja di Ayo Indonesia misalnya, bagaimana dia harus memikirkan sejumlah cara
agar para petani dampingan di desa bisa meluangkan waktu untuk hadir bersama di
tempat pertemuan yang telah disepakati sebelumnya. Konon, staf yang
bersangkutan harus ‘menipu’ para petani dengan menginformasikan bahwa akan
datang tamu dari luar negeri ke desa, karena itu warga desa harus hadir untuk
bertemu dengan tamu asing tersebut. Berkat informasi itu, hampir seluruh warga
desa datang berbondong-bondong dengan segala atribut bernuansa adat memenuhi
halaman kampung untuk bertemu dengan tamu asing itu. Alhasil, tamu yang datang
hanyalah sesama staf Ayo Indonesia yang ingin merencanakan bersama warga desa
sejumlah program dan kerja-kerja pemberdayaan yang akan dilakukan di wilayah
desa itu selama beberapa waktu.
Ada
juga cerita lain tentang dua orang staf yang mengalami kecelakaan lalu lintas
saat hendak berkunjung ke wilayah desa pelaksanaan program. Staf yang satunya
harus merayap di semak-semak di pinggiran jalan raya. Satunya lagi terpaksa
harus bertengger di atas pepohonan walau tidak seperti burung yang bersayap.
Kisah lain lagi tentang seorang staf yang harus menahan lapar, takut buang air
besar di kampung yang hampir semua warganya tidak memiliki kakus. Sejumlah
cerita pengalaman itu hanyalah sebagian kecil dari segudang cerita tentang
bagaimana suka dukanya bekerja bersama dengan masyarakat pedesaan.
Selama
kurun waktu kurang lebih 12 tahun itu, Yayasan Ayo Indonesia bergulat dengan
berbagai pekerjaan yang berkisar antara bagaimana membangun kesadaran
masyarakat pedesaan tentang berbagai persoalan yang mereka hadapi. Bagaimana
misalnya menyadarkan warga desa tentang pentingnya pemenuhan gizi dalam
keluarga, tentang pentingnya memiliki kakus, tentang bagaimana meningkatkan
pendapatan dalam keluarga, tentang penguatan dan peningkatan kapasitas
lembaga-lembaga yang ada di desa, sampai pada mulai mempengaruhi masyarakat
desa tentang mengapa penting menabungkan sebagian hasil kerja mereka untuk
kepentingan ekonomi dalam keluarga melalui wadah bersama yang kemudian disebut
kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP). Hal yang disebutkan terakhir
inilah yang kemudian akan menjadi sebuah pencapaian sekaligus menjadi titik
awal perjalanan sebuah ‘kapal’ yang bernama Koperasi Kredit Ayo Mandiri (Kopdit
AMAN)
menuju dermaga kesejahteraan bagi seluruh anggotanya, entah kapanpun itu akan
terwujud.
Kecil tak selamanya indah
Tidak
selamanya kecil itu indah, karena itu mari kita berpikir bagaimana caranya
kelompok-kelompok kecil yang sudah kita bentuk dan dampingi selama ini
membentuk suatu kekuatan bersama dalam sebuah wadah bersama pula. Hal inilah
yang menjadi semangat awal sampai pada munculnya ide untuk mempersatukan
kelompok-kelompok UBSP ke dalam sebuah lembaga bersama yang kemudian lahir
dengan nama Kopdit AMAN. Lembaga keuangan ini lahir pada tanggal 19 April 2010
di tengah semakin maraknya lembaga serupa lainnya menebarkan sayapnya di
Manggarai. Tujuan awal dari terbentuknya Kopdit AMAN ini adalah menghimpun
kelompok-kelompok UBSP yang telah didampingi sebelumnya.
