Minggu, 29 Maret 2015

UNTUKMU YANG PASANG MATA




Pada setangkai mawar yang kutanam
Dengan telapak tangan cinta dan cangkul sepenuh hati
Terus kusiram tanpa lelah
Di siang bolong dan malam yang jauh

Kurawat dengan segenap jiwa
Kusiram dengan air mata kala ditinggalkan
Di musim kering
Kugadai separuh hati kala layu terancam

Kupetik di akhir musim tiba
Dengan luka tangan tergores duri
Lantas kau merampas dari tangan yang terbalut luka
Lalu kau hiasi meja perjamuanmu
Harumkan namamu pada segenap tamu
Pesta di akhir tahun,

(Lereng Bukit, 29 Maret 2015).

Minggu, 22 Maret 2015

OTO BIOGRAFI MASA KULIAH



Cintaku Kandas di Bukit Mentari
MENDAKI PUNCAK LEDALERO
(Pergulatan Masa Kuliah)
Pendahuluan.
Menjelang akhir tahun 2009 dimana usiaku telah menjcapai 40 tahun yang hari ulang tahunnya dirayakan 14 April 2009, saya berhadapan dengan sebuah realitas yang menantang. Sejak tahun 2006 saya tidak mempunyai pekerjaan yang tetap untuk memberikan nafkah pada keluarga karena di PHK dari kantor dimana telah bekerja selama 7 tahun dan membawa aku bertualang di Larantuka-Flores Timur yang saat ini sudah mencapai 10 tahun.  Awal april 2009 saya kehilangan Ibu Mertua satu-satunya harta yang istimewa yang dimiliki Istiriku tercinta setelah Bapa Mertua meninggal Maret 2004. Akhir Juni 2009, saya lagi-lagi kehilangan Bapak tercinta, dimana saya lagi berada di Kupang saat ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Manggarai.
Kondisi ini telah menghantar saya pada sebuah refleksi yang panjang untuk memahami perjalanan hidup saya dan memaknai usia ke – 40 tahun sebagai usia yang menantang. Pergulatan  batin sebagai seorang Bapak yang harus memikirkan pekerjaan baru untuk menghidupi diri, istir dan masa depan keempat anak adalah sebuah tantangan tersendiri. Di sisi lain kepergian Bapak tercinta yang hanya memiliki dua anak laki-laki (Kakak dan saya), mengharuskan aku untuk merawat tanah warisan di Manggarai yang telah dibagi Bapak  kepada masing-masing kami berdua satu bulan sebelum ia meninggal, adalah juga tantangan tersendiri. Sebagai seorang manusia yang selalu mencari dan merenungkan dirinya, kondisi ini mendorong saya untuk mengisi waktu yang bimbang antara keputusan meninggalkan segala investasi tanah dan rumah  serta relasi sosial yang telah dibangun di Larantuka dan kembali ke Manggarai mencari pekerjaan baru membangun rrelasi baru sambil merawat tahan warisan yang ditinggalkan Bapak , dengan sebuah refleksi pengalaman masa lalu.
Sejak bulan Agustus 2009, saya membuka kembali diary-diaryku yang masih tersisa dan masih tersimpan rapi di antara buku-buku perpustakaan pribadiku sejak bekerja di Dunia LSM dan buku-buku kantor yang tak diambil lembaga ketika saya di PHK. Saya akhirnya terdorong untuk menulis pengalamanku semasa Kuliah di Ledalero yang diawali dengan sebuah kondisi yang sama seperti yang saya alami sekarang ini, kondisi kegagalan. Pergulatan batin setelah dikularkan dari Frater tahun 1992, sama persis dengan pergulatan batin yang saya alami di tahun 2009. Pergulatan batin anatar meneruskan kuliah di Ledalero dengan tidak mempunyai sumber uang untuk biaya kuliah telah saya hadapi dengan berbagai kreativitas dan berhasil. Maka saya optimis bahwa pergulatan batin ini pun pasti mampu saya lewatkan pada hari-hari yang akan datang. Saya pun tidak menunggu kapan hari itu datang, namun tulisan pengalaman ini bagian dari suatu kreativitas untuk mencapai keberhasilan yang baru paling tidak ketenangan batin untuk mengakrabi pengalaman pergulatan masa kuliah dengan menulisnya dalam perspektif yang baru.
Mencapai Puncak Ledalero, Sebuah pengalaman pergulatan masa kuliah, adalah judul tulisan pengalaman ini dengan sebuah pemahaman bahwa mencapai Sarjana Filsafat Katolik di Seminari Tinggi Ledalero bagaikan mendaki puncak impian yang diraih dengan penuh perjuangan menghadapi semua tantangan sesuai dengan kondisi saya saat itu.
Di usia 40 tahun ini saya menyadari bahwa perjalanan hidup sejak saya keluar dari kampungku pertama kali 12 Juli 1982 menuju Seminari Pius XII Kisol, menyeberang lautan lepas menuju ke Novisiat SVD Nenuk, menyeberang balik ke Flores Ledalero, bekerja di pada terus mengembara sampai akhirnya kini berada telah 10 tahun di Larantuka Flores Timur,  telah mengalami banyak  keberhasilan dan kegagalan. Pengembaraan sejak tahun 1982 sampai dengan saat ini Desember 2009, telah mendewasakan saya untuk menulis tentang pengalaman kegagalan dan bagaimana bangkit dari kegagalan itu. Hal ini dengan sengaja dilakukan karena bagiku kegagalan adalah guru yang terbaik untuk memulai keberhasilan baru, dan banyak keberhasilan yang saya terima berangkat dari pengalaman kegagalan.
Dikeluarkan dari Frater, Mei 1992.
Perjalanan pendidikan saya di Lembaga Pendidikan Calon Imam dimulai sejak tanggal 14 Juli 1983 masuk di  Seminari menengah Pius XII Kisol. Di Kisol selama 6 tahun kemudian dilanjutkan dengan Tahun Rohani selama satu tahun di Novisiat SVD Nenuk. Dari Nenuk dilanjutkan ke Ledalero Novis II sekaligus mulai kuliah Akademik  tingkat I. Kurang  lebih ada  62 orang  Frater  SVD masuk Novis II di Ledalero pada tahun 1991 setelah melewati Novis I di Nenuk- Atambua-Belu NTT. Pengalaman kehidupan sebagai seorang Frater Novis baik di Nenuk maupun di Ledalero besama dengan teman-teman  tahun 1990 sampai dengan tahun 1992 tidak ada yang luar biasa; dalam arti pengalaman yang mempersiapkan saya untuk keluar dari Frater. Saya pun tidak pernah menduga bahwa pada akhirnya pimpinan Novisiat SVD Ledalero  memvonis saya harus menarik diri dari Frater.
Mengakhiri pendidikan Tahun Rohani dan menjelang  pengucapan Kaul Pertama para calon Imam diberikan kesempatan untuk merefleksikan diri serta memutuskan untuk meneruskan kehidupan sebagai Calon Imam atau berhenti. Selain refleksi pribadi kepada para Novis juga diberi kesempatan untuk saling menilai,  menggunakan metode Votase[1]. Karena kami berjumlah 62 orang maka saya diberi kesempatan  untuk menilai 61 orang teman Frater lainnya, dan saya  juga mendapat penilaian dari 61 teman yang lain. Kepada kami diberikan lembaran Votese yang memuat  24 point  komponen penilaian. Kurang lebih selama 2 minggu selama bulan Maret sampai dengan April 1992 kami diberikan kesempatan untuk mengisi lembaran penilaian sesama teman Frater tersebut. Setelah batas waktu yang ditentukan seluruh lembaran penilain di serahkan kepada pimpinan Novisiat yang disebut Magister. Kegiatan dilanjutkan dengan  pertanggungjawaban atas hasil penilain dengan istilah  Ratio[2]. Giliran saya untuk Ratio terjadi pada tanggal 10 Mei 1992.
Ratio sebagai salah satu metode bimbingan bagi para Frater oleh seorang Pembimbing Rohani bagi saya adalah sesuatu yang sangat baik untuk mengenal diri  baik yang kita sadari maupun yang kita tidak sadari namun dilihat dan dialami oleh orang lain. Dari 24 point komponen yang dinilai dalam   Votasi  saya mendapat penilaian yang baik  ada 16 point dan  tidak baik ada 8 point. Dialog terjadi untuk menanggapi hasil penilaian tersebut, Pembimbing memberikan kesempatan kepada saya untuk mengklarifikasi  hal yang belum jelas baginya serta sebaliknya saya mempertanyakan hal-hal yang belum jelas. Pada kesempatan Ratio ini pembimbing juga meminta pendapat saya untuk menentukan apakah saya meneruskan perjalanan sebagai Calon Imam atau berhenti. Pada saat itu saya dengan tegas dan tanpa ragu-ragu memutuskan bahwa saya mau meneruskan perjalanan hidup saya sebagai calon Imam dan mau mengucapkan Kaul Pertama. Pater Magister memberikan kesempatan kepada saya untuk refleksi kembali selama dua minggu sambil menanti kegiatan Ratio teman-teman selesai semuanya. Pertemuan Ratio Pertama pun selesai dan saya langsung berpikir dan membayangkan  bahwa saya layak untuk mengucapkan Kaul Pertama yang direncanakan 1 Agustus 1992.
Lima belas hari kemudian tanggal 25 Mei 1992, jam 7 malam   saya mendadak diberitahu salah seorang teman untuk menghadap Magister Novisiat alm. Pater Niko Hayon SVD[3]  pada jam 7 malam di kamarnya. Tanpa memikirkan hal yang buruk terjadi  saya langsung menghadap sang Magister. Sang Magister mempersilahkan saya duduk dan mulai membuka pembicaraan sebagai pengantar pertemuan Ratio kedua. Pater Niko Hayon SVD (alm.) menjelaskan bahwa setelah melihat hasil Votase, Ratio dari teman-teman serta pertimbangan pimpinan maka saya disimpulkan tidak layak untuk meneruskan perjalanan hidup sebagai calon Imam. Untuk itu maka saya diminta untuk mengundurkan diri, dan kalau tidak mengundurkan diri dengan tujuan mencoba diri hidup di luar dulu sebagai awam biasa dan pada akhirnya kalau masih ada niat untuk masuk lagi baru melamar diri dan lembaga SVD masih menerima saya. Tetapi kalau memaksa diri untuk meneruskan hidup sebagai calon imam maka  akan dikeluarkan, dengan demikian ketika ada niat untuk masuk biara SVD lagi  maka pintu untuk saya di SVD akan tertutup. Betapa terkejutnya saya mendengar keputusan ini. Sebagai manusia  yang batinnya tidak dipersiapkan dengan baik untuk menerima keputusan mendadak seperti ini saya marah dan protes. Saya mempertanyakan kepada Magister alasan /  kesalahan saya  yang menjadi dasar keputusan Magister dengan dua pilihan menarik diri atau dikeluarkan.
Sang  Magister dengan penuh kebapaanya memahami kemarahan saya dan memberikan beberapa menit untuk saya menyampaiakn protes tersebut. Ketika saya berhenti beribicara ia memberikan komentar bahwa ia sungguh memahami apa yang saya rasakan dan sangat mengerti kalau saya marah dan protes. Ia juga menjelaskan bahwa keputusan yang diambil pembimbing adalah keputusan yang terbaik bagi kepribadian saya di kemudian hari. Ia menjelaskan keputusan ini tidak ada kaitannya dengan Votase teman-teman sesama Novis, tetapi lebih didasarkan pada penampilan saya setiap hari yang diamati oleh para Frater Senior dan beberapa pastor yang turut mendampingi dan membimbing Frater Novis. Cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara memandang, tingkah laku mendorong para pengamat untuk menyimpulkan bahwa saya sesorang yang  “Sex Appeal”[4]. Seseorang yang mempunyai type kepribadian semacam ini mempunyai potensi untuk menarik orang lain baik sejenis maupun lawan jenisnya. Sebagai seorang Frater dan Calon Imam ,  type kepribadian yang  saya miliki ini sangat menantang dalam kehidupan berkomunitas, yang homogen. Karena itulah maka keputusan yang diambil pembimbing adalah keputusan yang terbaik bagi saya menurut Pater Niko Hayon dan diharapkan saya menerimanya dengan rendah hati.
Terus terang saya tidak paham apa yang dimaksudkan sex appeal itu, dan bagaminan hal ini menantang saya. Saya  beragumentasi berpakaian, cara berkomunikasi dan lain sebagainya. Mangapa itu baru diberitahu dan langsung memvonis semacam itu. Saya juga sempat mempertanyakan apa peranan pembimbing dalam type kepribadian semacam itu. Pater Magister malah menjawab mengusulkan untuk menguji diri di luar adalah salah satu bimbingan yang diberikan oleh pembimbing. Ia pun mengusulkan bahwa pembicaraan lanjutan saya harus berhadapan dengan Pater Bernad Boli Uja[5] yang saat itu masih di luar daerah dan baru kembali September 1992. Penjelasan ini membuat saya terpukul dan tidak bisa berbuat apa-apa, penjelasan dari pater Bernad Boli Uja, SVD baru saya terima bulan September 1992 sementara teman-teman saya sudah berkaul Pertama  tanggal 1 Agustus 1992. Itu berarti secara tidak langsung Pater Niko Hayon mau memberitahukan kepada saya bahwa saya tidak mengucapkan Kaul Kekal seperti teman-teman yang lain dan saya memang sudah dikeluarkan.
Saya dengan rendah hati memohon kepda Magister untuk memberikan pertimbangan lain, namun pater Niko Hayon tetap pada keputusannya. Pembicaraan yang awalnya dialog anatar pembimbing dan anak bimbingan akhirnya menjadi pertengkaran emosional ketika Pater Magister mempercayai laporan teman-teman bahwa saya pernah melakukan prakatek penyimpangan seksual seperti  Homo Seks[6] saat itu. Saya sangat marah karena saya  difitnah dengan penilaian semacam ini. Saya merasa terhina, karena tidak pernah melakukan seperti yang dilaporkan itu. Dengan penuh emosi bahkan saya bersumpah demi Allah, bahwa saya tidak pernah melakukan hal yang menyimpang itu dan  penilaian teman-teman itu salah. Pater Niko Hayon pun menjadi marah dan mengatakan bahwa diskusi saja pater Bernad Boli Uja, SVD.  
Saya akhirnya pasrah mendengar pernyataan Pater Niko Hayon yang nampaknya melemparkan tanggungjawab persoalan saya kepada Pater Bernad Boli Uja. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam hatiku namun ketika diminta untuk pulang dan meninggalkan kamarnya saya sempat menyampaikan rasa  menyesal atas keputusan Pater yang tidak benar itu. Saya menyampaikan bahwa saya betul kecewa kepadanya. Ia hanya menunduk dan diam, sampai saya berdiri dan meninggalkan kamarnya.
Malam hari sepulang Ratio saya tidak bisa tidur. Saya kecewa dengan teman-teman saya yang memfitnah saya. Saya pun benci pada para pemimpin Novisiat yang begitu saja mempercayai laporan teman-teman. Saya merenungkan kembali perjalanan panggilan saya seja tahun 1983 s/d 1992 saat keputusan diberhentikan ini terjadi. Ada rasa kecewa, penyesalan, marah, terhina dan lain sebagainya bercampur menjadi satu. Saya  tidak tidur memikirkan keputusan yang tidak benar ini. Keesokan harinya ada rasa pemberontakan dalam diri, ada rasa penyesalan mengapa memilih ordo SVD, dan jengkel dengan jubah sebagai Frater SVD. Misa pagi hari saya tidak memakai jubah dan memacing reaksi teman-teman dan Pater Niko Hayon. Beberapa teman dekat bertanya mengapa saya tidak memakai jubah lalu saya menjelaskan tentang hasil Ratio semalam. Mereka pun kaget dan tidak menduga hal itu terjadi pada saya. Saya hanya diam dan memberikan penjelasan bahwa mungkin inilah kenyataan yang saya harus diterima.
Beberapa hari saya hanya mengurung diri di kamar dan mulai tidak melibatkan diri dalam kegiatan bersama para Frater Novis. Saya banyak berkonsultasi kepada beberapa Frater senior yang saya percayai dan teman-teman novis lainnya. Mereka menghibur saya dan berusaha meyakinkan saya untuk berpikir tenang dan harus bisa menerima kenyataan ini walaupun sangat pahit. Walaupun sakit akhirnya berkat dukungan dan nasihat temanteman saya berpikir tenang dan mulai menerima keputusan ini. Rasa kecewa kepada Pater Niko Hayon SVD, serta para pemimpin Novisiat pun berangsur-angsur reda. Setelah berpikir sedikit tenang, saya menghadap Pater Sebas Hobahana,SVD sebagai salah seorang pimbiming para Novis saat itu untuk mendiskusikan hal-hal persiapan kepergianku dari Novisiat. Dengan penuh kelembutan Pater Sebas memberikan dukungan kepada saya walaupun saat ini tidak Frater tapi masih bisa bertemu dan bersama-sama sebagai mahasiswa. Mengikuti keputusan pater Magister I, maka saya diperbolehkan untuk membawa pergi dua jubah milik SVD itu siapa tahu satu atau dua tahun kemudian aku berubah pikiran dan masuk kembali. Kepada saya pun akan diberikan sejumlah uang untuk biaya pulang ke kampung serta kebutuhan lain dalam perjalanan pulang. Kepada Pater sebas saya mengungkapkan  menerima keputusan untuk menarik diri  dan akan segera pulang ke kampung untuk memberitahukan kepada orang tua dan pastor paroki, selanjutnya untuk memikirkan kelanjutan kuliah.
Pagi hari tanggal 26 Mei 1996, saya berada untuk terakhir kalinya di Novisiat SVD ledalero. Pada kesempatan makan pagi di Kamar makan Novisiat saya berdiri di depan teman teman-teman untuk menyampaikan kata perpisahan. Saya menyampaikan terima kasih kepada semua teman-teman Novis dan meminta maaf atas segala kelakuan saya yang tidak berkenan dalam kehidupan bersama di Novisiat Ledalero. Saya juga menyampaikan peneguhan kepada teman-teman untuk terus bertekun dalam panggilan sebagai calon Imam. Setelah saya menyampaikan kata-kata perpisahan teman-teman datang ke meja makan saya berjabatan tangan dan mengucapkan selamat berpisah sebagai frater dan selamat menempuh hdiup baru di luar sebagai awam. Ada yang meneteskan air mata dengan kepergian saya, namun saya tetap tegar untuk tidak meneteskan air mata. Ketika kembali ke kamar pun masih ada teman yang datang untuk membantu kemaskan barang sambil menunggu mobil jemput di Novisiat untuk ke Ende.
Ketika menunggu mobil seorang diri dan teman-teman sudah berada di ruangan kuliah, saya sempat menuangkan semua perasaan detik-detik terakhir saya berada di Novisiat ledalero dan merefleksikan keputusan yang telah dijatuhkan kepada saya dalam sebuah puisi. Berikut adalah puisi yang saya tulis terakhir kali di kamarku di Novisiat SVD Ledalero satu jam sebelum mobil yang menjemputkan pergi dari Ledalero sebagai Frater tiba.
Di Gerbangmu Putih....
Ingin rasanya aku meneteskan air mata
Merintih dalam tapak-tapak berlalu
Meraung dalam desah napas yang terpasung

Tetapi tidak........
Karena yang kudengar
Cuma desau angin bisu pada dedaunan Keluh
Cuma gemericik sepotong ranting kering terjatuh
Melintang pada seonggokan baru di Bukit Mentari

Aku pun tegak berdiri terpatri
Menantap bidukku di bibir samudera
Merengkuh kayuh meraih bayang
Memandang jauh menembus kaki langit

Jiwaku berpelukan mesra dengan kesendirian
Menelusuri relung kalbu bergelora
Berpagut tak lepas
Berguman dalam diam
Cintaku Kandas di Bukit Mentari.
                                                Ledalero, 26  Mei 1992.[7]