Selama
kurun waktu pendampingan terhadap kelompok-kelompok UBSP, ada banyak hal yang
menarik untuk dijadikan bahan pelajaran. Kami menemukan bahwa, semangat anggota
kelompok untuk menabung sebagian hasil kerja mereka melalui UBSP perlahan-lahan
mulai tumbuh. Ada sebagian anggota kelompok dampingan yang mengaku bahwa mereka
memiliki rencana untuk menabung di bank, hanya saja jarak tempat tinggal mereka
dengan bank cukup jauh ditambah lagi dengan berbagai persyaratan administratif
yang harus mereka lengkapi, membuat niat mereka untuk menabung di bank menjadi
kendur. Dengan adanya UBSP, mereka bisa menabung uang mereka walaupun untuk
dipinjamkan kepada sesama anggota kelompok yang membutuhkan.
Di
setiap kelompok UBSP, jumlah rata-rata anggota berkisar antara 10 hingga 20
orang. Hanya beberapa kelompok UBSP saja yang jumlah anggotanya di atas 20
orang. Jumlah yang relatif sedikit tersebut tentu berdampak pada mudahnya
pengaturan dan pembuatan laporan tentang perkembangan keuangan kelompok UBSP.
Pengendalian terhadap anggota juga tidak terlalu sulit, karena hampir setiap
anggota mengenal satu sama lain. Beberapa di antaranya memiliki hubungan
keluarga.
Seiring
berjalannya waktu, perkembangan jumlah modal di setiap kelompok UBSP pun terus
bertambah. Aktifitas menyimpan, meminjam dan mengangsur pinjaman pun terus
terjadi setiap bulannya. Anggota senang karena akhirnya mereka mudah
mendapatkan uang ketika mereka membutuhkan. Mereka tidak lagi harus bergantung
pada penjual uang di desa yang memasarkan uangnya dengan bunga relatif tinggi
(antara 5 hingga 10 %). Uang yang mereka pinjam di UBSP dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan keluarga mereka, seperti untuk urus anak sekolah, biaya
kesehatan, membeli bahan makanan dan juga untuk urusan sosial kemasyarakatan
lainnya (upacara adat).
Pada
kondisi dimana semua anggota merasa senang karena mereka tidak lagi susah
mendapatkan uang, kami tidak berpikir bahwa akan datang saatnya terjadi
penumpukan uang di setiap kelompok UBSP. Hal ini tentu ‘berbahaya’ dari segi
transparansi pengolahan keuangan di tingkat kelompok. Selain karena
keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh setiap pengurus di tingkat
kelompok, memegang uang dalam jumlah yang banyak untuk orang di desa selalu
tidak aman, sebagaimana juga umumnya terjadi pada kebanyakan orang. Penumpukan uang
ini terjadi karena semua anggota sudah mendapat giliran untuk meminjam dan
masih memiliki hutang yang harus dikembalikan ke kas dalam bentuk angsuran. Di
sisi lain, kelompok telah membuat peraturan bahwa orang yang meminjam harus
terlebih dahulu melunasi hutang sebelumnya. Tidak dibenarkan adanya sistem
pinjam tindis. Peraturan yang sebelumnya
disepakati untuk menghindari ketidakadilan dalam mendapatkan pinjaman akhirnya
menjadi seperti senjata makan tuan. Sendiri yang membuat peraturan, sendiri
pula yang menanggung akibatnya.
Di
beberapa kelompok, urusan administrasi keuangan berjalan dengan lumayan baik.
Selain karena kapasitas sumber daya mereka cukup baik untuk ukuran orang desa
(bisa baca, tulis, menghitung), juga karena staf lapangan program melakukan
pendampingan rutin setiap bulan, terutama ketika hari UBSP. Ada juga kelompok
yang harus terus menerus dibantu, karena untuk tulis angka uang dari setiap
anggota saja selalu salah, hal yang akan menjadi masalah besar karena
berhubungan dengan uang.
Di
tengah situasi tersebut, satu-satunya faktor yang mengikat adalah hubungan
emosional antara kelompok dengan staf lapangan yang terus menerus terpelihara
dengan baik. Kunjungan rutin setiap bulan, membuat hubungan emosional tersebut
terus tumbuh dan berkembang sampai akhirnya menciptakan rasa saling percaya. Di
beberapa tempat kondisi seperti ini tidak terjadi, karena beberapa staf yang
tidak rutin mengunjungi kelompok. Juga karena ulah staf yang membuat mereka
merasa tersakiti. Menyakiti hati orang di desa adalah masalah besar dan membuat
rasa percaya mereka terhadap orang luar menjadi berkurang. Sejumlah ‘dosa’ masa
lalu ini juga turut mempengaruhi keenggaran sejumlah kelompok untuk langsung
bersepakat bergabung di bawah payung Kopdit AMAN di kemudian hari.
Menapak jalan menuju
kemaslahatan bersama
Selain
sebagai makhluk sosial, manusia juga adalah makhluk ekonomi. Sebagai makhluk
ekonomi, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk bisa hidup dengan baik.
Paling kurang, seseorang manusia dewasa harus mampu memenuhi tiga kebutuhan
yang paling dasar dalam hidupnya, yaitu pangan, papan dan sandang.
Meski
demikian, kenyataan menunjukkan bahwa masih ada kelompok masyarakat yang belum
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu dengan baik. Di daerah-daerah
dimana persaingan antara individu sangat kuat, banyak orang yang menjadi korban
dari situasi persaingan itu. Ada kelompok masyarakat yang karena
ketidakmampuannya menjadi korban dari situasi yang terjadi. Keluarga yang satu
tidak bisa membantu persoalan yang dialami oleh keluarga yang lain, karena
mereka fokus untuk mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi dalam keluarganya
sendiri. Masalah-masalah sosial-ekonomi sudah mulai menjadi masalah privat yang
mau tidak mau harus mampu diatasi oleh orang yang sedang menghadapi masalah
itu. Tidak ada lagi ruang untuk saling berbagi pengalaman hidup karena semua
orang sibuk dengan urusannya sendiri. Individualisme semakin tumbuh dan
berkembang di tengah semakin maraknya persoalan sosial yang terjadi di tengah
komunitas masyarakat.
Situasi
seperti yang disebutkan ini juga terjadi ketika Raiffeisen mulai menggagas
koperasi di negaranya di Jerman, meskipun secara kultural dan geografis
memiliki perbedaan. Mereka akhirnya memilih untuk berkumpul bersama untuk
mengatasi persoalan hidup yang sedang mereka hadapi ketika itu. Apa yang
terjadi? Kekuatan-kekuatan kecil yang mereka miliki pada setiap orang saat itu,
akhirnya mampu mengatasi masalah besar yang terjadi yang melanda hampir seluruh
kelompok masyarakat. Kesulitan atau persoalan hidup yang dialami oleh suatu
kelompok masyarakat hanya bisa diatasi oleh kelompok masyarakat itu sendiri.
Inilah prinsip yang kemudian membuat mereka menjadi sangat maju dan kuat dalam
mengatasi berbagai persoalan yang terjadi.
Pengalaman-pengalaman
seperti yang disebutkan di atas tentu sangat menarik untuk dijadikan sebagai
pelajaran dalam konteks masyarakat sekarang secara khusus dalam kehidupan
berkoperasi. Di tengah situasi sosial masyarakat yang diwarnai dengan berbagai
persoalan, persatuan dan rasa senasib dan sepenanggungan menjadi modal kuat
yang harus terus menerus dipupuk. Dengan sebuah pendekatan manajemen
pengelolaan yang baik, maka berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat
hanya bisa diatasi apabila kelompok masyarakat itu bersatu dan menghimpun
berbagai kekuatan yang mereka miliki sekecil apapun itu. Filosofi dasar dalam
hidup berkoperasi dengan selogannya aku susah kau bantu, kau susah aku bantu
harus sungguh-sungguh menjadi kata-kata yang hidup. Kemaslahatan bersama dalam
sebuah komunitas masyarakat hanya bisa terjadi ketika ada persatuan untuk
mengatasi berbagai persoalan yang terjadi.