Menanggalkan Jubah: Apa khabar Gembira? Bertemu Keluarga:Pergulatan menuntut Kedewasaan Batin.
Kalau ada banyak keluarga yang bangga karena anaknya ada di Seminari Menengah atau Seminari tinggi, maka keluarga saya adalah salah satu di antaranya. Sesuatu yang wajar pada saat itu bahwa mungkin sampai sekarang kalau masuk di Seminari menengah apalagi di seminari tinggi maka banyak orang yang mendukung tidak hanya keluarga inti Bapak, Mama serta Kakak dan Adik melainkan keluarga besar warga kampung, desa paroki dan bahkan keuskupan. Ketika kita berada di seminari mereka banyak yang mendukung dan menyumbang apa saja yang kita butuhkan, namun ketika kita berhenti maka banyak pula umpatan dan cemoohan yang akan mereka lontarkan kepada kita. Hal ini juga saya alami pada tahun 1992 segera setelah saya berhenti dari Novisat SVD Ledalero.
Berbagai argumentasi saya siapkan dalam perjalanan untuk memberitahukan kepada mereka tentang pemberhentianku dari Frater. Saya menganalisa bagaimana tanggapan dan reaksi mereka kalau mendengar aku keluar. Hasil analisa ini mendorong saya untuk merancang berbagai alasan untuk dijawab kepada orang yang tepat. Sebab tidak semua hal kita bisa menjelaskan secara sama kepada setiap penanya. Dalam pergulatan batin untuk menghadapi keluarga ini saya terinspirasi dari refleksi pengenalan diri saat berada di Novisiat SVD Nenuk tahun 1990  dalam sebuah pernyataan “jadilah diri anda sendiri”.  Yah... saya harus menjadi diri saya sendiri. Keluarga, sahabat, kenalan yang mendukung saya untuk tetap berada di seminari dan menjadi Imam adalah sebuah kondisi sosial yang hanya sebagai peran pendukung, sedangkan keputusan ada pada diri saya. Keputusan telah saya ambil bahwa saya berhenti terlepas dari bagaimana proses sampai keputusan itu dijatuhkan. Saya harus mencintai dan berdamai dengan keputusan yang telah diambil dan siap menerima semua konsekwensi sebagai akibatnya.
Berbekalkan permenungan ini saya terus melangkah menghadapi keluarga baik keluarga inti maupun keluarga besar. Pergulatan pertama menghadapi keluarga Mama Yus Warut di Kumba Ruteng yang sangat mendukung saya sejak seminari menengah sampai seminari tinggi.[8] Kepada Mama Yus sekeluarga saya menjelaskan tentang keputusan saya berhenti dari Frater. Walau pun agak kecewa pada akhirnya mereka memahami dan menerima keputusan saya.  Seterusnya saya bertemu dan melaporkan kepada Pater Provinisial SVD Ruteng untuk menginformasikan bahwa saya tidak melamar untuk  mengucapkan Kaul Pertama pada bulan Agustus 1992. Pater provinsial SVD Ruteng, tidak banyak komentar karena sebelum saya sampai di Ruteng ia mendapatkan informasi dari Ledalero bahwa saya mengundurkan diri. Mungkin ia tahu proeses kepergian saya dari Ledalero, sehingga ia menganjurkan kalau saya bisa Pastor Paroki Benteng Jawa, kalau-kalau ia  ada pikiran lain terhadap panggilan saya.
Kurang lebih 4 hari saya berada di Ruteng tinggal di Mama Yus Warut sekeluarga sambil memantau reaksi Orang Tua saya di kampung Kedel desa Watu Lanur kecamatan Poco Ranaka. Saya mengambil keputusan untuk tidak ke Kampung tetapi langsung ke Paroki Benteng Jawa bertemu dan melaporkan kepada  Pastor paroki Benteng Jawa Rm. Laurensius Sopang Pr, saat itu. Setelah saya melaporkan kepada Bliau tentang proses sampai saya mengambil keputusan untuk mengundurkan diri, ia memahami dan mengajak saya untuk tinggal di Paroki bersamanya sampai kemarahan orang tua dan keluarga mereda.  Satu  Minggu saya ada di Benteng Jawa tinggal dengan pastor Paroki. Keluarga dari kampung pun datang bertemu saya di paroki dan menyampaikan kalau mereka sudah menerima apapun keputusan saya. Pada saat yang sama telah berkembang  isu yang  bermacam-macam, salah satunya  bahwa saya telah menjadi gila karena stress keluar dari Frater, ada pula isu yang mengatakan bahwa saya keluar dari Frater karena masalah dengan perempuan bahkan saat ini saya telah menghilang dengan membawa lari seorang perempuan dan lain sebagainya. Terhadap isu ini saya biarkan saja berkembang karena tidak ada gunanya bagi saya untuk membela diri dan memberikan klarifikasi. Saya berpikir ini bagian dari konsekwensi  sebuah keputusan yang telah ambil.
 Setelah seminggu mendapat peneguhan dari Pastor Paroki akhirnya saya pergi ke kampung bertemua orang tua dan keluarga besar kampung Kedel. Ketika saya masuk ke rumah Bapak saya (alm.) Andreas Subang  tidak menyahut ucapan selamat sore dari saya. Saya meletakan tas pakaian kemudian duduk di meja berhadapan dengannya. Saya pun diam dan tidak mengatkan apa-apa, untuk menghilangkan kegugupan saya menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya pelan-pelan dan melepaskan asap bersamaan dengan napas yang sangat tersesak. “Coo tara pikir laing lau mose hook ta, eme toe nganceng sekolah bom toe manga galung agu poong kopi....,  eme ituy kali tein le Morin, emo dopo hituk ga. Coo tara putus asa laing lau..”,[9] Bapak Andreas Subang membuka pembicaraan sore itu, yang  langsung disambut Mama Helena Lenos dengan nada yang sama,  serta kaka dan adik-adik saya. Keluarga dekat dan tetanggapun datang dan meneguhkan saya. Hampir semua yang datang sore itu memahami perasaan saya sehingga semua mereka menyampaikan ungkapan peneguhan. Saya hanya menangis dan tertunduk tidak bisa mengungkapkan perasaan dari rasa takut kepada rasa terharu atas solider mereka. Saya akhirnya hanya menyampaikan mohon maaf dan terima kasih kepada Bapak Mama serta keluarga yang datang dan mengungkapkan sebenarnya saya malu untuk bertemu mereka. Saya pun akhirnya menceriterakan kepada mereka kronologis peristiwa sampai saya memutuskan untuk berhenti dari Frater. Ceritera saya ini memberikan klarifikasi bagi mereka tentang isu-isu yang telah berkembang di kampung dan sekitarnya. Mereka pun memahami dan menerima saya dengan memberikan peneguhan-peneguhan. Saya bahagia karena mereka menerima dan memahami saya apa adanya.
Menghadapi  keluarga besar kampung Kedel, kenalan  serta teman-teman setelah berhenti dari Frater memang sungguh berat.  Berbagai tanggapan terjadi ada yang merasa menyesal, ada yang tidak berkomentar, dan ada pula yang menyatakan kapok. Semua peristiwa ini saya Saya alami kurang lebih  3 minggu. Saya hanya diam dan lebih banyak berada dalam rumah dan kalaupun keluar rumah hanya pergi kepada keluarga yang mempunyai hubungan darah dekat dan telah memahami keberadaan saya. Memutuskan untuk diam dan lebih banyak berada dalam rumah mendorong saya untuk lebih banyak merefleksikan perjalanan hidup saya sebelumnya dan merencanakan perjalanan ke depan. Beberapa buku karangan Khalil Gibran menjadi teman dalam kesendirian saya dan menimba kekuatan untuk bertekat terus berjuang apapun tantangan yang saya hadapi. Saya juga menganalisa kekuatan orang tua untuk membiayai kuliah saya, makan minum serta kebutuhan lain kalau saya melanjutkan kuliah entah di Ledalero atau di tempat lain. Saya teringat akan pengalaman buruk pada bulan Januari 1985, dimana saya dan Bapak dipermalukan pagi-pagi  oleh seorang rentenir (pinjaman dengan bunga 100% selama 7 bulan) ketika hendak meminjam uangnya untuk membiayai sekolahku di SMP Seminari Kisol.[10] Bagaimana Bapak menjual dengan murah sebuah kebun kopi untuk membiayai Sekolahku tahun terakhir di SMA Seminari Pius XII Kisol.[11] Banyak hal  lagi yang saya refleksikan dan mengarahkan saya pada sebuah kesimpulan  tidak mungkin melanjutkan kuliah dengan mengharapkan biaya dari orang tua.
Saya juga mereflkesikan bagaimana pengalaman yang telah buat untuk mendapatkan uang untuk membiayai sekolah sejak SD sampai SMA. Saya teringat pengalaman menjual Periuk dan Kuali dari tanah liat  untuk membeli seragam merah hati menjelang ujian akhir di SD[12], memanfaatkan waktu Liburan panjang saat SMP di Seminari Kisol, kerja potong dan Rontok padi di Borong[13], saya teringat pengalaman memanfaatkan waktu liburan panjang untuk bekerja menyabit dan rontoh padi di Dampek pada tahun 1988[14], bagaimana menjahit sepatu robek saat di Seminari kisol[15] dan lain sebagainya. Semua pengalamanku bagaimana mencari uang untuk melengkapi kebutuhan hidup selama sekolah mengarakah saya saya pada kesimpulan bahwa saya mampu membiayai kuliah dengan mencari uang sendiri. Saya akhirnya optimis akan pengetahuan dan keterampilan yang saya dapat selama saya di Novisiat bisa saya gunakan untuk mencari uang sambil kuliah. Optimisme ini begitu besar ketika menyaksikan beberapa teman SD saya yang kuliah di Ujung Pandang dengan biaya sendiri. Kalau mereka bisa maka saya pun pasti bisa, asal saya mengiktui jejak mereka. Karena itu dalam hati saya memutuskan untuk kuliah di Ujung Pandang.
Tibalah suatu hari setelah sebulan lebih berada di kampung, Bapak dan Mama memanggil saya dan bertanya bagaiaman kelanjutan rencana saya. Kuliah terus atau berhenti dan tinggal di Kampung. Bapak juga memberikan pertimbangan biaya kuliah dan lain sebagainya untuk saya mengambil keputusan yang tepat dan tidak menambah kekecewaan baru. Bahkan Bapakku bernostalgia bahwa  sebenarnya dulu ia menginginkan aku untuk SPG, tapi saya memilihnya ke Seminari dan kini gagal. Bapak menyerahkan keputusan pada saya namun juga menyadari bahwa mereka tidak punya uang. Kalau pun memaksa diri maka akan menjual tanah Kopi dan sawah yang tersisa dan itu tidak mungkin. Kepada Bapa dan Mama saya menyatakan bahwa saya akan meneruskan kuliah dan berusaha untuk membiayainya sendiri. Saya harus mendapat kerja dulu baru meneruskan kuliah. Mendengar pernyataan saya ini Bapakku hanya mengatakan bahwa saya  sudah dewasa untuk mengambil keputusan yang terbaik. Kalau merasa tidak mampu jangan memaksa diri. Tanah ladang, kebun kopi dan tanah sawah sudah tersedia, bila mampu mengelola dan merawatnya secara baik pasit bisa  menghidupi diri sendiri dan  anak-anak. Pernyataan Bapak didukung oleh pernyataan Mama saya.
Saya menjawab Bapak dan Mama agar memberikan saya kesempatan untuk berjuang sendiri, kalau saya tidak mampu baru saya akan menginformasikannya kepada mereka. Saya pun tidak memberi tahukan rencana saya kepada mereka ketika mereka tanya, saya Cuma memberitahukan bahwa saya ke Maumere untuk membereskan hal yang perlu seperti mengambil ijazah dan  urusan lain setelah itu baru saya kabarkan kepada mereka melalui surat. Mereka pun setuju alasan saya dan mempersiapkan uang untuk aku pergi dan pulang Maumere.  
Tanggal 25 Juli 1992 berbekalkan uang Rp.80.000 pemberian orang tua hasil jual Kopi,  saya pergi dari kampung kedel menuju Ruteng. Saya berada di Kumba – Ruteng di keluarga Mama Yus Warut, dimana saya biasanya berada sejak  SMA Seminari Kisol. Dengan penuh keibuannya Mama Yus memberikan nasihat kepadaku dan memberikan pikiran kalau aku tidak perlu pindah sekolah tapi meneruskan kuliah yang sudah mulai di Ledalero. Ketika saya memberikan alasan biaya Mama Yus menjelaskan  semua orang  tua mengalami kesulitan  membiayai anaknya kuliah tapi pada akhirnya ada jalan. Hal ini membuat saya memberikan  mempertimbangkan baru atas niat yang saya pikirkan. Peneguhan senada juga disampaikan oleh Erna Dalung seorang  mahasiswi STKIP Ruteng.[16]  Mengenai biaya kuliah Erna mengusulkan agar saya menulis di Koran atau usaha lain karena kuliah mahasiswa biasa lebih bebas. Erna meminjamkan saya sebuah mesin ketik  untuk mengetik artikel yang saya hasilkan. Pernyataan Erna didukung oleh kakakya Ris Dalung yang saat itu berlibur ke Manggarai dan hendak pulang ke Timor. Singkatnya banyak  anggota keluarga dan kenalan saya yang bertemu beberapa hari menjelang keberangkatanku ke Maumere menganjurkan agar saya meneruskan kuliah di Ledalero. Saya akhirnya menjelaskan kepada mereka  bahwa semua keputusan akan saya pastikan setelah saya tiba di Ledalero.
Perjalanan orang susah, penuh kepasrahan pada Tuhan serta didukung doa orang tua, keluarga dan sahabat kenalan, pasti mendapat banyak rejeki. Begitulah yang saya refleksikan perjalanan saya keluar dari Ruteng pada tanggal 27 Juli dan tiba di Maumere 29 Juli 1992. Mama Yus Warut menyiapkan berbagai oleh-oleh berupa kompyang dan rebok[17] sebagaimana biasanya ia lakukan ketika saya masih di seminari dan memberikan uang Rp.15.000 untuk sewa bus. Dalam perjalanan Ruteng – Ende semua biaya kendaraan dan makan minum sampai penginapan di Hotel H.Manzur Ende ditanggung keluarga Ibu Ris Dalung. Perjalanan Ende Maumere dalam Bus saya berekanalan dengan  Bapak Frans Kedang asal  Reo manggarai yang bekerja sudah lama di Ujung Pandang pada perusahaan Besi Baja[18].  Entah bagaimana perkenalan ini dilanjutkan dengan ceritera pengalaman masing-masing. Bapak Frans menceritakan pengalaman merantaunya di Ujung pandang sampai ia mendapatkan pekerjaan yang bagus saat itu. Saya pun akhirnya menceriterakan kondisi saya yang sementara digeluti  dan rencana yang akan saya lakukan setalah tiba di Maumere. Di akhir ceritera saya ia menyatakan  sangat paham dengan perasaan saya karena ia juga pernah mengalami kondisi yang seperti saya alami walaupun tidak persis sama. Ia pun memberikan nasehat supaya saya menghadapinya dengan penuh kesabaran dan jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Biaya makan siang di Wolowaru dibayar Bapak Frans Kedang bahkanketika saya turun di Wairpelit  ia sempat memberikan saya uang Rp.20.000 dan memberitahukan bahwa biaya Bus Ende-Maumere telah dibayarnya. Saya hanya menyampaikan terimakasih banyak kepadanya lalu turun di Asrama.
Sore  hari  tanggal 29 Juli 1992, saya masuk diasrama Wairpelit dan menumpang sementara di salah satu kamar yang kosong. Saya berkenalan dengan Bapak Bene Taek, dan Bapak Donatus Tahu, dua orang mahasiswa senior yang telah berada lama di asrama Thomas  Morus-Wairpelit. Saya memperkenalkan diri kepada mereka berdua dan mereka pun menyambut saya dengan penuh persahabatan.  Saya menjelaskan kepada mereka bahwa saya tidak membawa apa-apa karena belum ada kepastian apakah saya  jadi kuliah atau tidak. Mereka memahami keberadaan saya, dan  malam itu mereka mengajak saya  makan malam bersama mereka. Setelah makan malam kami duduk cerita dan beberapa mahasiswa yang lain pun datang duduk bersama. Mereka membagi pengalaman mereka bagaimana perasaan awal sebagai mahasiswa awam seperti yang saya alami. Entah mereka memahami perasaan saya sehingga pada malam itu mereka banyak bercerita tentang bahagianya hidup sebagai mahasiswa awam.
Setelah makan malam saya diminta untuk menemui Bapak Frans Harun sebagai ketua asrama St.Thomas Morus Wairpelit. Saya memperkenalkan diri sebagai calon penghuni asrama yang diteruskan dengan sharing pengalaman masing-masing. Frans Harun meneguhkan saya mengatakan keputusan yang saya ambil adalah keputusan yang terbaik. Ia mengkalukalsikan untuk dan ruginya keluar lebih awal dibandingkan keluar  setelah jadi Imam. Berkaitan dengan masalah ketidakmampuan orang tua membiayai kuliah ia menjelaskan bahwa hampir semua yang mahasiswa di Wisma Thomas Morus mengalami kesulitan. Namun Pembimbing Mahasiswa eks frater  Pater Kirch Berger, SVD selalu membantu untuk meringankan persoalan tersebut. Kuncinya adalah jujur dan katakan apa adanya pada Pater Krich. Wisma  St.Thomas Morus adalah milikinya yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan bagi mahasiswa yang keluar dari Frater dan ingin meneruskan kuliah di Ledalero. Penjelasan Frans Harun mendorong saya akhirnya mulai merubah niatku ketika keluar dari kampung.
Bertahan dan Kecewa dengan tradisi sekolah Keputusan Melanjutkan Kuliah di Ledalero.
Dua hari berikutnya  berada di asrma Wairpelit, saya sering bergulat dengan pikiran untuk melanjutkan kuliah di Ledalero atau merantau ke Ujung Pandang.  Berbagai pertimbangan dan kelakulasi untung rugi timbul dari dalam hati dan pikiranku. Terkadang  kekecewaan, penyesalan mengapa dulu  memilih menjadi Frater, ada juga muncul rasa dendam kepada teman-teman Novisiat yang memfitnah saya sehingga harus diberhentikan dari Frater dan lain sebagainya. Pikiranku juga bergulat dengan  nasihat keluarga,  teman dekat dan kenalan. “ Apa lagi yang perlu dipertimbangkan?” pertanyaan batinku.  “Jadilah diri anda sendiri...”,  demikian  batin saya kembali bersuara, seakan memnggugat kebingunan dan pergulatanku yang telalu panjang.  Pernyataan ini seakan menyuruh saya untuk menentukan keputusan yang baik menurut diri saya sendiri dan bukan menurut orang lain.
Suatu  sore ketika saya pulang jalan-jalan dari kampung Gere untuk melepaskan kepenatan dan kekalutan pikiranku, tak sengaja saya berpapasan dan bertemu dengan Pater Kirch di samping Museum Ledalero. Mungkin karena saya jalan menunduk sehingga tidak tahu ia datang dari mana dan kini ia berdiri tepat di depanku. Saya mengucapkan selamat sore, dengan kata-kata yang agak kaku karena sudah beberapa bulan tidak bertemu Pater di Ruang Kuliah. Dengan senyum kebapaanya ia membalas sapaan  saya seraya menepuk punggung saya dan berkata,  “Frans lama sekali kamu libur dengan orang tua. Kamu ke mana saja selama di Manggarai...” belum sempat saya jawab ia meneruskan pembicaraannya “saya sudah dapat berita dari Frans Harun bahwa kamu sudah masuk di Wismta Thomas Morus nanti kita bertemu di bawah”. Saya pun menjawab dan menjelaskan tentang kamarku yang numpang sementara sebelum ada  pertemuan bersama dengan teman-teman lain. Ia juga telah mendapat informasi tentang saya dengan segala pergulatan saya dari Bapak Frans Harun, ketua asrama. Karena itu ia menasehati saya supaya jangan berpikir susah keluar dari Frater, karena  tamatan awam Ledalero masih banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Soal kesulitan biaya dan lain sebagainya ia menjanjikan agar berbicara tersendiri dengannya setelah kuliah dimulai. Ia menegaskan pula sebaiknya saya melanjtukan kuliah di Ledalero dan usah pikir yang macam-macam. Pertemuan dengan  Pater Kirch sore itu seakan menjawab semua pergulatanku. Dengan penuh syukur saya menyampaikan ucapan terima kasih kepadanya lalu masing-masing kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Saya terus melangkah menuruni bukit Ledalero sambil membualtkan tekat  memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Ledalero dan melupakan impian ke Ujung Pandang.
Setelah saya sampai di asrama Thomas Morus, akhirnya saya bulatkan tekat untuk meneruskan kuliah di Ledalero. Keesokan harinya saya pergi ke Maumere  belanja semua kebutuhan asrama seperti peralatan dapur dan kebutuhan rumah tangga sebagai seorang  mahasiswa. Hari-hari selanjutnya saya mulai membenahi  kamar dan buku-buku kuliah serta catatan yang masih ada sejak berada di Frater bahkan ada yang dibawa dari SMA seminari. Sampai kuliah tingkat II di mulai awal september saya telah berdamai dengang situasi di lingkungan asrama dan dan warga sekitar.
Balajar Pola Hidup baru.
Sebagai seorang yang  telah lama dididik dalam  seminari[19], dimana  banyak kemudahan soal hidup rumah tangga/soal makan minum, saya sadari bahwa saya mesti banyak belajar.Berkaitan dengan hidup rumah tangga asrama, pelajaran pertama yang  berharga adalah bagaimana menyalakan konfor untuk memasak.  Orang yang  berjada mengajarkan saya pertama adalah Bapak Bene Taek.  Dengan  senyum dan kesabaranya ia  mengajarkan  bagaimana mengisi minyak tanah dalam konfor, menyalakannya, memperbesar dan mengecilkan nyala api sesuai kebutuhan masak. Ia juga mengajarkan cara menarik sumbu konfor kalau sudah pendek, atau menggantikan sumbu yang  sudah tidak berfungsi lagi.  Bersama dengan Bapak Donatus Tahu Nahak, bapak Bene Taek mengajarkan saya masak nasi,  sayur, menggoreng bawang, goreng ikan Kering, menggoreng ikan mentah, memasak  sarimi dan lain sebagainya. Singkatnya Bapak Bene Taek dan Bapak Don Tahu Nahak menjadi guruku dalam memasak pada awal kehidupanku sebagai mahasiswa awam.
Selain  pengalaman belajar memasak, saya juga baru merasakan iklim kehidupan bebas setelah  9 tahun tahun hidup dalam bingkai aturan di seminari menengah dan semintari tinggi yang ekstra ketat. Dari bangun tidur sampai tidur berikutnya sudah ada pembagian waktu yang begitu rapih dan taat untuk dilaksanakan.  Sejak bulan Agustus 1992 saya tidak merasakan hal yang penuh dengan keketatan itu lagi. Saya berada  Iklim kebebasan yang bisa ditentukan sendiri apa yang perlu dilakukan dalam satu hari. Keterikatan waktu saya alami hanya saat kuliah, sedangkan setelah kuliah sampai besok jam kuliah berikutnya tidak ada yang mengontrol dan tidak ada yang mengaturnya. Bagi saya ini peluang yang sangat baik ketika aku berniat untuk mencari uang sambil kuliah untuk membiayai hidup, sementara uang kuliah telah sepakat untuk meminjamnya dari pater Kirch dan akan dibayar setelah selesai kuliah.
Beberapa kegiatan yang penah aku lakukan pada tahun 1992 sebagai tahun awal aku belajar mencari uang sambil kuliah di Ledalero antara lain. Pertama, belajar menulis artikel dan puisi-puisi. Salah satu kegemaran saya adalah membuat refleksi pribadi yang hasilnya berupa Narasi, maupun puisi untuk mengungkapkan apa saja yang saya rasakan dalam satu hari, satu minggu atau satu bulan. Berbagai macam puisi yang saya hasilkan  untuk mengungkapkan rasa gembira, kecewa, cinta dan sayang pada seorang gadis dan pada suatu kondisi alam dan lain sebagainya. Saya pun sempat belajar menulis beberapa artikel untuk mengisi kesibukan malam hari. Namun kegiatan ini akhirnya tidak mempunyai hasil yang mendatangkan uang. Dari sekia banyak puisi tidak ada satu pun yang dikirim ke Media  massa. Sedangkan dari semua artikel yang saya buat hanya satu saja yang sempat dimuat di Majalah DIAN yang berjudul “Cing Coleng, tempat Ziarah dan Tempat Wisata”[20]. Untuk tulisan ini saya mendapatkan uang Rp.24.000 pada saat itu. Saya akhirnya berhenti menulis artikel. Kedua,  Menanam sayur. Melihat kondisi tanah di sekitar asrama di Wairpelit yang nampaknya subur, saya memutuskan untuk memanfaatkan dua petak tanah Bapak Tanus[21] untuk menanam sayur. Setelah saya meminta padanya saya membuat pagar, membuat bedengan serta memelihara sayur sawi bunga dan sawi besar. Pada akhirnya hasil sayur ini bukan untuk mendapatkan uang tetapi dipetik untuk dikonsumsi sendiri bahkan ada beberapa teman se asrama yang memetik hasilnya dengan tidak menghiraukan bahwa aku bertujuan mencari uang. Pelihara sayurpun berhenti. Dua cara untuk mencari uang ini bagiku gagal membuat saya kebingungan dan tidak tahu harus buat apa
Akhirnya saya  september 1992, saya pergi menemui Pater Kirch meminta uang untuk membayar  matakuliah ujian Negara dan SPP tahun pertama kuliahku sebagai awam dan masuk tingkat II. Pater Kirch tidak hanya memberikan uang untuk kebutuhan kuliah tetapi ia juga memberikan tambahan uang sebesar  Rp.15.000  untuk beli beras selama satu bulan. Adanya bantuan uang dari Pater Kirch setiap bulan untuk beli beras Rp.15.000, membuat saya terbebaskan dari pikiran uang makan yang diwajibkan stor dalam kelompok masak di asrama[22].
Kehidupanku sepulang kuliah selanjutnya lebih banyak tidak terarah.  Asrama hanyalah tempat untuk menumpahkan kecapaian di malam hari.  Saya sering keluar asrama tidak tentu arah, Maumere, Lela, dan kampung-kampung sekitarnya mengikuti teman-teman  atau inisiatif  sendiri. Saya sering bersama  Egy Suwandi, seorang Perawat tamatan SPK lela yang bekerja di Poliklinik Ledalero[23]. Kedekatan hubungan keluarga dan juga mempunyai kecendrungan yang sama kami  sering pergi bersama. Mengunjungi keluarga di Lela, maumere dan lain sebagainya bahkan mengunjungi teman perempuan pun bersama-sama. Kadang bermalam di Lela, atau maumere,  pagi-pagi baru datang  singgah di asrama ambil buku kuliah dan ia ke Poliklinik untuk berkerja. Keberadaanya di poliklinik Ledalero turut membantu meringankan biaya hidup harianku. Bersama dia saya akhirnya mengetahui banyak keluarga di Maumere yang punya hubungan darah dengan saya.
Selain  Egy saya juga merasa beruntung karena bertemu dengan Willu Gusman[24] masih mempunyai hubungan darah sama dengan Egy. Kami berdua adalah  teman kelas di SD  selama 6 tahun.  Sama-sama juga testing seminari tetapi ia tidak lulus karena itu selama 9 tahun kami pisah. Pertemuan dengan Willy Gusman yang sama-sama mempunyai hoby sepak bola membuat saya membangun relasa lebih luas di Maumere dalam bermain Bolakaki.[25]  Saya menjadi salah seorang pemian di Klub Rumah Sakit  Maumere saat itu, dan seterusnya masuk  Klub Spider yang diasuh Bapak Fidelis Peranda, Dr, Henyo Kerong dan beberapa pejabat lainnya di Maumere saat itu. Prestasi saya dalam bermain bola kaki  sejak seminari menengah seakan mendapat tempat yang pas ketika sebagai mahasiswa awam di Ledalero untuk berkenalan dengan masyarakat luas Maumere pencinta bola kaki. Pada akhirnya pelatih saya Bapak Paul Ladapase mengorbitkan saya menjadi pemain Yunior PERSAMI[26] pada tahun 1992/1993.  Maumere. Aktivitas bola kaki ini membuat saya banyak berkenalan dengan para pejabat pencinta bola kaki di Maumere. Selama kegiatan pelatihan dan pertandingan saya selalu mendapat hadiah entah baju atau sepatu Bola kaki. Para pengasuh juga sering memberikan saya uang untuk transpotasi pulang pergi Maumere ketika ada pelatihan atau pertandingan uji coba antar klub.
Singkatnya Agustus s/d Desember 1992 pola hidup baru yang saya pelajari sebagai tahun awal hidup sebagai mahasiswa awam dipenuhi dengan berbagai aktivitas sebagai aktualisasi diri. Banyaknya relasi yang terbangun, adanya pengakuan atas kemampuan dan diberi peluang untuk berkembang, membuat saya akhirnya merasa beruntung berhenti dari Frater dan meneruskan kuliah di Ledalero. Rasa dendam dan kecewa terhadap teman-teman frater pelan-pelan hilang, apalagi beberapa frater seangkatan saya di Novisiat mulai  mengakui kemampuan saya, bahkan ada yang datang menyampaikan bahwa dulu mereka keliru menilai saya.
Walaupun banyak kesibukan saya berusaha tidak pernah absen mengikuti kuliah. Bahkan kalau ada kegiatan yang terpaksa tidur di luar Kota Maumere saya meminta kepada pelatih untuk menyiapkan kendaraan khusus bagi saya ke tempat kuliah pagi hari.  Saya berusaha untuk tidak Her dalam ujian, selalu mencari teman-teman frater yang lebih mampu untuk berdiskusi mata pelajaran yang belum saya pahami. Kalau istirahat jam kuliah saya selalu berdiskusi dengan teman-teman frater lebih-lebih kepada mereka yang saya curigai memberikan penilain buruk kepada saya. Mereka pun tidak kikir pengetahuan yang mereka pahami untuk dibagikan kepada saya.
Satu hal lagi yang saya perjuangkan sejak awal kuliah sebagai awam adalah menjaga relasi yang  baik dengan perempuan. Sebagai mahasiswa awam, dengan berbagai  aktivitas bermain bolakaki, dan kemampuan membangun relasi, saya sadari bahwa saya mempunyai banyak teman perempuan bahkan ada di antaranya yang saya anggap pacar. Namun dalam pergaulan dengan mereka saya selalu menjaga etika yang baik dan sopan sehingga tidak menimbulkan keresahan bagi  orang lain.  Tambahan lagi saya super sibuk dengan berbagai kegiatan di sore hari dan hari minggu mendorong saya hampir tidak ada kesempatan untuk berpacaran.
Gempa 12 Desember 1992 : Aku selamat dari Tanah Longsor.
Tak mungkin terlupakan!. Hari itu sabtu tanggal 12 Desember 1992. Kami mengikuti kuliah  terakhir  mata kuliah  Islamologi I.  Jam kuliah berikutnya tidak dilaksanakan karena Dosen tidak berada di tempat. Karenanya kami tingka II  bubar kuliah kurang lebih jam 10 siang. Karena ini hari sabtu dan tidak ada Pelatihan Bola Kaki sore itu di maumere, maka saya langsung  ke asramanya Egy Suwandi di  Poliklinik Ledalero. Ia begitu bersemangat ketika saya mengatakan bahwa tidak ada latihan Bola Kaki di Maumere sore, karena biasanya saya ada latihan dan hari minggu  pagi baru pulang.  Kami akhirnya bersepakat untuk ke SPK Lela bertemu  pacarnya yang sudah sebulan tidak bertemu.  Sekalian kami bisa menghabiskan waktu bersama Keluarga di lela malam minggu dan bisa pulang besok sore. Dengan segera kami ke luar jalan menunggu Bemo tujuan ke Lela. Tiba di Lela kurang lebih jam setengah 12 siang.  Setelah makan siang di rumah Egy[27] di lela dan menyampaikan bahwa kami bermalam  kami  terus ke Rumah Sakit St.Elisabeth Lela. Kami sempat berbindang dengan Bidan Ety[28] di ruangan jaganya sambil menunggu pacar Egy  selesai bertugas. Setelah beberapa menit kami menunggu Pacarnya Egy pun datang. Sebagai seorang teman saya asyik ngobrol dengan Bidan Ety, dan mereka berdua jauh dari penglihatan saya. Kurang lebih 15 menit Egy sudah kembali dan mengajak saya untuk pulang ke rumah. Saya tidak bertanya apa yang terjadi antara mereka karena nampaknya wajah Egy cemberut. Kami pun pamit dengan Bidan Ety dan langsung menuju ke rumah Egy. Di rumah Egy pun kami tidak lama hanya untuk pamit pulang dan batal rencana bermalam.
Gempa terjadi ketika  Egy masih ada di dalam rumahnya  dan saya sudah di luar rumah, menuju jalan raya menunggu Bemo ke Maumere. Goncangan gempa yang begitu dasyat terjadi dengan tiba-tiba membuat kami panik. Beberapa pohon kelapa rebah dan tiang listrik terjungkal. Beberapa buah batako dari sebuah rumah dekat saya berdiri terlempar ke tanah dan terdengar bunyi rumah yang rubuh. Dalam keadaan panik karena goncangan yang dasyat saya berlindung dan memeluk pohon kerara muda di pinggir jalan. Egy dan anggota keluarga yang baru saja selesai makan siang berhamburan keluar mencari perlindungan masing-masing. Kira-kira  3 menit gempa berkekuatan dasyat itu menggetarkan bumi Lela, dan sekejab memporak-porandakan bangunan sekitar kami berada.   Ketika reda sesaat, nampak laut bergemuruh menambah kepanikan  saya yang tidak berada dengan siapa pun. Tiba-tiba Egy datang dengan lari sambil lompat melewati tiang listirk dan batako yang berserakan di lorong  dan menarik tangan saya yang masih berpelukan dengan pohon kerara untuk segera berlari mencari temat yang aman dari gelombang laut yang mungkin akan meninggi. Kami pun sepakat untuk berlari pulang ke Ledalero.
Setibanya kami di jalan terdengar ada bunyi kendaraan lari dengan cepat dengan bel yang panjang. Kami berhenti dan melompat ke dalam mobil untuk lari bersama. Betapa terkejutnya kami karena di dalam Truck tersebut ada dua orang perawat sedang memangku Bidan Ety yang tadinya berbixara dengan kami di rumah sakit. Dengan histeris ia meminta pertolongan kami karena kedua kakinya patah ditindis reruntuah tembok di rumah sakit. Saya dan Egy dalam keadaan panik dan rasa kasihan bersama dua perawat yang lain mengatur posisi duduk Bidan Ety agar mengurangi rasa sakit, selagi kendaraan pun melaju terus. Tidak seberapa jauh kami berjalan yang bergulat dengan gempa-gempa susulan yang juga sangat dasyat mobil terhenti karena ada reruntuhan yang menutupi jalan.
Kami pun panik dan tidak tahu harus berbuat apa, dengan tidak memperhitungkan soal kemanusiaan karena ada yang sakit, kami berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Dengan sigap kami lompat dari kendaraan bergulat dengan gempa-gempa susulan kami berjalan kaki dari Lela Pantai Selatan Sikka menuju Ledalero. Target pertama mencari tempat selamat adalah di Hepang  jalan umum Maumere – ende di sana tempat yang agak tinggi dan jauh dari laut. Saya dan Egy berbeda dalam kecepatan, Egy sangat cepat dalam berlari sementara saya agak berat karena memakai sendal sepatu dan beberapa kali ditinggalkan. Akhirnya saya memutuskan untuk menanggalkan sendal dan memegangnya sambil berlari. Kami telah jauh berlari dari Lela dan kini kami berada  di Bang Boler  wilayah berbahaya. Sebelah  kanan jalan  terbentang tebing  dengan kondisi tanah berpasir sehingga mudah runtuh. Sebelah kiri jalan kondisi miring dan langung berhubungan dengan kali mati. Kondisi alam memang sungguh sulit dan berbahaya, tetapi kami harus menyelesaikan perjuangan itu, karena kebelakang sudah tidak mungkin.
Dalam waktu dua menit gempa susulan entah untuk berapa kalinya terjadi berguncang lagi. Tanah di belakang kami runtuh menutup jalan bahkan sampai menutup kali mati. Serta merta Egy  secepat kilat berlari meninggalkan saya dan sesaat tanah di depan saya runtuh memisahkan kami berdua.  “Kae....e....!!!”[29] terdengar teriakan Egy diantara gemuruhnya reruntuhan yang semakin penuh  penutupi jalan sampai kali mati antara saya dan Egy. Dengan penuh kepasrahan pada Tuhan saya menutup mata dengan kedua  belah tangan memohon pertolongan Tuhan dan pasrah. Saya berdiri tepaku tidak bisa melewati tanah yang terus mengalir dari atas mendekati tempatku berdiri. Sempat pula saya mohon pengampunan dari Tuhan atas segala dosa, menerima jiwa saya  karena saya berpikir cumalah detik itu saya hidup. Sedetik kemudian gemuruh reruntuhan diam, gempa susulan berhenti yang terdengar teriakan orang yang mohon pertolongan. Saya buka Mata dan tidak membayangkan sesuatu keadaan terjadi. Saya nyaris terkubur tanah longor yang begitu tinggi di hadapan saya dan di belakang saya. Saya memperhatikan sebelah atas jalan ternyata ada dua pohon yang berdiri  mengapit satu dengan yang lain. Entah pohon enau dan kemiri  saya juga tidak perhatikan lagi. Kedua pohon inilah yang membagi tanah longsoran dari atas menutup jalan di depan dan belakang saya. Saya ternyata berdiri persis tepat di bawah jalan dekat kedua pohon itu. Dengan penuh rasa ngeri dan beracampur takut saya berteriak dengan keras memanggil Egy, yang saya juga tidak tahu entah ia hidup atau mati terkubur. Ia pun membalas teriakan saya dan lari mendekat. Saya berusaha mencari jalan keluar dari reruntuhan itu dan menyeberang melewati reruntuhan di depan saya. Kurang lebih ada  5 meter jalan yang masih utuh yang tidak ditutupi tanah. Sepanjang jalan di belakang sudah tertutup timbunan longsor, di depan pun kurang lebih 25 meter tertimbun tanah setinggi 4 mater. Saya  berhasil melewati longsoran di depan saya yang disambut Egy dengan pelukan sambil menangis. Sesaat ia berlutu di jalan menutup mukanya dengan kedua tangannya berdoa mengucapkan syukur pada Tuhan karena saya telah luput dari reruntuhan itu. Sambil memeluk dan mencium saya dia menghapus air mata saya yang juga menagis terharu, ia memegang tangan saya sambil berlari  terus mencari tempat yang aman sampai di Hepang.
 Di Hepang  kami baru bertemu dengan  orang lain yang sama-sama mencari tempat yang aman untuk berlindung. Tidak ada komunikasi yang berati  antara kami, selain berdoa sendiri-sendiri bersyukur pada Tuhan bahwa kami diselamatkan dan kini tiba di tempat yang dianggap aman. Orang lain pun  berdatangan, ada  penumpang bis karena mobil tidak mampu meneruskan perjalanan, ada yang dari kampung dan rumah-rumah sekitar duduk dan melepaskan lelah di jalan aspal itu.  Kurang lebih 20 menit kami beristirahat  kami meneruskan perjalanan bersama-dama dengan orang banyak yang bertujuan arah Maumere. Walaupun kami yakin sudah selamat, namun kami tetap waspada pada gempa-gempa susulan. Dalam perjalanan juga berpapasan dengan banyak orang yang dari Maumere dan memberitahukan bahwa kota  Maumere sudah tenggelam karena naiknya air laut dan banyak orang yang tidak selamat. Kami juga menyaksikan banyak orang yang duduk-duduk di pinggir jalan dan tidak berada dalam rumah. Kami juga sempat membopong  seorang  Cina (mama tua)[30]  sampai di Nita  yang pingsan di Jalan karena mendengar toko dan keluarganya sudah ditelan gelombang laut. Walau banyak informasi namun kami tetap  terus berjalan sampai di Ledalero dan di asrama - Wairpelit  jam enam sore.
Aktivitasku menolong tetangga sekitar saat Gempa.
Kondisi kehancuran maumere dan sekitarnya mulai dirasakan malam hari 12 Desember 1992. Asramaku utuh bahkan kamarku tidak nampak ada hal yang luar biasa, kondidisinya sama seperti aku tinggalkan pagi hari. Menurut Pius Hamit yang sekamar dengan saya saat gempa terjadi seakan Asrama Thomas Morus tak kena jalur gempa sehingga semuanya utuh. Karena itu tetangga sekitar datang dan bernaung di Teras asrama, ditambah dengan buat tenda darurat. Setelah selesai membuat Tenda saya pergi ke beberapa rumah tetangga untuk mengambil periuk, kuali, air dan peralatan lainnya untuk memasak di bawah tenda ini. Bergulat dengan gempa-gempa susulan takut tembok yang sudah retak atau kayu-kayu rumah yang sudah tergantung jatuh saya penuh keyakinan tidak akan saya kena bencana karena sudah luput dari tanah longosr di Bang Boler. Saya betul menghibur tetangga yang sudah panik dan tidak bisa buat apa-apa pada malam pertama ini. Mereka bisa tenang dan dengan penuh sabar menghadapi gempa-gempa susulan sepanjang malam dan 2 hari setelah gempa pertama. Gerakan saya sepertinya sangat cepat dari biasanya ketika ada teriakan minta tolong. Keesokan harinya ke Maumere bersama Egy mencari dan bertemu dengan Willy, Nel dan Eldys serta adik-adik lain di Asrama Rumah Sakit maumere. Setelah semuanya bertemua baru pikiran tenang dan kembali ke Asrama.
Seluruh waktu setelah 12 Desember s/d 21 Desember saya gunakan hanya untuk membantu sesama, tetangga, dalam mengatasi berbagai hal demi ketentangan batin pasca gempa. Aktivitas yang utama adalah kunjung mengunjungi, memperbaiki dan membangun rumah-rumah yang bisa dipakai untuk tinggal. Secara formal dari Kampus STFK Ledalero diumumkan untuk Libur sampai dengan bulan Februari 1993.
Setelah 10 hari hidup dalam kepanikan akhirnya pada tanggal 22 Desember 1992 saya bersama dengan semua mahasiwa STFK Ledalero berlibur ke Manggarai dan sebagai bantuan Gempa kami menumpang Kapal TNI dari Pelabuhan Maumere menuju Reo.  Kurang lebih selama sebulan di kampung akhirnya kembali ke Ledalero untuk kuliah pada bulan Februari 1993.
Mengenal dan Masuk Organisasi Kemahasiswaan : Maret s/d Juli 1993
Menjadi mahasiswa biasa yang Cuma terikat pada waktu kuliah kurang lebih 5 jam sehari, saya menilai banyak waktu yang kosong dalam satu hari. Sebagai seorang mantan seminari yang telah sekian tahun hidup dalam kesibukan waktu yang telah diatur rapi untuk satu hari, bagi saya terlalu banyak waktu yang kosong ketika saya kuliah di Ledalero sebagai mahasiswa non Frater.
Bersamaan dengan kesulitan uang untuk membiayai hidup dan biaya kuliah maka selama saya melibatkan diri dalam berbagai kesibukan sehingga pikiran tentang persoalan tidak punya uang terlupakan. Pada sisi lain saya belajar beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitar tempat tinggal khususnya dan Lingkungan sosial masyarakat Maumere umumnya.
Bersama dengan teman-teman mahasiswa eks frater yang lainnya kami mulai membangkitkan PMKRI St. Thomas morus – Maumere, yang secara legal telah diprakarsai oleh beberapa kaka tingkat seperti Valens Daki  Soo dan Lexi Armanjaya. Namun karena mereka sudah tamat maka kegiatan nyata dari PMKRI ini belum membumi di Maumere. Pada bulan Maret 1993, kami mulai membenahi PMKRI dengan membentuk panitia kecil untuk berkomunikasi dengan PMKRI Pusat dan PMKRI NTT di Kupang. Panitia kecil ini menyelenggarakan Orientasi PMKRI yang difasilitasi PMKRI Kupang pada tanggal 23 s/d 27 Maret 1993 bertempat di Losmen Harapan-Maumere. Struktur Organisai Oleh Yanes Wawa, Kedua Menghidupkan PMKRI oleh Yanes Wawa. Ketiga, Dinamika Kelompok : oleh Alex Longginus, Keempat, Kesekretariatan oleh Yanes Wawa, Kelima, AD/ART PMKRI oleh Anton Leby Raya, Keenam PMKRI sebagai Organisasi Katolik oleh Ignas da Cunha dan Ketujuh, Kualitas Kader Bangsa Sebagai Orientasi pembinaan Kepemimpinan PMKRI. (perlu dilihat lagi)....
Hasil Orientasi ini forum menyepakati untuk membentuk Badan pengurus Calon Cabang dan segera menyurati Pengurus Pusat untuk melantik kepengurusan PMKRI Calon Cabang St. Thomas Morus. Dalam kepengurusan ini terpilih Sdr. Donatus Tahu sebagai Mandataris dan Leo boli sebagai Sekretaris.
Moment yang pas dalam eksistensi PMKRI St. Thomas Morus-Maumere ketika pada tahun 1993 ada isu Pendirian Mesjid Raya di Kota Maumere. Beberapa mahasiswa STFK Ledalero tertarik daengan isu ini lalu melakukan analisis sosial tentang peluang dan tantangan pendirian Mesjid Raya tersebut. Hasil analisis ini didialogkan dengan PEMDA Sikka sebagai penentu kebijakan. Proses dialog sampai kepada advokacy kebijakan untuk menolak pendirian Mesjid Raya ini menyatukan para mahasiswa Eksfrater STFK Ledalero.
Keterlibatan saya dalam PMKRI ini memberikan pengarush yang sangat besar dalam pemahaman tentang hidup beroganisasi, komunikasi ide dan gagasan, membangun relasi dengan berbagai pihak dan prinsip-prinsip dalam hidup bermasyarakat. Dalam pembentukan kepengurusan lanjutan saya menjabat sebagai Ketua Biro Publikasi dan Komunikasi PMKRI St. Thomas Morus-maumere. Jabatan ini mendorong saya untuk menjadi penghubung PMKRI dengan berbagai pihak seperti pemerintah, LSM dan organisasi lainnya. Disamping itu saya juga mempublikasikan segala aktivitas PMKRI yang perlu bagi public. Saya ingat beberapa kali saya berhubungan dengan RPD Kabupaten Sikka untuk menyiarkan kegiatan PMKRI dalam Berita Pembangunan melalui RPD Sikka. Pada tahun 1993 PMKRI St.Thomas Morus berhasil menerbitkan sebuah majalah PMKRI dengan nama MOSAIK dengan pimpinan Redaki Kons Kader. Inilah hasil keterlibatan saya dalam PMKRI di tahun 1993. Dalam kegiatan seminar misalnya  Seminar tentang “Rehablitasi Flores Pasca Gempa Tektonik 12 Desember 1992” kami secara organisasi dan pribadi berkenalan dengan berbagai komponen pembangunan di Maumere yakni organisasi masyarakat (LSM), lembaga pendidikan dan lembaga pemerintah lainnya.
Selain organisasi PMKRI, kami juga mendirikan sebuah kelompok Studi yang diberi nama Kelompok Study sosial (KSS). Kelompok ini diprakarsai oleh beberapa mahasiswa eksfrater yang ingin mengkaji khusus soal-soal sosial secara ilmiah. Setiap minggu ada diskusi kecil dengan menyiapkan materi secara bergilir. Saya tidak terlibat dalam kepengurusan organisasi ini, karena banyak sibuk dengan urusan Publikasi dan dokumentasi PMKRI. Keterlibatan saya hanya sebagai anggota dan peserta  diskusi berbagai topik sosial yang diangkat aktivis kelompok Study ini.  Beberapa topik yang sempat diangkat dalam diskusi kelompok ini antara lain Hak Kaum buruh dan Adat Belis pada masyarakat Sikka. Dua topik ini cukup menarik simpati banyak kalangan selain topik-topik lainnya. Diskusi yang pada awalnya hanya kalangan mahasiswa akhirnya melibatkan beberapa LSM, dan Dosen STFK Ledalero sebagai fasilitator dan moderator kelompok KSS.
Keberadaan dua organisasi KSS dan PMKRI St. Thomas Morus di Wairpelit-Ledalero saat itu sangat strategis dalam membuka pintu bagi mahasiswa STFK Ledalero untuk terlibat dalam hidup bermasyarakat di Maumere yang nota bene sebelumnya dipahami hanyalah urusan soal Iman dan Agama Katolik. Beberapa Pastor yang peduli pada pembangunan masyarakat sangat aktif memberikan semangat dan dukungan moril pada dua kelompok ini. Saya ingat beberapa dosen seperti P.Dr. Leo Kleden, SVD; P. John Suban Tukan, SVD; dan P. Krich Berger. Ketiga Pastor yang sekaligus Dosen ini cukup memberikan kontribusi pemikiran dalam eksistensi dua organisasi ini.
Satu bukti pengakuan masyarakat  bagi KSS pada bulan April 1993 ialah  Yayasan Flores Sejahtera  SANRES menyatakan diri ingin kerjasama. Bentuk kerja sama yang dilakukan adalah bersama dengan SANRES mendiskusikan topik-topik sosial yang berkembang pada masyarakat Sikka khususnya pada kelompok dampingan SANRES. KSS pun bersepakat untuk kerja sama ini dan selanjutnya segala diskusi yang dilakukan KSS melibatkan Pengurus dan utusan kelompok Dampingan SANRES. Tempat diskusipun bergantian di kantor SANRES, di kelompok dampingan dan di Asrama mahasiswa. Beberapa diskusi yang melibatkan banyak orang dari kelompok dampingan SANRES dan Narasumber yang direkomendasikan SANRES, dibiayai oleh SANRES. Salah satu topik diskusi yang melibatkan banyak Narasumber dari masyarakat adat saat itu adalah Mengapa Adat Belis Orang Sikka Mahal. Topik ini awalnya diangkat oleh Yohanes Juan Rahmat dalam diskusi intern KSS pada akhirnya diperdalam bersama SANRES dalam sebuah Seminar dan Lokakarya yang melibatkan banyak Narasumber.
Inilah awal saya memanfaatkan kesempatan untuk mengenal LSM SANRES  saat itu. Bagi saya LSM itu adalah barang aneh sehingga saya selalu memanfaatkan kesempatan tiap kali diskusi atau ada waktu luang untuk ke SANRES bertanya dan berdiskusi. Saya pun mulai melatih diri bagaimana merekam proses seminar belangsung. Saya selalu menawarkan diri untuk sebagai Notulis dalam beberapa kegiatan agar  saya bisa belajar khusus tentang meaknisme diskusi ala LSM.
Secara personal mahasiswa yang aktif dalam dua organisasi ini mendapat manfaat yang cukup berarti saat kuliah dan setelah kuliah. Beberapa orang mahasiswa berhasil dengan mudah menyusun skripsi dengan mempedalam tema yang diangkat dalam diskusi-diskusi kelompok. Beberapa mahasiswa akhirnya mempunyai pintu melalui LSM Mitra kelompok untuk melaksanakan KKN dan penelitan Skripsi. Saya secara pribadi telah menerima manfaat yang sangat besar dalam keterlibatan dengan dua organisasi ini. Saya bersama dengan Marsel Ganggur serta Pius Hamid melaksanakan KKN pada Yayasan Flores Sejahtera (SANRES) untuk memenuhi salah satu syarat akademis STFK Ledalero. Seterusnya Pius Hamid menghasilkan Skripsi tentang Strategi SANRES dalam penguatan Organisasi masyarakat lokal, dan saya menghasilkan Skripsi “Tanggapan Masyarakat terhadap Strategi SANRES dalam Penguatan Masyarakat Lokal”. Dari kelompok KSS juga saya ingat beberapa orang yang aktif dalam merekam proses selama diskusi dan akhirnya menjadi penulis dan Wartawan misalnya Agus Sape dan Tarsi Muwang, dan Vinsen de Ornay.  
Manusiawi sekali ketika akhir dari kesibukan ini entah siang atau sore hari ketika kembali ke asrama malam hari dan bangun besok paginya berangkat ke ruangan kuliah aku selalu kembali pada masalah ketidakadaan uangku. Namun aku selalu teringat akan Pater Kirch bahwa untuk urusan kuliah dan kebutuhan uangku saya bisa meminta bantuan kepadanya. Dan terjadilah hal untuk kesekian kalinya aku ke Pater Krich memberikan informasi bahwa uang untuk kebutuhan kuliahku di antaranya uang Ujian Matakuliah negara dan SPP yang belum lunas pada hal Ujian Smester bulan Juli sudah diambang pintu. Pater Kirch sekali lagi meneguhkan aku, boleh sibuk pada banyak kegiatan yang terutama diprioritaskan Kuliah dan harus selesai tpat waktu.
 Ia pun memberi aku uang Rp.25.000 pada awal Juli 1993 untuk uang makan dan urusan lain di asrama. Sedangkan uang kuliah ia langsung berurusan dengan Sekretariat Sekolah.

Masuk dan mengenal Dunia Lembaga Swadaya Masyarakat : Juli s/d September 1993.

Pergulatan Hidupku sejak Februari 1993 s/d 1994 merupakan potret kehidupan seorang Pejuang yang tanpa lelah berkreasi demi terjapainya tujuan yang hendak dicapainya. Aku adalah seorang mahasiswa yang ingin mencapai gelar Sarjana Filsafat namun tidak mempunyai cukup uang dari orang tua untuk membiayai kehidupan dan kulaihku. Bergumul pada persoalan-persoalan inilah yang membuat aku berkreasi demi keberhasilan kuliahku.
Menjelang akhir Juli 1993 ketika semua teman-teman merencanakan kegiatan liburan, saya bingung sendiri apa yang akan saya lakukan saat liburan. Ingin rasanya aku pulang ke kampung namun, saya pikir tidak ada uang untuk sewa bis pulang. Kalau untuk kembali pasti saya diberi uang oleh orang Tua. Tapi saya juga ragu karena pada saat yang sama Adik Bungsuku tamat SD dan mau ke SMP. Haruskah aku pulang ??? berjuta bertanyaan yang tidak bisa aku jawab, yang tinggal cumalah pertanyaan.
Satu malam pada akhir bulan Juni 1993  Pius Hamid bercerita bahwa ia mau mengadakan KKN pada liburan ini. Ia meminta bantuan saya untuk memberikan informasi soal Metodologi Penelitian, karena hanya angkatan kami yang telah mendapat Mata Kuliah Metodologi Penelitan pada smester itu. Saya pun menjelaskan kepadanya dan memberikan beberapa teks kuliah. Sambil berbincang saya menawarkan diri bahwa kalau boleh saya yang membuat Proposal untuk KKN dan saya juga turut serta dalam kelompok KKN tersebut. Pius Hamid pun setuju dan masih menunggu keputusan Marsel Ganggur apakah ia setuju atau tidak. Selang 2 hari kemudian Pius menginformasikan bahwa Marsel setuju saya ikut serta. KKN dilaksanakan di SANRES dan tugas saya menulis Proposal KKN dan masukan ke sekretariat di Ledalero sedangkan Pius dan Marsel berkorrdinasi dengan SANRES.
Semua urusan pun beres dan kami ber KKN di SANRES ketika mahasiswa lain menikmati masa liburan smester tahun 1993. Selama Bulan Agustus sampai dengan pertengahan September 1993 Saya, Marsel Ganggur dan Pius Hamid  berada di Kantor SANRES, mengikuti segala aktivitas mereka, mengunjungi kelompok-kelompok, mengikuti diskusi dan seminar-seminar mereka serta aktivitas lainnya. Kami juga diskusi bertiga untuk merefleksikan apa yang kami alami, pelajaran-pelajaran yang kami petik dalam kebersamaan dengan LSM SANRES, dan akhirnya membuat Laporan dalam judul “Strategi SANRES dalam Pendampingan Kelompok Masyarakat Lokal”.
Selama 2 bulan di SANRES kami dibekali pengetahuan tentang apa itu LSM, kami diperkenalkan dengan orang-orang yang berasal dari berbagai LSM yang mendukung maupun Mitra SANRES. Dari mereka kami belajar apa itu LSM dan bagaimana LSM berkiprah dalam pemberdayan masyarakat. Saya ingat beberapa orang yang secara pribadi sangat saya kagumi dalam membagi pengetahuan berkiprah di LSM antara lain alm. Erwin Panjaitan (digelar sebagai Tokoh LSM NTT), ada Galuh Wandita, berkenalan dan berdiskusi baik dengan Mansour Fakih (bagiku Mansour adalah Teman, dan guru dalam pengetahuan tentang LSM), ada Abdon Nababan, Ada Roni soo, ada Willem Openg dan lain sebagainya. Saya akhirnya tertarik dengan dunia LSM karena banyak teman yang mempunyai latar belakang yang berbeda memperkaya pengetahuan dan keterampilan. Inilah yang membuat saya akhirnya mulai tahun 1993 untuk memutuskan agar saya tetap berkiprah di dunia LSM setelah menamatkan kuliah di Ledalero.
Pertengahan bulan September 1993 kami secara formal mengakhiri KKN dengan ditandai sebuah pertemuan yang mempresentasikan Laporan KKN kami pada Staf Sanres. Hasil keterlibatan kami dengan SANRES selama KKN mendapat input dari pengurus dan Staf SANRES seperti Pak Edu Sareng dan Pak Nong Susar, Ibu Darinas Bao, Aprinus serta pak John Bala . Informasi untuk penyusunan Laporan KKN kami menjadi lengkap. Pada akhir pertemuan presentasi hasil temuan saat KKN ini Pimpinan SANRES menyampaikan agar pertemuan yang secara formal selama KKN menjadi persahabatan antara kami bertiga dengan SANRES. Kami diminta untuk terlibat dalam beberapa kegiatan SANRES kalau dibutuhkan atau kalau kami membutuhkan informasi dari SANRES kami bisa datang saja ke kantor SANRES.
Satu hal yang membanggakan saya saat itu ketika Pimpinan SANRES menyatakan secara resmi di depan Forum bahwa saya diharapkan untuk tetap di SANRES, selagi  Pius Hamid dan Marsel Ganggur menyusun skripsi dan menyelesaikan kuliah cicilan terakhir. Saya merasa sangat senang dengan permintaan ini terjadilah hal yang saya dambakan bahwa sambil belajar Filsafat dalam kulaih formal di Ledalero, saya juga belajar tentang dunia LSM dalam lembaga SANRES.

Bergulat dengan berbagai Konflik Kepentingan: Oktober 1993 s/d April 1994.

Krisis personal melahirkan kreatifitas rasional, demikian yang dapat saya rumuskan tentang pergulatan saya setelah menyelesaikan KKN pada bulan September 1993 serta memulai melibatkan diri dalam aktivitas LSM SANRES sebagai salah seorang tenaga bantu. Pada saat ini saya berhadapan dengan berbagai konflik baik pribadi maupun organisasi dimana saya terlibat aktif. Bulan September sampai dengan Oktober 1993 belajar bagaimana menempat diri dan mengatur waktu yang sebaik-baiknya untuk serius dalam kuliah sekaligus serius sebagai orang yang bekerja di SANRES. Pagi hari aku kuliah dan siang sampai dengan malam hari saya berada di SANRES. Kalau hari Kamis dan minggu saya pasti berada sepanjang hari di SANRES. Kalau ada kegiatan di Kelompok dampingan yang bermalam aku ikut pada hari Rabu sore karena hari kami tidak kuliah dan hari Sabtu karena besoknya hari libur/hari minggu.
Sesuai dengan kemampuan yang saya miliki maka di SANRES ini tugasku kalau ada kegiatan pelatihan, seminar dan lokakarya saya mengambil peranan perekam proses. Saya lakukan itu karena saya memang banyak sekali ragu dalam memberikan pikiran saat diskusi soal – soal LSM dan masyarakat dampingannya. KKN tidak cukup untuk saya mengetahui hal-hal yang mendalam tentang LSM. Namun dengan mencatat pikiran orang saat seminar atau diskusi akhirnya saya diperkyara dan pelan-pelan bisa diskusi soal-soal yang praktis. Di sisi lain selama bulan-bulan awal keberadaanku sebagai Staf bantu pada SANRES peranan Pius Hamid dan Marsel Ganggur sangat besar dan memberikan dukungan moril untuk saya dalam mengatur waktu yang baik agar tidak mengabaikan salah satu dari kepentingan Kuliah dan SANRES.

a.       Konflik Pribadi.
Sebagaimana yang saya paparkan terdahulu, bahwa saya berkreasi banyak hal karena persoalan ketidakadaan uang untuk membiayai kuliah dan membiayai hidup harian di asrama serta aktivitas harianku sebagai manusia dan mahasiswa. Memasuki kuliah smester baru September 1993 tentu membutuhkan biaya pendaftaran, dan lain sebagainya. Bagi yang pulang liburan dari kampung pasti mereka tidak ada kesulitan. Saya yang memanfaatkan liburan untuk KKN tidak mempunyai uang untuk registrasi, dan lain-lain. Smester sebelumnya saya menggantungkan diri pada pater Kirch berger untuk semua Kebutuhan uang.
Memasuki pertengahan bulan September 1993 ini saya mulai merasa malu pada Pater Kirch, berbagai pergulatan batin ketika dari kampus ada pengumuman agar semua mahasiswa segera mendaftarkan diri dan menyelesaikan segala keuangan sambil kuliah dan batas terakhir sebelum ujian smester. Pergulatan batin ini awalnya saya kuburkan dengan kesibukan di SANRES dan kuliah seperti biasa. Namun akhirnya tidak bertahan lama, pada tanggal 6 Oktober 1993 Pagi hari di Sekolah aku diingatkan untuk segera membayar uang Kuliah dengan total Rp.105.000.
Sejak bulan Maret 1993 aku dibantu pater Kirch sampai Mei 1993 uang makan dan pinjam Uang kuliah. Namun sejak aku ber KKN aku tidak pernah lagi ke kamarnya untuk meminta bantuan. Dalam kebingungan dan penuh pasrah akhirnya saya memutuskan untuk menceritakan semua yang aku alami selama ini kepada Keluarga pak Edu Sareng. Saya pergi ke Nangaliman kantor SANRES dan tidak ke kantor tetapi ke rumahnya pak Edu bersama Mama Seri (istrinya). Kepada mereka berdua aku mengemukan persoalanku sejak saya keluar dari Frater Mei 1992. Aku juga dengan jujur mengakui bahwa keikutsertaanku ber KKN dengan Pius dan Maresl hanyalah karena tidak ada uang pergi libur dan ragu apakah orang tua punya uang untuk aku kembali ke Ledalero untuk kuliah.
Saya akhirnya mendapat belas kasihan dari Pak Edu dan Mam Seri. Inilah Catatan refleksi dalam diariku pada hari Rabu tanggal 6 Oktober 1993.
Hari ini adalah hari puncak kekecewaanku pada orang tua. Sejak bulan Februari sampai dengan saat ini aku tidak dikirimi uang. Aku Kecewa tetapi aku tahu situasi mereka. Kalaupun uang tidak mereka kirimi aku butuhkan surat mereka, tapi tak muncul. Aku dibantu Pater Kirch uang makan sejak bulan Maret tetapi saat ini tidak lagi. Aku malu setiap kali aku ke sana minta uang makan dan Pinjam uang untuk bayar kuliah. Bila dipikir aku memang  anak muda yang  harus tabah, tetapi sampai kapan. Hari ini semua mencapai puncaknya.
Aku berlari pada Pak Edu dan Ibu Seri dan ternyata hati mereka begitu tulus mendekapku yang tak tahu mau ke mana arah hidupku. Aku dijadikan “anak mereka” dan segala kehidupanku mereka perhatikan. Tak ada kata yang aku ucapkan selain Trimakasih pada Tuhan, dan mendoakan mereka. Aku diberi beberapa nasehat :
1.       Jangan terlalu Pacaran dengan nona sehingga lupa kuliah atau meresahkan masyarakat.
2.       Pak Edu dan Mama Seri jangan hanya sebagai Bapa dan Mama tetapi juga sebagai GURU.dan SAHABAT.
3.       Jangan pernah merasa dendam kepada orang tua karena tidak mereka perhatikan
4.        Balas Budi mereka atas biaya seluruh hidup ialah BELAJAR TEKUN dan HARUS BERHASIL dapat Ijazah Sarjana.
5.       Selamat bekerja dan Tenangkan Pikiran!.
(Wairpelit, Rabu, 6 Oktober 1993). *** Rewritte.
Beginilah luapan pergulatanku saat itu dan akhirnya saya lega dari beban persembunyian yang selama ini kupikul sendiri.
Dampak dari ketulusan ini beban batin semakin ringan, beban uang pun ada jawabannya. Pak Edu menghantarkan aku 50 kg beras ke asrama dan meberikan uang Rp. 30.000 pada pagi hari berikutnya dan 3 hari kemudian aku diberi uang dari SANRES sebesar Rp. 150.000 untuk biaya kuliah. Dalam Kwitansi terulis Biaya akomodasi dan Transport yang diberi oleh Mama Hely (bendahara SANRES).
Kejadian ini membuat saya bangkit semangat sekaligus memikul beban karena harus membalas semua kebaikan SANRES  dengan kerja tekun tan total. Di sisi lain aku harus berhasil dala kuliah seperti yang disampaikan Pak Edu yang kini kuanggap Bapa. Karena itu  Jujur saya akui belum pernah saya absen mengikuti kuliah karena kerja di SANRES dan belum pernah kerja di SANRES terhalang karena urusan kuliah karena waktu sudah diatur kecuali sakit. Beberapa kali aku datang kuliah langsung dari Lapangan, dari Puhu Lela pernah, dan dari Talibura pun pernah kuliah pagi hari. Di antara semua Staf SANRES yang membantu saya dalam hal ini adalah Pak Paulus Nong susar, yang menghantar dan menjemputku dengan sepeda Motor.
Pada tanggal 1 Desember 1993 saya akhirnya disepakati dalam Rapat staf SANRES sebagai semi Staf karena saya masih kuliah. Sebagai seorang Semi Staf saya diberi tugas khusus menangani Dokumentasi dan Publikasi SANRES dengan tugas utama Menerbitkan buletin SANRES yang diberi nama IDE. Di samping tugas yang umum sesuai kebutuhan SANRES. Untuk tugas ini saya diberi honor sebesar kebutuhan Kuliah, dan Transport dan lumsum Rp.50.000.

b.      Konflik KSS VS SANRES.

Perjalanan kemitraan KSS dengan SANRES akhirnya mengalami konflik sampai pada pemutusan hubungan kemitraan. Saya tidak ingat persis apa yang mendasar konflik KSS dan SANRES ini. Namun saya catat mulainya saling tidak puas antara SANRES dan KSS saat pelaksanaan pameran pembangunan di Maumere bulan Agustus 1993. Ada harapan SANRES agar Stand pameran pembangunan dibangun bersama antara KSS dan SANRES, namun dalam pelaksanaannya banyak anggota KSS yang tidak hadir karena bertabrakan dengan kegiatan PMKRI. Secara organisasi KSS tidak sepakat untuk KSS terlibat dalam kegiatan Stand Pameran SANRES. Namun secara personil saya Marsel dan Pius aktif dalam kegiatan pameran pembangunan ini bersama Tim SANRES, karena kami merasa bagian dari SANRES. Sikap kami ini tidak disetujui anggota KSS yang lain. Kondisi ini mendorong lemahnya kehadiran kedua belah pihak dalam diskusi-diskusi selanjutnya baik yang diselenggarakan oleh SANRES maupun oleh KSS.
Ketidakpuasan antara KSS dan SANRES terus memuncak saat adanya rencana penerbitan Bulentin KSS – SANRES yang diberi nama IDE (Imung Deung). Penerbitan buletin ini muncul banyak diskusi dan persepsi yang berbeda. Mulai soal legalitas, penanggungjawab, isi karangan, siapa yang mengerjakan sampai pada biaya. Perbedaan persepsi dalam penerbitan buletin IDE ini ditambah lagi ketidakpuasan yang tidak diungkapkan secara terus terang akhirnya KSS dan SANRES memutuskan kemitraan pada tanggal 19 November 1993.
Konflik KSS –SANRES turut mempengaruhi pergulatan saya yang adalah anggota KSS dan juga bagian dari SANRES. Pengetahuan tentang SANRES dan aktivitasnya saat ber-KKN serta keterlibatan saya secara pribadi di SANRES mendorong saya untuk “diam” saat konflik terjadi. Namun sikap diam ini ternyata tidak menyelesaikan pergulatan batin saya karena menimbulkan masalah baru. KSS melihat saya berpihak pada SANRES, sementara SANRES menilai saya tidak mampu menjelaskan maksud SANRES pada KSS. Dalam perbedaan persepsi tentang penerbitan Buletin IDE, anggota  KSS menjuluki   saya dan tiga orang teman (Bene Kasman, Marsel Ganggur dan Pius Hamid) “kelompok 4”, yang mendukung SANRES.
Pergulatan batin ini pada akhirnya saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari anggota KSS, walaupun saya menyadari mundurnya saya dari KSS ada kehilangan Solidaritas dalam kehidupan bersama sesama mahasiswa di Asrama. Saya memusatkan perhatian pada kegiatan di SANRES dan melanjutkan penerbitan Buletin IDE milik SANRES. Keputusan saya untuk memusatkan perhatian pada SANRES didukung secara moril oleh Bene Kasman, Pius Hamid dan Marsel Ganggur. Kami berempat akhirnya membantu SANRES menumbangkan karangan, serta mengetik Buletin IDE milik SANRES.

c.       Konflik SANRES dan Pemda SIKKA.

Kehadiran LSM SANRES dengan strategi pemberdayaan masyarakat  melalui pendekatan advokacy kebijakan yang tidak berpihak rakyat, membuat oknum Pemda Sikka merasa terganggu. Beberapa instansi pemerintah yang tidak mengenal SANRES secara baik ditambah lagi pengetahuan tentang LSM dengan berbagai paradigma pendekatannya belum memasyarakat, mendorong mereka menyimpulkan bahwa SANRES penentang pemerintah. Keterlibatan Staf SANRES  dalam berbagai seminar yang diselenggarakan oleh PMKRI St.Thomas Morus Maumere yang  pernah melakukan aksi penolakan Rencana pendirian mesjid Raya di Maumere pada bulan April 1993 turut menguatkan opini bahwa SANRES penentang kebijakan pemerintah.
Beberapa kegiatan SANRES diboikot oleh oknum pemerintah dan okunm anggota keamanan. Saya teringat akan pemboikotan ini terjadi. Misalnya  malam Pentas Budaya Sikka di Kantor SANRES Nangaliman, ada warga yang lagi asyik menenonton ditabrak lari sehingga kegiatan diberhentikan. Saat pengresmian Blevak di Kringa Boganatar ada oknum Polisi yang datang mencegat pelaksanaan kegiatan tersebut. Beberapa kelompok dampingan di wilayah kecamatan diintimidasi untuk tidak boleh kerjasama dengan SANRES karena mereka itu kelompok penentang pemerintah, organisasi terlarang dan sebagainya. Peristiwa ini adalah bentuk pengungkapan konflik SANRES dengan Pemerintah kabupaten Sikka saat itu.
Kondisi ini sangat disadari oleh Pengurus dan Staf SANRES, karena mereka telah memahami pendekatan Advokacy. SANRES tidak bergentar sedikit pun menghadapi opini ini. Karena itu suatu saat di akhir bulan September 1993 diadakan pertemuan Staf SANRES mendiskusikan opini ini. Hasil diskusi menyimpulkan bahwa SANRES tetap melakukan advokacy kebijakan dan malah lebih gencar agar kebijkan pemerintah daerah harus betul-betul berpihak rakyat. Agar advokacy ini tidak mengambang dan tidak dinilai dangkal maka SANRES harus menguasai data. SANRES perlu memiliki data-data yang akurat yang didapatkan dari berbagai isntasi resmi PEMDA Sikka. Adapun data-data utama yang mau diperoleh SANRES adalah data tentang Potensi Ekonomi Rakyat Sikka yang didapatkan dari Kantor Statistik. Selain data-data  SANRES juga  perlu mencari tahu  mengapa SANRES dianggap lawan pemerintah.
Pekerjaan mengambil dan mengumpulkan data dan mencaritahu pendapat pemerintah tentang SANRES ini, bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena sudah pasti informasi ini tidak akan diberikan kalau yang melakukan pengambilan data dan wawancara diketahui sebagai Staf SANRES. Karena itu forum menyepakati kegiatan ini saya yang laksanakan, karena saya dapat menggunakan predikat Mahasiswa. Segala biaya untuk pelaksanaan pekerjaan ini, fotocopy, transportasi dan penulisan laporan ditanggung lembaga (SANRES). Dengan berbagai pertimbangan dan usulan maka saya memutuskan untuk menerima tugas ini dan akan melaksanakannya sesuai kebutuhan SANRES.

Sambil Menyelam minum air.
               
Pergulatan Hidup setelah keluar dari frater tanggal 26 Mei 1992, sering saya dialogkan dengan diri sendiri melalui refleksi-refleksi pribadi. Hal ini terbawa sejak menemukan manfaatnya refleksi pribadi selama 2 tahun di frater. Hasil refleksi saya tulis dalam buku harian entah dengan catatan biasa maupun dengan puisi-puisi.
Refleksi yang sama saya lakukan segera setelah mendapat tugas dari SANRES untuk mengambil data-data dan mewawancarai beberapa camat yang menolak maupun yang menerima kehadiran SANRES di wilayah kerjanya. Dalam permenungan awal saya menyimpulkan bahwa SANRES memanfaatkan predikat saya sebagai mahasiswa untuk kepentingannya. Hal ini wajar karena saya seorang Staf  pembantu pada Lembaga SANRES. Saya begitu  yakin pekerjaan ini mudah dilakukan karena sebagai Biro Publikasi dan Komunikasi PMKRI saya biasa berkomunikasi dengan berbagai personail PEMDA Sikka kegiatan PMKRI. Permenungan lanjutan saya bertanya manfaat pekerjaan ini bagi saya secara pribadi. Pertanyaan ini menjadikan pekerjaan ini sebagai peluang untuk meraih kepentingan saya yang lebih besar tidak hanya sekedar uang imbalan/honor  sebagai Staf SANRES. Karena itu saya memutuskan untuk melakukan Penelitan tentang SANRES di mata Masyarakat Sikka sebagai bahan penulisan Skripsi.
                 Saya akhirnya merumuskan pertanyaan sendiri untuk mengkritisi persoalan SANRES dengan pemerintah secara akademis. Benarkah SANRES  melawan pemerintah? Benarkan Pemerintah menolak kehadiran SANRES di wilayah Kabupaten Sikka? Mengapa hal semacam ini terjadi?  Semua pertanyaan ini saya rampung  dalam sebuah  Kerangka Penelitan berjudul TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP STRATEGI SANRES DALAM PENDAMPINGAN KELOMPOK MASYARAKAT LOKAL.
Pikiran ini saya konsultasikan dengan Pimpinan SANRES Pak Edu Sareng dan Pak Paulus Nong Susar. Argumentasi yang berikan kepada Pak Edu dan Pak Nong Susar dalam konsultasi penelitian ini lebih banyak berhubungan dengan legalitas saya di beberapa intansi yang dibutuhkan SANRES. Saya menggunakan predikat mahasiswa peneliti untuk mewawancarai para camat dan kepala desa dimana SANRES diterima dan ditolak, serta pengambilan data di beberapa instansi. Pak Edu Sareng dan pak Nong Susar setuju dengan gagasan saya ini dan menyatakan langkah yang saya ambil ini adalah langkah yang strategis baik untuk kepentingan SANRES maupun untuk kepentingan pribadi saya.
Saya menulis Proposal Penelitan ke Sekolah Tinggi Filasafat Katolik (STFK) Ledalero dan tembusannya disampaikan ke SANRES. Dalam proposal ini saya mengusulkan waktu penelitian berlangsung Oktober 1993 s/d April 1994, tempat peneltian di seluruh wilayah dampingan SANRES yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Sikka dan pembimbing Penelitian sekaligus pembimbing penulisan Skripsi Pater  Dr. Leo Kleden, SVD.  Pemilihan Pater  Dr. Leo Kleden, SVD. sebagai dosen pembimbing  karena Pater Leo adalah penasehat rohani LSM  SANRES dan dalam beberapa kegiatan SANRES Pater Leo Kleden sering terlibat. Sebelum Proposal saya serahkan ke Sekretariat STFK Ledalero, saya berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pater Dr.Leo Kleden,SVD. Saya mendapat dukungan dari Pater Leo Kleden dan menyatakan bersedia menjadi pembimbing penulisan Skripsi sedangkan segala hal yang berhubungan dengan data penelitian untuk kepentingan analisis Skripsi diserahkan seluruhnya pada kreasi saya.
Hari Rabu tanggal 27 Oktober 1993  Izin Penelitian di keluarkan dari STFK Ledalero. Berbekalkan surat Ijin Penelitan ini seterusnya Kamis 28 Oktober 1993 saya bersama Pengurus SANRES (Pak Edu Sareng, pak Paulus Nong Susar) serta  pak John Bala (Staf SANRES), memantapkan persiapan penelitian ini. Pengurus dan Staf SANRES menyampaikan data-data apa saja yang perlu untuk SANRES, intansi-instansi mana yang perlu diwawancarai, serta camat, kepala desa/kelurahan mana saja yang perlu diwawancarai. Semua ini saya catat dengan rapi untuk setersunya meminta Rekomendasi Bupati Sikka agar saya sebagai peneliti diberi keluasan untuk mengunjungi dan memperoleh informasi yang dibutuhkan. Hari sabtu tanggal 30 Okoteber 1993 dan Senin 1 November 1993 saya bertemu dengan Bupati Sikka, Bapak Alex Idong dan mendapatkan keluasan untuk melaksanakan penelitian di beberapa wilayah di kabupaten Sikka. Saya dibekali sejmulah surat rekomendasi ke beberapa wilayah kecamatan dan ke instansi terkait  untuk pengambilan data dan wawancara.
Berbekalkan dokumen resmi baik dari Ledalero maupun dari Bupati Sikka saya melaksanakan penelitian untuk dua kepentingan yakni SANRES dan data Skripsiku sebagai mahasiswa. Pelaksanaan penelitian yang secara formal berlangsung bulan Oktober 1993 s/d April 1994 berjalan lancar dan tidak ada halangan apapun. Lamanya waktu penelitian ini mendorong saya untuk mengutamakan data dan informasi untuk SANRES dibandingkan dengan kebutuhan Skripsiku. Kini keberadaanku di SANRES cukup berarti, sebagai Staf bantu saya diberi tugas rutin mengedit dan mengetik Buletin IDE, mengunjungi kelompok dampingan dan  pada sore hari dan hari libur. Semua pelaksanaan tugas di SANRES dilakukan ketika selesai jam kuliah. Pimpinan dan management SANRES sungguh bijaksana dalam memberikan pekerjaan bagi saya. Karena itu saya tidak pernah absen kuliah dan mengabaikan segala tugas kemahasiswaan.
Berkaitan dengan kegiatan penelitian saya mengalami banyak kemudahan. Banyak moment strategis di SANRES saat itu yang memberikan ruang luas bagi saya  untuk wawancara di desa-desa dan komunitas  adat. Beberapa moment yang saya ingat bermanfaat seperti Kajian Adat NTT yang melibatkan beberapa LSM di Flores dan Timor termasuk SANRES, wakil masyarakat Adat, dan kalangan akademis  yang difasilitasi oleh Erwin Panjaitan, Galuh Wandita dan Abdon Nababan dari Yayasan Sejati – Jakarta. Ada kegiatan Pentas Budaya masyarakat Sikka yang dihadiri oleh komunitas adat Sikka dampingan SANRES, ada kunjungan silang dari masyarakat Irian Jaya, ada monitoring program SANRES dari OXFAM dan kunjugan lainnya dari mitra SANRES.
Pengalaman keterlibatan dalam berbagai kegiatan SANRES sungguh sangat menarik sebagai tempat belajar berbagai pengetahuan praktis di Lapangan. Saya belajar berbagai pengetahuan praktis dari kelompok masyarakat dampingan SANRES, serta berbagai kegiatan yang dilakukan bersama dengan SANRES. Beberapa pengetahuan teknis yang aku pelajari antara lain pertama, mengendarai sepeda dayung. Tentang sepeda dayung saya telah mempunyai pengalaman dasar dalam hal keseimbangan sementara saya berada di asrama wairpelit dan belum mengenal SANRES. Saya ingat betul bagaimana saya melatih sepeda dayung milik salah seorang gadis asal Nita-Maumere yang sering berapel di Asrama Wairpelit dan berteman salah seorang mahasiswa Kaka tingkat. Kebetulan memang saya menjadi penghubung antara keduanya sehingga ketika mereka lagi asyik berduaan saya meminta sepeda gadis itu dan melatih. Begitu semangatnya rasa ingin tahu saya sampai-sampai suatu saat kaka tingkat saya meminta saya untuk sama-sama tanggung beli ban luar karena sudah gundul. Saya pun mengikutinya karena saya senang belajar sepeda dayung. Ketika saya sampai di SANRES, kesempatan untuk menggunakan  sepeda dayun berpeluang lebih besar. Saya sering berlatih menggunakan sepeda milik Om Nandes, salah seorang tukang kayu yang bekerja di SANRES dalam berbagai kegiatan pembangunan baik untuk SANRES maupun untuk keluarga Pak Edu dan Staf SANRES. Saya juga beberapa kali menggunakan sepeda dayung milik pak Edu Sareng untuk berlatih lebih jauh dan sampai mengelilingi kota Maumere di sore hari sebelum pulang ke asrama.
Ada rasa bangga pada diri saya memiliki keterampilan ini walaupun saya tahu tidak mungkin bisa memiliki sepeda dayung. Kebanggan ini pelan-pelan menjadi kesombongan dimana saya merasa lebih dari teman-teman di asrama. Pada akhirnya saya lupa mengendalikan diri untuk mengatur saat yang pas menggunakan sepeda. Beberapa kali saya membuat kesalahan dan kekanak-kanakan. Ketika Pak Edu isitiraha siang saya mengambil sepeda motor dari teras rumahnya dan berjalan-jalan ke Kota Maumere. Saat pak Edu bangun untuk berolah raga sore sepeda masih ada di saya. Pak Edu menegur saya secara halus dan menjelaskan bahwa sepeda itu dibelikan untuk olah raga pribadinya pak Edu karena saat itu badannya gemuk. Saya boleh menggunakan sepeda dayung asal lihat saat yang tepat dan memberitahu terlebih dahulu. Dasar sudah ketagihan nasihat ini hanya ingat beberapa hari dan kemudian buat lagi. Tibalah satu saat Pak Edu menegur keras, suatu sore  terjadi saya menggunakan Sepeda Om Nandes sampai  gelap, saat ia harus pulang ke rumahnya. Setibanya di kantor SANRES pak Edu langsung marah keras dan mencaci maki, mengolok dan lain sebagainya, sampai ia menyinggung latar belakang keluarga saya. Di sini saya baru kapok, dan merasa tersinggung ketika sampai menyinggung latar belakang keluarga.
Pengalaman pahit ini ternyata pada akhirinya ada manfaatnya. Kegiatan penelitan saya di sekitar kota Maumere saya menggunakan sepeda dayung sehingga hemat biaya transport dari SANRES. Ketika saya dan teman-teman WIPKM (Wahana Informasi Pengembangan Kemasyarakatan) mitra SANRES di Talibura, mengadakan kegiatan di Tanjung Darat saya bisa leluasa menelusuri pantai Tajung darat menggunakan sepda Dayung. Keterampilan mengendari sepeda dayung sangat bermanfaat bagi kebutuhan pekerjaan dan penelitian saya saat itu.
Kedua, mengendarai sepeda motor. Keterampilan saya mengendarai sepeda motor sejak berada di SANRES karena jasa  Pak Nong Susar dan Pak Pieter Embu Gusi. Mereka berdua sungguh sabar dan setia melatih saya mengendara sepeda motor. Hal ini disebabkan karena merekalah yang selalu direpotkan dalam menjemput maupun menghantar saya dari dan ke asrama kalau ada kegiatan mendadak , larut malam atau kegiatan yang bermalam di Lapangan. SANRES memiliki dua sepeda motor saat itu ada sepeda motor baru GL MAX, dan sepeda motor lama GL 100. Pak Nong dan Pak Pieter melatih saya menggunakan sepeda motor GL 100.
Satu sore di bulan November saya melatih sepeda motor di samping rumah pak Nong Susar di dalam semak-semak setinggi lutut. Pak Nong menjelaskan saya bagaimana start, melepaskan kopling sambil menaikan gas pelan-pelan dan mulai berjalan serta menaikan dan menurunkan gigi. Berhubung banyak rumput maka saya dengan mudah pelan-pelan mengetahui akibat dari naik dan turunkan gigi sepeda motor serta naik dan turunkan gas. Saya berhasil pada sore itu juga dan pak Nong mendukung saya serta menguatkan kepercayaan diri saya. Saya diajurkan untuk terus melatih sampai bisa di Lapangan yang tidak ada rumputnya dan juga melatih di Jalan Raya.  
Pengalaman bersama pak Pieter terjadi ketika kami berdua mengunjungi Pemukiman Bang Boler. Ia mendukung saya dan mengatakan saya harus berani. Diberikannya sepeda motor untuk aku yang menyetir ketika melwati jalan yang sepi dan rata dalam perjalanan. Saya berhasil dan sempat dikoreksi beberapa kesalahan yang aku lakukan. Saya pun percaya diri hari itu sampai ketika pulang sore hari saya nekat memintanya untuk aku yang menyetir dari Nita sampai di Maumere. Walaupun ia menolak karena agak ramai dengan kendaraan ia setuju juga. Terjadilah saat yang tak terlupakan itu terjadi. Karena jalan menurun maka saya matikan mesin ketika menuruni jalan Worooret menuju Wairpelit. Sepeda motor GL 100 itu pun melaju  dengan kencangnya. Saya panik mengendalikannya dan pieter teriak dari belakang. Ketika memasuki belokan pada ruas jalan setelah gerbang Ledalero, persis di samping dapur Ledalero saya lupa belok. Kami terjungkal ke Got. Sepeda motor menabrak tebing pinggir jalan sehingga semua bagian depan remuk. Kaca dan lampu depan pecah. Pa pieter mengalami luka goresan pada kaki dan saya pun terluka. Kejadian ini membuat saya gugup, saya mulai lagi membayangkan kemarahan yang akan saya terima dari Pak Edu. Entah apa lagi yang ia ucapkan tapi betul saya takut. Kami singgah sebentar di asramaku meminta obat merah dan mengoles luka kami berdua, seterusnya kami ke SANRES.
Entah apa yang dijelaskan pak Pieter kepada Pak Edu dan teman-teman yang lagi santai di pelataran kantor SANRES. Pak Edu langsung bertanya pada saya bagaimana keadaan luka saya. Setelah saya jelaskan pak Edu langsung  mengatakan, Kendaraan boleh rusak asalkan kakiku tidak patah. Kendaraan bisa diperbaiki tetapi kalau saya patah kaki maka semua yang saya cita-citakan gagal total. Dugaanku meleset, pak Edu tidak marah malah memberikan peneguhan bagi saya. Keesokah harinya sepeda Motor langsung dibawa ke Bengkel untuk diperbaiki. Sejak kejadian itu saya akhirnya hati-hati dalam melatih dan pelan-pelan bisa membawanya sendiri.
Sama halnya dengan melatih sepeda dayung semangat ingin tahu yang tinggi serta sifat kekanak-kanakan membuat saya kena teguran dari Pak Edu karena tidak melihat moment yang tepat untuk melatih bahkan membuat kesan pada teman-teman di SANRES saya sombong dan tidak tahu diri. Memang saya sadari bahwa keterampilan saya mengendarai sepeda motor tidak mempunyai manfaat bagi SANRES karena akhirnya saya dipergikan dari SANRES. Keterampilan sepeda motor ini bermanfaat untuk aktivitas pribadi saya selanjutnya ketika kembali ke asrama di Wairpelit.
Ketiga, melatiah menggunakan komputer. Saya ingat SANRES memiliki komputer kurang lebih pada bulan Oktober 1993. Pada bulan November 1993 kami semua staf dilatih menggunakan komputer oleh Pak Siprianus Uran salah seorang pegawai STFK Ledalero. Kurang lebih 4 kali kami dilatih program WS4. Dari beberapa staf yang dilatih itu akhirnya yang bisa menggunakan komputer untuk mengetik dengan program WS4 adalah Pak Edu Sareng, Pak Paulus Nong Susar dan saya sendiri. Keterampilan ini sangat bermanfaat bagi saya secara pribadi dan SANRES saat itu karena saya mengetik dan mengedit Majalah IDE dengan menggunakan komputer program WS4. Lagi-lagi soal semangat ingin tahu saya akhirnya dinilai sombong juga dalam menggunakan komputer ini dan menjadi kasus beli saya dikeluarkan dari SANRES.
Keempat, Melatih cetak batako. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam pendidikan di seminari saya merasa pengetahuan praktis ini sangat baru bagi saya. Karena itu ketika ada kesempatan untuk mencetak batako untuk pembangunan Kantor SANRES saat itu saya belajar untuk bisa mencetak batako. Pekerjaan ini tidak rumit karena hanya soal mencampur semen dan pasir dengan ukuran berapa ember pasir dan berapa ember semen serta bagaimana mengaduk serta mencetak dalam forma yang didalamnya ada batu-batu mangga. Pada akhirnya saya berhasil mengerjakan berapa puluh batako untuk kantor SANRES bersama dengan anak-anak yang tinggal dengan Pak Edu Sareng dan juga didampingi SANRES. Saat itu ada anak-anak yang diperhatikan oleh Pak Edu dan SANRES dengan sebutan “anak-anak Merdeka”. Saya belajar banyak dari seorang anak yang sangat rajin saat itu namanya Doset.
Kelima, belajar menggunakan Sensor. Saya sempat juga sempat belajar menggunakan alat sensor saat berada di SANRES. Saya sering ikut Om Nandes dalam pekerjaan sensor kelapa baik untuk kepentingan SANRES maupun ketika diminta oleh orang yang membutuhkan. Sambil membantu om Nandes saya belajar bagaimana mencampur oli sensor, bagaimana membuka bar dan rantai sensor serta bagaimana menghidupkan sensor. Saya memang tidak sampai tahu menggunakan sensor ini tetapi beberapa kali Om Nandes melatih saya cara memegang dan berhasil memotong batang kelapa yang sudah tumbang, sebelum akhirnya Om Nandes yang belah untuk dijadikan balok atau papan kelapa.
Kelima hal di atas hanya mau menggambarkan bahwa banyak hal yang saya belajar dari keterlibatan saya dengan SANRES sejak Juli 1993 s/d Oktober 1994. Saya begitu senang berada di dan terlibat total dengan berbagai kegiatan SANRES entah oleh Staf maupun kelompok dampingannya. Saya sungguh tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memanfaatkan berbagai fasilitas dan belajar banyak pengetahuan praktis dan teknis. Beberapa hal lain yang sempat saya belajar antara lain, masak minyak kelapa, menjadi Tukang kayu dengan bahan dasar balok kepala bagaimana mencegah agar paku tidak bengkok saat memaku balok kelapa yang keras; dan saya juga sempat belajar membuat kursi sofa. SANRES bagiku saat itu adalah perpustakaan berisi buku-buku keterampilan menyongsong pergumulan hidup anak manusia.
Selain pengetahuan keterampilan praktis keterlibatan saya dengan SANRES juga mendapat banyak pengetahuan teoretis yang saya dapatkan dari banyak orang baik Staf SANRES maupun mitra kerja serta kelompok masyarakat dampingannya. Saya belajar bagaimana menjadi menjadi perekam proses yang partisipatif saat diskusi atau pertemuan maupun lokakarya. Bagaimana mencatat semua pikiran yang disampaikan oleh setiap orang, bagaimana memimpin pertemuan tingkat kelompok masyarkat dampingan, pertemuan sesama Staf LSM mapun pertemuan-pertemuan yang melibatkan berbagai komponen masyarakat. Saya juga bisa berrelasi dengan banyak orang dan para aktivis LSM sebut misalnya Alm.Erwin Panjaitan, Galuh Wandita, Abdon Nababan, Alm. Mansour Fakih, dan beberapa teman aktivis di NTT dan daratan Flores. Pertemuan dengan beberapa orang ini membuat saya terobsesi saat itu untuk bekerja di dunis LSM ketika tamat kuliah nanti. Saya mau menjadi orang-orang bebas dengan berbagai pikiran yang kritis dalam mencermati realitas sosial dan kalau ada kesempatan bisa menerapkan berbagai strategi pemberdayaan rakyat yang bermartabat.
Dalam kesibukan keterlibatanku dengan SANRES saya teringat hari Rabu, 1 Desember 1993. Hari ini mempunyai arti penting dalam keberadaanku di SANRES. Sebagai orang yang membantu di SANRES saya mendapat pengakuan secara Lembaga dan diputuskan dalam rapat Staf, sebagai Semi Staf SANRES karena masih kuliah. Kesulitan keuanganku yang pernah saya sampaikan kepada keluarga Pak Edu Sareng akhirnya juga sampai ke Kantor SANRES dan menjadi kepedulian SANRES. Ketika teman-teman Staf SANRES menerima gaji pada hari itu, saya diminta untuk menandatangani kwitansi bernilai Rp.150.000  dimana uangnya telah saya terima bulan November untuk bayar kuliah. Seterusnya pak Nong menjelaskan, untuk biaya kuliah atau kebutuhan uang kuliah selama saya menjadi Semi Staf SANRES ditanggung seluruhnya oleh SANRES. Setiap bulan saya mendapat uang dari SANRES sebesar Rp.50.000 untuk transport dan lumpsum.  Pada hari itu aku mendapatkan uang Rp 35.000 dengan perincian lumpsung sebesar Rp.20.000 dan Transport Rp.15.000.
Aku sungguh bahagia dalam hal ini. Karena terima uang Rp.35.000 bukan karena belas kasihan seperti yang aku terima sebelumnya. Walau pun sebelumnya saya pernah terima uang Rp.180.000, Rp.175.000, Rp.80.000; Rp.45.000 dan Rp.115.000 dari pater Kirch Berger sejak September 1992 s/d September  1993; Terima uang Rp.30.000 dan 50 Kg beras dari Pak Edu Sareng bulan Oktober 1993 dan Rp 150.000 dari SANRES pada November 1993 perasaan senang saya tidak bisa dibandingkan dengan perasaan senang saat terima uang Rp.35.000 untuk sebagai honor pekerjaan bulan Desember 1993. Saya bangga bahwa saya terima uang karena keringat yang telah dan akan saya keluarkan bukan karena belas kasihan.
Menerima jabatan sebagai Semi Staf dengan honor Rp.50.000 setiap bulan dengan semua kebutuhan uang kuliah ditanggung SANRES sesuatu yang luar biasa bagi saya. Semua ini menjadi pendukung untuk menncurahkan segala kemampuan dan tenaga untuk menyukseskan program SANRES dan kuliah saya. Bagiku Asrama hanyalah tempat untuk tidur, mandi, cuci pakaian dan minum pagi sebelum kuliah. Makan siang dan makan malam di SANRES atau pada kelompok-kelompok dampingan. Saya merasakan bagaimana pergulatan dalam menyelesaikan beberapa pekerjaan pada satu waktu. Situasi yang saya alami mengulang kembali Situasi saat Seminari Menengah 6 tahun dan seminari tinggi 2 tahun (Novis I dan Novis II). Detik dan jam dalam satu hari telah dijadwalkan untuk diisi dengan berbagai pekerjaan yang harus diselesaikan. Kondisi ini tidak pernah aku sesali karena bagiku inilah jalannya menuju keberhasilanku dalam Kuliah. Aku dengan keuputusan bebas untuk mengikatkan diri dalam kondisi ini.
Kegiatan tahun 1994 cukup padat di SANRES dan saya terlibat penuh dalam berbagai aktivitas di SANRES sambil tidak pernah mengabaikan jam kuliah atau tugas kemahasiswaan. Saya betul mencurahkan segala waktu yang ada untuk kepentingan SANRES dan kuliah. Beberapa kali saya berangkat kuliah dari Lapangan seperti dari Talibura (Kantor WIPKM) mitra SANRES, berangkat dari PUHU- Lela, Koting dan Wolohuler. Saya tidak terlambat karena dihantar dengan sepeda motor padi hari ke asrama oleh pak Paulus Nong Susar dan Pak Pieter Umbu Gusi. Pak Paulus Nong Susar dan Pieter Umbu Gusi sangat berjasa dalam menjemput dan menghantar saya dan sangat mendukung agar saya cepat selesai kuliah. Kadang juga numpang mobil JEEP SANRES bersama-sama dengan Staf lain dan keluarga pak Edu kalau kegiatan ada  acara pesta atau kegiatan pengresemian tempat pertemuan dan pulang pagi hari bersama-sama.
Tidak terasa waktu penelitian saya secara formal telah habis dan kini konsentrasi pada pekerjaan dan kuliah. Semua data penelitian saya simpan baik-baik dan merapikannya dalam sebuah buku catatan tersendiri.  Limitnya waktu, banyaknya pekerjaan, repotnya menjemput dan menghantar  ke asrama untuk kuliah, Pak Edu Sareng dan teman-teman di SANRES mengusulkan agar aku tinggal saja di rumah pak Edu Sareng di kantor SANRES. Setelah saya berpikir dan mempertimbangkan untung ruginya akhirnya saya menyatakan setuju dan tinggal di Nangalimang SANRES.
Tanggal 6 Juni 1994 Aku berpindah dari asrama dan tinggal di Rumah Pak Edu. Aku ingat bagaimana aku berangkat ke rumahnya Pak Edu. Ada 3 Gardus yang aku bawa dua gardus berisi buku-buku dan diktat kuliah dan satu gardus berisi pakaian karena koporku yang dibeli sejak awal masuk frater tahun 1989 di Nenuk sudah rusak. Aku numpang Bis Cemerlang sopirnya om Agus yang sudah saya kenal. Setibanya di Rumah Pak Edu saya disambut baik oleh keluarga Pak Edu. Ibu Seri memberikan aku satu kamar di dekat dapur pisah dengan rumah besar. Kamar ini sebelumnya digunakan oleh anak-anak keluarga pak Edu antara lain Sona dan satu lagi aku lupa. Di dalamnya terdapat satu buah tempat tidur dengan kasur yang empuk. Juga terdapat sebuah meja belajar yang terbuat dari tirpleks yang baru dengan kaki dari kayu Kelapa. Karena tidak ada Lemari maka saya bersama Adik Doset (Anak-anak piara pak Edu) membuat satu lemari dengan rangkanya dari kelapa. Rangka lemari ini cukup besar, ada dua pintu dan 3 rak. Karena keterbataan tirpleks maka yang bisa dihasilkan adalah rak lemari untuk menempatkan buku-buku dan pakaian, sedangkan untuk dinding dan pintunya hanya ditutup dengan kain seprrey dan kain jendala yang aku bawa dari asrama. Aku sangat bahagia dengan kamar ini sangat privasi dan memungkinkan aku belajar dengan baik. Aku betah dalam kamar ini.
Dengan tinggal di rumah Pak Edu ini maka saya rasakan hal yang luar biasa, semangatku untuk belajar, kuliah dan kerja di Kantor SANRES sayang bergairah. Diskusi dengan teman-teman di kantorpun semakin lancar karena dekat, demikian pun dengan pak Edu serta teman-temannya khususnya dari sesama mitra LSM. Aku bisa mengenal ide-ide pak Edu dan Pak Paulus Nong susar saat mereka diskusi. Aku mendapat banyak pelajaran dari tinggal di rumah pak Edu ini. Di sisi lain pada smester itu nilai ujianku baik dan tidak ada mata kuliah yang HER. Pak Edu dan Mama Seri (istri pak Edu) sangat bangga dengan prestasi saya itu.
Pada  bulan Juli 1994  saat liburan kuliah, dari rumah pak Edu saya pergi libur ke kampung halaman di Manggarai menemui orang tua dan keluargaku. Aku membawa oleh-oleh dari keluarga Pak Edu untuk orang tua berupa 1 gardus ikan kering yang semuanya disiapkan oleh Mama Seri. Aku bangga untuk pertama kalinya aku membawa oleh-oleh ketika aku pulang Liburan. Semua biaya pergi dan kembali dari liburan sudah disiapkan dengan baik oleh keluarga Pak Edu. Sesuai dengan pesan pak Edu tujuan utamaku dalam liburan ini untuk memberitahukan kepada orang tua bahwa mereka tidak perlu memikirkan biaya hidup dan kuliah untukku karena semuanya sudah diatasi keluarga pak Edu dan SANRES. Hal itulah yang aku sampaikan di orang tuaku. Aku berada di kampung kurang lebih 2 minggu dan kambali lagi sebelum kuliah di Mulai.

Bergulat dengan salip keputusan yang telah diambil.

Awal  Agustus 1994 saya berada lagi di Kantor SANRES setelah pulang liburan dari kampungku di Manggarai. Ketika mulai kuliah di semester ini saya mengalami keterpecahan dalam diri. Hal ini lebih banyak pergulatan perasaan pribadi sebagai seorang manusia yang tidak sanggup menempatkan diri secara tepat. Pertama, aku seorang mahasiswa yang harus mengikuti kuliah setiap hari dan juga harus merampungkan semua data-data penelitian untuk skripsi. Pada tujuan ini aku harus menggunakan waktu yang tersedia untuk belajar dan menulis. Karena itu kamar tidur dan bangku kuliah adalah prioritas aku berada. Kedua, Kuliah dan hidupku dibiayai  SANRES, dan sebagai imbalannya aku bekerja di kantor SANRES seperti Staf lainnya dengan menyelesaikan beberapa tugas yang telah diberikan tanggungjawabnya padaku di samping tugas umum yang seswaktu diberikan untuk aku selesaikan. Dalam situasi ini maka waktu yang tersedia aku gunakan juga untuk tugas-tugas kantor.  Ketiga, aku tinggal di rumah pak Edu sebagai anak mereka. Dalam kehidupan berkeluarga aku mempunyai kewajiban  untuk mengambil bagian dalam kegiatan rumah tangga. Mencuci piring, mengisi air, memberi makan babi dan mencari makanan kambing. Menyapu dan menyiram halaman yang berdebu saat itu.
Saya betul-betul mengalami keterpecahan diri yang sangat luar biasa pada saat ini, dan betul-betul tidak mampu menempatkan diri secara tepat dan sempurnya pada masing-masing predikat di atas. Saya sadar bahwa kegagalan yang paling besar dari ketiganya adalah menempatkan diri sebagai anak Pak Edu dan tinggal di rumah pak Edu. Memang saya akui pernah mencuci piring, memberi makanan babi, mencari makanan kambing menyapu dan menyiram halaman tetapi kalau hari libur dan tidak sering saya lakukan. Saya lebih banyak bergulat dan sukses pada predikat sebagai mahasiswa dan seorang peneliti dan sebagai Staf SANRES. Singkatnya aku gagal sebagai anggota keluarga Pak Edu.
Ketidakmampuan saya untuk terlibat toal dalam kehidupan keluarga Pak Edu Sareng mendorong salah seorang anak piara Pak Edu Sareng sekeluarga menyatakan bahwa  saya tinggal di rumah pak Edu sama seperti  tinggal di Hotel. Segala sesuatunya dilayani keluarga Pak Edu dan anak-anak yang ada di rumahnya. Pernyataan ini di sampaikan di antara mereka dan ketika berhadapan dengan saya disampaikan dengan sindirian. Hal ini sungguh menyakitkan saya. Sakit karena apa yang mereka katakan itu benar, namun saya tidak mampu mengikuti apa yang mereka inginkan karena waktu yang telah tersita dengan  pekerjaan di kantor SANRES dan urusan kuliahku.
Hari demi hari saya akhirnya sampai pada penyesalan mengapa saya harus tinggal di rumah pak Edu. Penyesalan ini terus bergulat menggerogoti jiwaku, sehingga dalam segala hal saya saya menganggap serba salah. Tidak ada yang tahu pergulatan batin ini, saya sering termenung dan akhirnya pergengaruh pada tidak konsentrasinya menyelesaiakan pekerjaan di kantor. Saat yang paling aku rasakan sebagai salip adalah saat makan malam dimana selalu dilematis. Ketika tiba saatnya untuk makan aku selalu bimbang apakah aku tunggu dipanggil untuk makan atau ketika saat makan aku keluar dari kamar dan mengambil nasi dan sayur terus makan bersama Pak Edu dan keluarganya. Dalam kebimbangan ini aku mengambil keputusan tunggu dipanggil baru aku pergi makan. Tentu hal ini salah karena akhirnya betul aku berperilaku rumah pak Edu bagaikan hotel. Tapi inilah yang dapat saya  lakukan.
Suatu siang terjadi terjadi sinis yang menyakitkan seorang anak  lain yang tinggal dengan pak Edu, dengan tidak mempertimbangkan perasaan saya menyatakan  bahwa kalau makan banyak orang tetapi kalau kerja hanya sedikit  orang. Walaupun pikiran sehat saya mengatakan bahwa kegagalan saya dalam menempatkan diri sebagai anggota keluarga Pak Edu bisa dibapahami keluraga Pak Edu dan teman-teman staf SANRES, namun perasaan saya terluka. Luka batin ini terasa terus ternganga dari hari ke hari dan saya yakin pak Edu dan Mama Seri atau Ana dan Dewi tidak (keluarga inti pak Edu Sareng) tidak  mengetahui perasaan saya ini. Saya pun tidak menceritakan hal ini pada siapa pun sampai tulisan ini ada. Karena bagiku adalah pengalaman yang sangat baik; pengalaman kerkah batin  sebagai pelajaran Etika moral dalam hidup  rumah pada tangga orang.  

Diusir dari Rumah Pak Edu Karena Lupa diri.

Demikian yang saya dapat rumuskan segala persoalan yang membuat saya pergi dari rumah Pak Edu sekaligus dari SANRES pada tanggal 06 Oktober 1994. Ketika pergulatan batin soal biaya kuliah sudah selesai dan saya dipercayakan beberapa tanggungjawab di SANRES, saya tiba pada suatu pengalaman dinilai lupa diri. Betul saya akui bahwa saat saya berada dan tinggal di rumah Pak Edu saya sering salah menggunakan kepercayaan. Didikan Pak Edu memang sulit dipahami, karena ia membiarkan anak-anak yang tinggal bersamanya untuk bebas berkreasi namun tidak mengabaikan hal-hal etika dan hal-hal yang prinsip dalam hidup. Aku terjebak dalam pola didikan pak Edu ini.
Tinggal di rumah Pak Edu Sareng, tersedianya berbagai fasilitas seperti: sepda dayung, sepeda motor, komputer, serta alat komunikasi jarak jauh (dua meter band);  didorong oleh sifat dasar selalu ingin tahu dan mencoba, telah menyuburkan sikap saya yang lupa mengendalikan diri dalam memanfaatkan fasilitas ini.  Jujur saya mengakui bahwa saya sangat suka belajar sesuatu yang baru, apapun tantangannya saya harus bisa. Berhadapan dengan kondisi saya di SANRES, tentu hal ini tidak bisa diterima oleh perasaan pak Edu serta teman-teman Staf SANRES. Dan pada akhirnya mereka menolak keberadaan saya di rumah Pak Edu dan SANRES.
Beginilah gambaran singkat pengusiran dan  detik-detik terakhir saya berada di SANRES. Hari itu kamis tanggal 06 Oktober 1994 aku tidak kuliah, tapi karena mau mecari buku sumber untuk Srkipsiku aku ke Perpustakaan Ledalero jam 07 pagi dan pulang jam 08.30. Setelah turun dari Bemo dan hendak ke Kamar untuk menyimpan Buku yang aku pinjam dari Perpustakaan Ledalero terlihat semua Staf SANRES berkumpul di Ruangan pertemuan. Sesaat ketika saya melintas di samping ruangan pertemuan, Pak Paulus Nong Susar memberitahukan agar aku cepat ke ruangan pertemuan supaya pertemuan segera di mulai. Saya pun dengan semangat yang menggebu dan tidak tahu maksud pertemuan melempar buku  di atas tempat tidur dan bergegas masuk ruangan.
Suasana ruangan pertemuan sangat hening, saya  masuk dan mengambil posisi dekat pintu masuk, berhadapan dengan  Aprinus, Darinas dan Yanti. Mereka  menunduk tidak tahu kalau aku menatap mereka. Pak  Paulus Nong susar duduk dekat pak Edu mengambil posisi dekat papan tulis dalam ruangan pertemuan. Pak  Pieter  berada di salah satu sisi ruangan sendirian sehingga menyamping dengan saya. Saya  pun berada sendirian pada sisi yang lainnya. Segera setelah saya duduk membuka buku catatan untuk menulis agenda dan hasil pertemuan sebagaimana biasanya yang saya lakukan sebagai perekam proses terdengar suara pak Nong memecah kesunyian.
 “Baik teman-teman hari ini kita pertemuan untuk membahas agenda yang khusus, menyangkut evaluasi terhadap saudara Frans......” . Saya kaget dan terperanjat. Belum sempat saya berpikir jernih dari kekagetan ini pak Edu langsung menyambar pembicaraan pak Nong dengan suara yang agak keras dan berwibawa.
“Yah, ini memang pertemuan khusus dan penting bagi SANRES dan khusunya untuk saudara Frans......” Pak Edu mengambil alih pembicaraan dengan nada marah dan seakan tidak memberikan spasi apapun dari semua pemicaraannya sejak mulai. Pak Edu dan dengan  nanda marah serta kertakan gigi  membeberkan hal-hal yang saya lakukan sejak bersama dengan SANRES serta sejak tinggal di rumah Pak Edu. Semuanya tentang kejelekan saya baik yang ia saksikan sendiri maupun yang ia dengar dari orang lain (STAF, dan anak-anak yang tinggal bersama di rumah Pak Edu, bahkan ia mengatakan juga informasi dari masyarakat sekitar Nangalimang). Pak Edu mengucapkan litani dosa saya di SANRES  mulai dari hal yang sangat pribadi sampai kepada hal-hal yang berhubungan dengan kantor.
Kurang lebih 22 menit Pak Edu memberikan evaluasi terhadap perilaku saya yang intinya saya  bisa diberi waktu  lagi untuk berada di SANRES. Di akhir pembicaraannya pak Edu  memfonis dan berkata, “ karena itu saya memerintahkan kepada Frans untuk pergi dari sini dan meninggalkan kamar dalam tempo dua jam.......” sambil menatap saya ia pergi dan meninggalkan ruangan pertemuan. Di pintu dekat saya duduk sebelum ke luar pak Edu menambahkan, “silahkan teman-teman lain memberikan evaluasi dan mengambil keputusan....” ia melangkah keluar dari pintu ruangan pertemuan.
Bagai sebilah Pedang menyambar di hatiku dan  tak pernah terduga saya dihakimi seperti ini. Saya diam tertunduk malu dan menangis. Tanpa menghiraukan kondisi saya Pak Nong melanjutkan pertemuan dan memberikan kesempatan kepada Staf Lain untuk berkomentar. Saya tidak lagi konsentrasi untuk mengikuti pertemuan itu dan tidak merekam baik pembicaraan-pembicaraan Staf SANRES yang lain. Pembicara berikutnya Ibu Darinas, ia tidak memberikan evaluasi terhadap saya tetapi  langsung menawarkan solusi untuk melamar di LSM lain setelah dari SANRES. Kemudian  giliran pembicara yang lainnya pak Aprinus, Pak Pieter dan Pak Nong. Saya tidak ingat persis apa yang mereka katakan selanjutnya karena tidak pernah bayangkan kalau saya harus pergi dari SANRES dengan tiba-tiba seperti ini. Tapi apa yang mau dikata, saya yakin pembicaraan staf  SANRES tidak merubah keputusan pak Edu yang telah keluar dari ruangan pertemuan entah ke mana. Walau sakit hati dan lain sebagainya dengan sedikit sisa kepercayaan diri, saya berusaha untuk tenang dan berpikir rasional. Pak Nong memberikan saya kesempatan untuk berbicara menanggapi evaluasi pak Edu dan teman-teman SANRES.
Bagi saya tidak perlu mengungkapkan pembelaan diri karena tidak ada gunanya, karena itu saya hanya menyampaikan terima kasih atas semuanya dan mohon maaf segala hal yang telah saya buat seperti litani dosaku yang disampaikan pak Edu Sareng. Segera setelah saya mengakhiri pembicaraan pertemuan ditutup dengan situasi yang juga cukup menegangkan. Semua Staf diam-diam meninggalkan ruangan pertemuan. Saya pun bangkit dari ruangan dengan penuh rasa malu bercampur sakit hati dan lain sebagainya dan bergegas mengemas barang-barangku sebelum dua jam batas waktu yang ditentukan Pak Edu.  
Di dalam kamar yang telah kuhuni sejak tanggal 6 Juni 1993 (tempat empat bulan), saya Kuatkan hati untuk berhenti menangis. Semua isi lemari saya yang saya miliki diambil sedangkan yang bukan milik saya dibiarkan. Aku datang dengan tiga gardus barang dan kembali dengan 4 gardus karena aku ada penambahan buku, data-data penelitian dan buku sumber untuk penulisan Skripsi. Setelah semua sudah dimasukan dalam gardus walau belum diikat rapi saya siap mengeluarkannya, takut kehilangan waktu yang Cuma diberi batas dua jam. Sejenak saya memperhatikan semua isi kamar dan berdoa dalam hati berterima kasih kepda Tuhan yang telah memberikan aku kamar yang membuatku betah selama 4 bulan. Saya berpamitan dengan kamarku dan seluruh isinya yang telah memberikan ketentangan lahir dan batin bagiku selama berada di dalamya, menghasilkan nilai ujianku tak ada yang HER, telah memberikan aku keberhadilan dalam kerja di SANRES dan yang telah menghasilkan aku keputusan untuk segera meninggalkannya  dua jam yang lalu.
Ketika barangku semuanya sudah berada di luar kamar dan hendak membawanya ke jalan raya, baru saya  sadar bahwa sisa uang di saku  tinggal Rp 300 perak. Saya tahu bahwa biaya Bis  yang diperhitungan saya dan barang-barang 4 gardus besar ini, mencapai Rp 600. Tapi saya berusaha untuk tidak bingung. Saya pasrah saja, dan berpikir akan dijelaskan Om Agus Sopr Cemerlang  Maumere – Nita langgananku. Setelah semua barang sudah berada di jalan raya  depan gerbang SANRES agak ke Barat saya kembali ke rumah pak Edu Sareng untuk pamitan.
Walau merasa risih, kerdil dan malu tanpa air mata saya menghadap Pak Edu dan Ibu Sri yang lagi duduk santai di teras depan rumah. Saya kuatkan batin dan memanfaatkan tenaga yang tersisa untuk membuka suara dan berkata, “Bapa, Mama, saya berterima kasih dan mohon pamit....” itu saja yang mampu saya ucapkan tak mampu meneruskannya takut air mataku jatuh. Pak Edu menatapku dengan wajah yang sayu namun  tidak bisa menebak apa yang dirasakannya. Aku tak mampu membalas tatapannya dan langsung menunduk dengan berbagai perasaan berkecamuk di hati. “Jalan baik-baik Frans.....” terdengar suara mama Seri (Isteri pak Edu) memudarkan perasaanku yang berkecamuk. Aku menundukkan kepala rasa hormat tidak mampu mengeluarkan kata-kata dan berlangkah dari hadapan mereka menuju jalan Raya. Aku juga tidak pamit dengan teman-teman SANRES yang lagi asyik kerja di kantor karena takut saya menangis. Saya mengharapkan mobil segera datang agar aku cepat hilang dari pandangan mereka.  
Kurang lebih setengah saya  menunggu mobil ke arah Nita pun datang dan saya kembali ke asrama di Wairpelit. Dalam perjalanan Nangalimang – Wairpelit saya hanya duduk termenung dan membayangkan bagaimana awalnya aku mulai tinggal di SANRES. Aku datang disambut dengan sorak-sorai oleh anak-anak yang tinggal dengan Pak Edu serta disambut baik oleh Pak Edu dan Mama Sri, dan kini aku diusir bagaikan pencuri dan pergi dengan tangan hampa, sampai uang untuk sewa bemo pun tidak cukup. Sakit hati, kecewa, rasa malu, penyesalan dan lain sebagainya bercampur jadi satu sehingga tidak terasa aku sudah tiba di depan Asrama Thomas Morus Wairpelit.
Karena di Asrama tidak ada kamar yang kosong dan harus melapur lagi ke kepala asrama sebagai penghuni baru, maka  saya menumpang di rumah tetangga sampirng asrama (Bapa Tanus sek.) untuk beberapa hari. Setelah saya berterus terang kepada Mama Sinta (istri Bapak Tanus) tentang keadaan saya, maka mereka dengan rela dan iklas hati memberikan saya tumpangan, dan makan minum sebelum aku ada kamar di asrama.
Beginilah akhir pertualangan hidupku dalam belajar di dunia LSM SANRES. Sejak  Juli 1993 s/d Oktober 1994, dengan membawa sejumlah keberhasilan dan kegagalan. Keberhasilan yang diperoleh adalah Selesainya KKN dan Penelitian untuk Skripsi. Keberhasilan lain adalah berbagai pengetahuan teknis dan praktis sebagai modal hidup  sebagai manusia. Kekecewaan dan sakit hati  berakhir dengan cara diusir  pelan-pelan dikuburkan dengan pikiran bagaimana pertualangan selanjutnya mendapatkan uang untuk makan dan minum serta uang untuk ujian beberapa mata kuliah yang belum dibayar.

Bergulat Setelah diusir dari SANRES  dengan tangan Hampa tanggal 06 Oktober 1994.
Pengalaman keluar dari SANRES tanggal 06 Oktober 1994, seakan mengalami lagi pengalaman keluar dari Frater tanggal 26 bulan Mei 1992. Saya mulai lagi perpikir uang kuliah, biaya hidup di asrama dan lain sebagainya. Namun saya lebih optimis karena telah banyak membangun relasi dengan orang dan telah mengalami hidup bermasyarakat. Kondisi kuliahku pun semakin banyak  waktu luang karena beberapa mata kuliah saja yang diberikan menjelang semester-smester akhir.
Setelah seminggu aku menunggu keputusan kepala asrama St.Thomas Morus Wairpelit, akhirnya aku mendapatkan kamar dan kembali masuk asrama seperti dulu sebelum tinggal di SANRES. Perasaan kecewa dan sakit hati karena diusir dari SANRES pun pelan-pelan pulih dan aku mulai merancang hidup dan perjuangan yang baru. Aku juga berusaha untuk menyembunyikan persoalan kepergianku dari SANRES terhadap teman-teman di asrama, sehingga yang mereka tahu kalau aku kembali ke asrama karena penelitian skripsi sudah selesai dan konsentrasi mengikuti kuliah tahun terakhir dan menyusun Skripsi. Saya hanya berbuka hati pada orang yang aku percayakan yaitu Pius Hamid dan Bene Kasman. Mereka pun memahami kondisi saya dan menguatkan saya untuk tidak terlalu memikirkan persoalan di SANRES lagi. Tapi konsentrasi pada usaha-usaha lain sambil mulai menulis skripsi.
a.       Belajar menjual sayur.
Akhir bulan Oktober 1994 saya bertemu dengan seorang kaka tingkat asal Jopu yang sering bermain ke asrama di Wairpelit namanya Yuvens Edo. Ia menawarkanku untuk kerja sama dalam menjual sayur dengan cara mendroping langsung ke pelanggan dalam jumlah yang besar. Sumber sayur berasal dari kampungnya dan pasar Wolowaru. Ia juga menjelaskan prospek bisnis sayur ini yang nampaknya menguntungkan dan kerjanya agak ringan. Setelah saya berpikir beberapa hari akhirnya saya menerima tawaran ini, dan mulai menyepakati tugas dan tanggungjawab saya. Saya diberi tugas untuk memnghubungi beberapa tempat yang akan membeli sayur seperti, kentang,  wortel, sawi dan Kol dalam jumlah yang besar.
Segera setelah menyepekati hal ini, saya pertama-tama menghubungi dapur Seminari Ledalero, Ritapiret, Frateran alma di Wairklau, rumah sakit Maumere dan Frateran BHK maumere. Untuk kelancaran transportasi saat pergi Yuvens memberikan aku Sepeda dayung yang bisa over gigi. Saya senang pekerjaan ini. Hasil kerja awal adalah dapur Ledalero dan frateran Alma di Wairklau siap menerima kentang, dan wortel dari saya. Sementara tempat lain belum bisa karena masih punya stok untuk dua minggu ke depan. Saya melaporkan kepada Yuvens tentang hasil kerja ini dan seterusnya ia berangkat ke Wolowaru mengambil  kentang dan wortel untuk melayani dapur Ledalero dan dapur Frateran Alma di Wairklau.
Selang 3 hari setelah itu ia datang dan membawa banyak kentang dan Wortel melampui yang dipesan dan simpan di rumah keluarganya di Pasar Baru Maumere. Sesuai dengan harga beli di Wolowaru maka Yuvens memperhitungkan harga jual dengan ketetapan minimal Rp. 1.400/kg. Untuk kentang dan wortel Rp.1.200/kg. Dengan mengambil beberapa buah sebagai sampel saya  kembali lagi ke dapur Ledalero dan Alma di Wairklau untuk memberitahukan bahwa pesanan siap dihantar dengan harganya per kilogram. Setelah melihat contoh yang saya bawakan Dapur Ledalero melalui Pa Kris saat itu memesan kentang 125 kg dan Wortel 80 kg. Sedangkan dapur Alma Wairklau memesan kentang 15 kg dan wortel 8 kg. Besok paginya semua pesanan dihantar ke Ledalero dan Wairklau. Penyetoran pertama ini sangat memuaskan dan saya diberikan uang hasil kerja ini sebanyak Rp.20.000 sedangkan jatahku yang lainnya entah berapa aku tak tahu  disimpan Yuvens dengan catatan kalau mendesak uang aku minta saja.  Seterusnya saya dan Yuvens menjual kentang dan wortel yang tersisa di sekitar Maumere baik kepada kenalan saya maupun kepada siapa saja yang membutuhkan termasuk kepada para penjual di pasar Baru.
Seterusnya pekerjaan ini menjadi kesukaan saya, tidak pernah kenal lelah untuk menawar dan menghantar sesuai pesanan ke beberapa langganan. Saya pernah menghantar belasan sawi ke rumah sakit maumere dengan mendorong gerobak dari pasar baru maumere, menghantar sayur ke frateran BHK jalan kaki, dan juga ke Rumah sakit kewa pante menghantar kentang dan Wortel.
Ada satu pengalaman menarik diantara banyak pengalaman selama terlibat dalam usaha ini adalah yakni terjadi tanggal 6 Januari 1995. Kami terlambat stor sayur di dapur Ritapiret karena kesulitan komunikasi dengan Yuvens yang saat itu pergi Natal di Kampungnya di Jopu. Suster di dapur Seminari tinggi Ritapiret memesannya untuk hantar tanggal 29 Desember 1994, tetapi kami baru menghantar sayur tanggal 06 Januari 1995. Saya kena omelan dan ditambah lagi sayur yang dihantar kurang baik karena sudah musim hujan. Hampir saja suster tidak terima dan menolak sayur yang telah sampai di dapur Ritapiret. Dengan menyampaikan permohonan maaf yang disertai mohon belas kasihan, akhirnya suster membayar sayur kami dengan keadaan terpaksa. Saya akhirnya kehilangan kepercayaan dari dapur Ritapiret.
Pengalaman kehilangan kepercayaan ini menyadarkan saya bahwa betapa sulitnya pekerjaan sebagai penghubung barang milik orang. Namun saya tidak putus asa, bahkan tidak hanya sayur saja yang saya pasarkan tetapi juga barang apa saja yang mau dipasarkan dan dibutuhkan oleh pelanggan. Saya juga pernah memasarkan barang-barang produk  MW milik Vinsen de Ornay yang saat itu menjadi Distributor Produk MW dengan sistem Multy Level Marketing. Setiap produk ia diberikan  saya komisi 13% dari harga jual.  Saya betul menyukai pekerjaan ini dan menjalankannya dengan senang hati tanpa kenal lelah dan memanfaatkan waktu setelah pulang kuliah. Saya banyak belajar baik cara meyakinkan pelanggan maupun menguasai produk/barang yang dipasarkan.
Pengalaman memasarkan barang tanpa modal ini saya jalankan kurang lebih 3 bulan dari bulan  Oktober 1994 s/d bulan Februari 1995. Satu tantangan yang saya hadapi dalam pekerjaan ini adalah bagaimana menjaga kepercayaan pelanggan yang diwujudkan dalam mutu barang yang diberikan dan ketepatan waktu untuk menghantar. Hal ini memacu saya untuk membangun banyak relasi dengan para pemilik barang dan tidak mengikat pada satu orang.
Ketika Yuvens Edo menghentikan pasokan sayur tanpa sebab dan kemudian diinformasikan ia sudah berada di Tim-Tim, saya ditantang untuk melayani pelanggan bagi dapur biara Alma, Frateran BHK, serta Rumah sakit Maumere. Mereka tetap  memesan sayur dalam jumlah yang tidak terlalu banyak dan bervariasi. Demi menjaga kepercayaan saya akhirnya  membangun relasi dengan para Pedagang sayur di Pasar Baru Maumere. Saya bertemu dan menjalin kerja sama dengan Om Herman, pedagang sayur asal Riit yang mengambil istri orang Kota Uneng Maumere. Ia mempunyai tedang sayur yang besar dengan berjenis-jenis sayur yang ia pasarkan. Setiap kali ada pesanan sayur dari langganan biara Alma, BHK dan Rumah sakit Maumere  Saya mengambil sayur dari tedangnya kemudaian dihantar  jalan kaki sambil pikul sayur dan kalau banyak saya mendorong pakai gerobak. Pekerjaan mengambil sayur dari tedangnya Om Herman ini hanya menjaga relasi karena harga yang dipasarkan om Herman sama dengan harga yang saya setor, jadi saya tidak mendapat keuntungan apa pun. Saya akhirnya mempunyai obsesi agar memiliki tedang sendiri dan memiliki modal sendiri sehingga bisa mendapatkan keuntungan dari pekerjaan ini.
Begitu kuatnya obsesi ini, sehingga setiap pulang kuliah saya habiskan banyak waktu untuk berada di pasar Baru Maumere untuk belajar dari Om Herman dan para pedagang sayur lainnya. Saya belajar bagaimana menawarkan sayur pada pagi hari, bagaimana memajang sayur pada tedang jualan, bagaimana menyiram sayur siang hari agar tidak layu dan lain sebagainya. Bahkan belajar bagaimana siasat mengecohkan pembeli sayur. Tekunnya saya belajar pada Om Herman sampai pada akhirnya ia mempercayakan saya untuk menjaga tedang sayurnya setiap kali saya ada di Pasar Baru. Ia pun bahkan menyuruh saya untuk menawarkan sayur kalau ada mobil Rute Pati Somba/Nangahure  atau mobil Lekebai masuk pasar baru. Karena saya kenal beberapa petani sayur dari Pati Somba dan Watuleke yang adalah kelompok masyarakat dampingan SANRES.
Kurang lebih dua minggu saya melakukan pekerjaan belajar ini sampai pada akhirnya Om Herman tahu kalau saya adalah mahasiswa eksfrater yang menjual sayur sambil kuliah. Hal ini terjadi ketika pacar saya orang Kota Baru mencari saya dan menunggu seharian di tedang sayur Om Herman, dan kebetulan saya saat itu tidak turun ke Maumere. Dalam penantiannya selama seharian ia menceritakan tentang saya kepada Om Herman. Besoknya saya terkejut ketika saya tiba di tedang sayur Om Herman, saya disambut dengan wajah yang lain dari biasanya oleh Om Herman. Keluarga Om Herman serta beberapa penjual sayur datang dan menyampaiakn mohon maaf atas perlakuan mereka kepada saya selama saya berada di antara mereka. Ada yang marah termasuk om Herman dan mengatakan mengapa saya tidak memberitahukan kepada mereka sejak saya datang ke pasar Baru, kalau saya itu mahasiswa STFK Ledalero, dan lain sebagainya. Saya hanya diam dan akhirnya menjelaskan kepada keluarga Om Herman tentang perjalanan hidup saya sejak keluar dari Frater tahun 1992.
Akhirnya Om Herman memutuskan siap mendukung saya untuk mempunyai tedang sendiri dan agar usahanya lancar maka saya kerjasama dengan adik Iparnya Bertoldus sehingga ketika saya kuliah pagi hari ia yang menjaga sayur sampai saya pulang kuliah. Saya pun ditawarkan untuk tinggal besama adik-adiknya di Kota Uneng sehingga urusan makan minum tidak menyulitkan bagi saya. Tawaran untuk tinggal di Kota Uneng saya tolak dengan alasan susun Skripsi, namun sebenarnya alasan utama pengalaman tinggal di SANRES telah memberikan pelajaran yang bermanfaat bagi saya.
b.      Mempunyai Tedang Sayur di pasar Baru Maumere.
Berangkat dari Obsesi, ketekunan untuk belajar memasarkan sayur tanpa modal, membangun relasi, serta identitas sebagai mahasiswa STFK Ledalero mengkodisikan saya untuk mempunyai tedang sayur sendiri di antara para penjual sayur di Pasar baru Maumere pada tahun 1995. Dukungan Om Herman tidak serta merta menjadi kenyataan untuk saya mempunyai tedang sendiri dalam menjual sayur di pasar baru Maumere. Saya harus menyiapkan banyak hal seperti modal awal, bahan-bahan untuk buat tedang, tempat untuk mendirikan tendang, negosiasi dengan para penjual sayur lainnya, dan sebagainya.
Suatu Ide atau rencana yang baik apa pun kalau tidak mempunyai moment yang pas pasti tidak mungkin bisa dilaksanakan. Mempunyai tedang jual sayur sendiri di pasar Baru Maumere bagi saya bermodalkan relasi yang baik dalam kejujuran dan kerendahan hati. Suatu moment penting bagi saya terjadi pada hari minggu tanggal 21 Mei 1995. Saya bertemu dengan Bapak Domi Taluma seorang Staf Tananua Ende di pasar baru Maumere. Selagi saya menjual sayur milik Om Herman, tak pernah terduga kami bertemu dan berceritera banyak hal. Sebagai teman lama selagi saya di LSM ia mendukung pekerjaan yang saya ambil menjual sayur. Karena itu ia menawarkan bagaimana kalau  sayur dari kelompok dampingannya yang selama ini dipasarkan di pasar Wolowaru dan Moni dipasarkan ke Maumere dan saya siap untuk menerima sayur mereka. Saya pun sangat setuju dengan ide itu, dan seterusnya dia mengajak saya untuk bertemu langsung dengan kelompok dampingannya di Moni, menyepakati mekanismenya sehingga kelompok dampingannya yakin terhadap kemungkinan sayur mereka dipasarkan langsung ke Maumere. Saya pun setuju dengan hal ini.
Tanggal 26 Mei 1995 saya berangkat ke Wolowaru, dan seterusnya bersama dengan Bapak Domi Taluma tanggal 27 Mei 1995 ke Watu Raka untuk berdiskusi dengan masyarakat kelompok dampingannya tentang Ide tersebut. Saya sering tentang harga sayur di pasar baru Maumere sementara mereka sharing tentang harga sayur di pasar Wolowaru dan pasar Moni. Hasil sharing ini membuahkan kesepakatan bahwa mereka menjual sayur ke Maumere dan saya yang menerimanya di sana dengan harga terima Maumere.  Tanggal 28 Mei 1995 saya kembali ke Maumere sambil memikirkan bagaimana mencari uang untuk Modal usaha ini.
Hari Minggu tanggal 29  1995, saya akhirnya berdiskusi dengan P.Hubert Thomas Hasuli,SVD. Bagiku P.Hubert adalah seorang Dosen sekaligus seorang sahabat. Pagi hari saya ke Ledalero dan sempat makan pagi di sana. Ia sangat tertarik dengan tema diskusi ini dan ia mendukung ide ini dilaksanakan. Pada akhir diskusi ketika ia bertanya berapa modal saya saya mengatakan saya tidak punya modal sedikit pun. Mendengar jawaban saya ia terdiam sejenak, lalu berkata,”Frans saya ada uang lima dolar. Uang itu adalah uang yang diberikan oleh teman saya dengan tujuan mengolok saya karena saya ini pemadat rokok selagi ada di Amerika. Saya pikir kami bisa menggunakan uang itu. Kalau ini uang olokan bagaimana kamu memanfaatkannya sehingga pada akhirnya  berkembang  untuk usaha kamu.....”. Tanpa persetujuanku ia mengajak aku ke kamarnya dan mengeluarkan uang itu dari anlfonya yang sudah dirupiahkan berjumlah Rp.10.750.  Dengan bangga aku menerimanya  dan pamit pulang ke asrama. Saya merasa ditantang olehnya dan berniat untuk mengembangkan uang ini dari jual sayurku di Pasar Baru Maumere.
Hari selasa, 31 Mei 1995 tibalah hari yang bersejarah itu. Saya mempunyai tedang dan jual sayur sendiri pisah dari Om Herman. Pagi Hari Om Herman memberikan saya berbagai jenis sayur sebagai modal awal dengan nilai uang Rp.60.000 yang akan saya kembalikan dengan mencicil. Siang hari terima sayur Moni senilai Rp.164.600 dengan perinciannya sebagai berikut :
  1. Kol Bungkus  sebanyak 77 pohon X Rp. 500 = Rp.38.500
  2. Sawi Besar/Ndevi 83 Pohon X Rp.700 = Rp.58.100
  3. Kentang Kurang lebih 35 kg X Rp.800 = Rp.28.000
  4. Pisang Beranga 20 sisir X Rp.1.000 = Rp.20.000
  5. Wortel 1 karung kecil= Rp.20.000
Total Rp. 164.600
Dengan demikian modal awalku hari itu sebesar
Uang tunai Rp.10.750
Uang barang Rp. 224.000 Total Rp. 234.750.
Tidak sampai 1 Jam setelah sayur sari Moni datang, banyak teman lain juga yang membeli sehingga sore hari sebelum mereka pulang ke Moni saya mencicil mereka sejumlah Rp.96.600. Sampai pada sore hari hasil jual sebanyak Rp.106.350, Sehingga tutup kas hari pertama tanggal 31 Mei 1995 sebesar:
Modal awal Rp.234.750
Laku terjual Rp.106.000
Bayar Pengeluaran Rp.96.000
Menjual sayur dan mempunyai tedang sendiri seperti yang saya alami setelah menjual tanpa modal memang sungguh menyenangkan. Setiap hari ada uang walaupun tidak banyak namun ketika dikumpulkan dari hari ke hari dan dihitung dalam satu bulan saat itu cukup banyak. Rata-rata pendapatan saya setia hari Rp.17.300, dan kalau dikalikan selama 30 hari maka pendapatan selama satu bulan berjumlah Rp.519.000. Pendaptan ini sangat besar pada tahun 1995, mendekati gaji DPRD. Pendapatan ini adalah pendapatan bersih karena sudah dikurangi dengan biaya operasional seperti, bayar pajak setiap hari, bayar air serta bayar yang membersihkan kotoran sekitar tedang sayur. Bulan awal saya bekerja untuk membayar uang Om Herman Rp.60.000, dan membayar sayur dari Moni. Sedangkan bulan kedua dan seterusnya baru merasakan pendapatan. Semua pedapatan ini dibagi dua dengan Adik Ipar Om Herman karena kami bekerja saling bergantian selama 1 hari. Selama 3 bulan Juni s/d Agustus 1995 saya masih mengendalikan arus kas setiap hari, tetapi karena saya banyak kesibukan menyelesaikan beberapa mata kuliah ujian  smester akhir serta mulai menyusun skripsi maka seluruh urusan jual sayur dipercayakan kepada Adik Bertoldus Sukardi (Todus).

Menulis Skripsi di Tedang Sayur.
                Sibuknya menjual sayur bulan-bulan awal, tiba-tiba  tanggal 14 Juni 1995 saya dikejutkan dengan pertanyaan Pak Bene Kasman tentang skripsi saya sudah disusun sejauh mana. Pertanyaan ini menyadarkan saya bahwa jual sayur karena kuliah, bukan kuliah untuk menjual sayur. Setelah saya menceritakan kepada Pak Beni tentang perkembangan penyusunan Skripsi saya maka ia dengan iklas menawarkan bantuan untuk mengetik Sripsi saya. Pak Pisu Hamid pun menawarkan akan menunjukkan kepada saya beberapa buku sumber karena ia baru saja menyelesaikan penulisan Skripsi tentang LSM. Saya merasa beruntung diteguhkan oleh Pak Bene Kasman dan Pius Hamid. Mereka sungguh mendukung upaya yang saya lakukan jual sayur atau kegiatan lain karena itu mereka membantu mengetik dan mencari buku sumber untuk skripsi.
                Saya pun tidak menunggu lagi setelah diingatkan Pak Bene Kasman untuk segera memulai menulis skripsi. Sesuai dengan kesepakatan awal dengan Pater Dr. Leo Kleden,SVD sebagai dosen pembimbing bahwa saya membuat saja skripsi sejak awal sampai selesai kemudian diserahkan kepadanya untuk diperiksa dan dimbimbing selanjutnya. Maka sejak tanggal 15 Juni 1995 saya mulai menulis skripsi di tedang sayur setiap ada waktu yang sepih atau di sela-sela melayani orang yang datang beli sayur. Saya tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi karena semua orang di pasar baru tahu kalau saya masih kuliah dan saat ini sedang menyusun skripsi. Setiap Bab yang telah saya tulis diserahkan ke Pak Bene Kasman untuk diketik.
                Menjual sayur yang menetap pada sebuah tedang di Pasar Baru Maumere, dan menulis skripsi untuk menyelesaikan kuliah di STFK Ledalero memang mempunyai tantangannya tersendiri. Analisa datan Lapangan yang tinggal menyusunnya dalam alur berpikir logis karena data-data sudah tersedia saya bisa lakukan di Tedang Sayur, namun menganalisis data dengan kerangka teoretis yang membutuhkan buku sumber tentu saja tidak mungkin saya lakukan di tedang sayur. Karena itu maka frekwensiku menjaga sayur semakin hari semakin berkurang berbanding lurus dengan frekwensiku ke Perpusatakaan Ledalero dan tinggal di asrama semakin tinggi. Akhirnya pada tanggal 4 September 1995 saya memutuskan untuk menyerahkan tedang serta sayur yang berada di atasnya Nilia rp.70.000)  disertai dengan uang tunai Rp.27.350 saya serahkan kepada Adik Bertoldus Sukardi (todus)  untuk mengelolanya lebih lanjut bagi dirinya. Saya akan datang hanya untuk melihatnya sesewaktu dan kalau saya butuh uang untuk beli rokok dan makan minum saya mohon untuk diberikannya. Todus pun setuju dengan alasanku yang masuk akal.
                Sebagai tanggungjawab moralku pada Pater Hubert saya coba menghitung berapa berkembangnnya Modal Rp.10.750 yang ia berikan kepadaku. Perputan uang mengalami peningkatan dari hari ke hari. Sampai dengan tanggal 4 September 1995 uang tunai yang kami pegang sebesar Rp. 135.000 dan sayur yang belum laku senilai Rp.70.000 total uang sebesar Rp.205.000. Uang telah dibagikan untuk kami masing-masing berjumlah Rp.  Dengan perincian Bulan Juni Rp. 37.750, bulan Juli 98.600, bulan Agustus 135.850. Sedangkan untuk makan minum kurang lebih Rp. 403.500 total 3 bulan Rp.1.762.000

Proyek Pagar Kompleks Candradiya – Maumere.
                Keseringan sayan berada di Wairpelit dengan berbagai kegiatan Mudika dan sebagainya memungkinkan aku sering bertemu dengan pater Huber Thomas. Suatu ketika pada awal oktober 1995 dengan basa basi menanyakan kerja jual sayur saya dan hasil uang yang telah ia berikan kepadaku sebagai modal, ia mengajakku untuk melaksanakan sebuah pekerjaan untuk pagar keliling Lokasi Candradiya di Wair Klau Maumere. Setelah dijelaskan perincian pekerjaan dan luasnya lahan yang akan di Pagar saya akhirnya saya terima pekerjaan itu. Jenis pekerjaan yang disepakati adalah sebagai berikut : Membuat pagar keliling lokasi seluas 7 ha. Dengan kayu hidup, gamal dan angsono  dengan jarak 2 meter. Dalamnya tanam kayu hidup 30 cm. Bentangan kawat duri keliling lokasi yang telah ditanami kayu hidup tersebur sebanyak 4 tingkat. Jarak antara bentangan 50 cm. Tinggi pagar 2 meter. Biaya sebesar Rp. 750.000. Waktu pekerjaan selama 2 minggu. Batas terakhir bekerjaan 10 November 1995.
Pekerjaan proyek ini menantang bagi saya, namun melihat keuntungan yang akan diperoleh akhirnya saya menyatakan setuju dan siap melaksanakannya. Saya mengajak teman saya Yakobus Jie (Jack.) untuk mengerjakan bersama-sama proyek ini dengan sistem hasil bagi. Tahap pertama yang kami lakukan adalah mencari sumber-sumber kayu gamal dan angsono di sekitar Ledalero dan Wairpelit. Kami mendapat peluang dari Ledalero untuk memotong kayu angsono sedangkan kayu gamal dari tetantta sekitar dengan jumlah Yang terbatas. Selama 2 hari kami memotong gamal angsono dan gamal di Ledalero dan sekitar wairpelit, namun yang kami dapatkan tidak banyak. Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti mencari sendiri, dan memutuskan untuk beli di tempat kerja/Proyek dengan harga Rp.250/batang. Kayu gamal ini akhirnya diadakan oleh Om Sensi dari Ribang dan Om Naning dari Gere.
Berhubung pekerjaan ini bersamaan dengan kegiatan pekan Mudika se dekenat Maumere, yang berlangsung 23 s/d 30 Oktober 1995, maka pekerjaan ini kami sepakati untuk memnggunakan tenaga dari paga, keluarga pak Jack Jie. Pendropingan gamal dan angsono terjadi pada tanggal 23 s/d 26 Oktober 1995, pekerjaan menggali  dan menanam kayu terjadi pada tanggal 27 s/d 28 Okober 1995, dan bentangan kawat duri terjadi pada tanggal 29 s/d 30 Oktober 1995. Penerimaan dana proyek terjadi tiga tahap. Tahap Pertama 23 Oktober 1995, tahap II tanggal 28 Oktober 1995, dan penerimaan tahap akhir 08 November 1995 dengan masing-masing tahap berjumlah rp.250.000.
Pekerjaan proyek ini awalnya sulit saya rasakan, namun dalam pelaksanaannya kami mendapat banyak kemudahan. Hal ini karena para karyawan  Ledalero yang saat itu lagi membangun Gedung dan kebun di Candraditya, tahu betul tentang saya dengan segala aktivitas saya sebelumnya. Hanya dua hari kami menyiapkan beras dan masak sendiri, hari-hari selanjutnya kami makan siang bersama dengan para tukang dan karyawan lain yang bekerja di Candraditya. Kumdahan ini membuat kami bekerja dengan serius dan menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari waktu yang ditargetkan. Saya melapor hasil pekerjaan kepada Pater Hubert pada tanggal 30 Oktober 1995, kemudian mereka langsung periksa hari itu juga. Hasil pekerjaan kami dinyatakan sesuai dengan kesepakatan. Namun  karena masih ada kayu gamal dan angsono yang tersedia serta masih banyak kawat duri yang tersedia maka Pater Hubert meminta bantuan kepada kami untuk menanam semua kayu yang tersedia dan menambah bentangan kawat lagi dua tingkat, khususnya bagian bawah supaya menghindari ternak yang masuk lokasi. Untuk pekerjaan ini kami dijanjikan tambahan dana tapi tidak disepakati jumlahnya. Karena para pekerja sudah kembali ke Paga maka tambahan pekerjaan ini kami lakukan sendiri (saya dan Jack Jie.) tanggal 3 /s 4 November 1995.
Dalam catatan saya mencatat keuntungan dari pekerjaan proyek ini sebagai berikut :
Biaya kayu sebanyak 1040 x Rp. 250.000 = Rp.260.000
Penggalian lubang dan tanam kayu : Rp.112.000
Pemasangan Kawat Ikat Rp. 100.000
Biaya-biaya lain Rp. 68.000
Total Biaya : 750.000 – 540.000 = Rp. 210.000
Sesuai kesepakatan keuntungan ini di bagi  sama rata maka Penerimaan saya dan Jack masing-masing Rp. 105.000.  Sedangkan uang tambahan pekerjaan Rp.50.000, diberikan jack dengan tulus iklas kepada saya. Sehingga saya mendapat keuntungan sebesar Rp.155.000 dari pekerjaan proyek pagar keliling lokasi Candraditya Maumere pada 08 November 1995.

Ujian Skripsi 1 Desember 1995.

                Proses penyelesaian skripsi yang diawali dengan KKN, dan penelitan di Wilayah dampingan SANRES, penyusunan di Tedang Sayur Maumere, serta pengaturan waktu diantara bergbagai kesibukan kuliah mimbar, aktivitas mudika, pekerjaan mencari uang untuk biaya hidup dan lain sebagainya akhirnya membuahkan hasil yang membanggakan. Dosen pembimbing menyatakan skripsiku layak diuji dan dipertanggungjawabkan pada Dosen penguji untuk sebagai salah satu tuntutan akademis memperoleh gelar sarjana Filsafat Katolik Ledalero.
                Sebagaimana dalam uraian terdahulu secara resmi penulisan Skripsi ini mulai pada pulan Juni 1995, yang diawali dengan konsultasi Kerangka tulisan bersama dosen pembimbing pater Dr. Leo Kleden, SVD. Setelah dikoreksi dan diberikan bimbingan aku menulisnya sejak Bab  I sampai selesai. Pada bulan Awal Oktober 1995, setelah saya menyelesaikannya saya berkonsultasi dengan dosen pembiming. Hasil bimbingan kedua ini adalah saya harus membenahi metodologi penulisan skripsi, bagaimana teknis mengutip sumber baik langsung maupun tidak langsung, menyempurnakan bahasa, memahami istilah-istilah, serta korelasi antara bab.
Pada akhir pertemuan pater Leo membuat perjanjian untuk bertemu lagi pada tanggal 24 Oktober 1995. Berhubung pater Leo tahu tentang kegiatan saya di luar waktu kuliah maka ia menyampaikan kesepakatan sebagai berikut. Kalau pada tanggal yang direncanakan Pater Leo berhalangan atau tidak berada di tempat maka dia yang pergi menemui saya. Karena itu saya memberikan penjelasan kepadanya bahwa tempat saya berada saat kuliah pasti ada di kelas, setelah jam kuliah saya berada di asrama atau berada di pasar Baru Maumere. Setelah kesepakatan ini terjadi saya pergi dan seterusnya menyelesaikan skripsi sesuai yang seharunya dikoreksi.  Tepat pada waktu yang dijanjikan ternyata pater Leo tidak berada di tempat, maka tibalah suatu hari ketika saya asyik duduk dengan teman-teman di Pasar Baru bersantai dengan teman-teman, tak terduga pater Leo datang di tedang sayur. Entah dengan sengaja untuk bertemu aku atau kebetulan lewat di Maumere aku juga tidak tahu. Dengan senyum kebapaanya ia berdiri di samping tedang dan menyampaikan salam kepada saya dan semua yang ada di situ. Ia menanyakan bagaimana laku sayurku hari itu sebagai pengantar. Kemudian ia menanyakan penyelesaian skripsiku dan menjelaskan bahwa untuk beberapa waktu ke depan ia ada di Ledalero, sehingga bisa konsultasi lanjutan sesuai kesepakatan bulan Oktober. Saya pun mengatakan bahwa sudah selesai dan siap untuk berkonsultasi.
Kedatangan Pater Leo ke tedang sayur sangat mempengaruhi semangatku dalam berbagai upaya untuk mencari uang demi penyelesaian kuliah. Aku mendapat dukungan moril yang tidak terbayarkan. Aku bangga dan merasa sangat bersyukur mempunyai Dosen yang begitu rendah hati dan memahami kesulitanku. Aku pun merasa sangat berdosa kalau saya tidak bisa menyelesaikan kuliahku di STFK Ledalero. Dengan rasa penuh semangat dan lain sebagainya akhirnya dua hari kemudian di awal November saya menyerahkan hasil pekerjaanku kepadanya.
Entah ini merupakan awal ujian oleh dosen Pebimbing saya juga tidak mengerti. Salah satu Bab dari skripsi saya ditolak seluruhnya dari awal sampai akhir dengan memberikan tanda silang dari halaman ke halaman. Penolakan ini terjadi karena dalam uraian khususnya kerangka teoretis tentang LSM saya mengutip langsung dari Buku sumber “Membedah Perut LSM” karangan Sebastian Saragih, serta tidak ada sumber lain yang diulaskan dalam Bab tentang LSM ini. Saya begitu kecewa dengan hasil konsultasi ini. Berbagai pertanyaan yang muncul mengapa tidak dikoreksi sebelumnya karena semuanya telah dilihat pada konsultasi kedua. Saya hanya diam dan tertunduk. “Saya percaya Frans bisa menyelesaikan Bab ini dengan cepat,.....” peneguhan Pater leo memudarkan rasa kekecewaanku. Selanjutnya ia menyebutkan beberapa buku sumber untuk membenahi bab yang ditolak tersebut. Setelah beberapa saat akhirnya saya menyatakan setuju untuk memperbaiki Bab tersebut dan akan menyelesaikannya dengan cepat.
Kurang lebih seminggu saya konsentrasi untuk menulis Bab ini. Mencari buku sumber dan menulisnya dengan tidak mengabaikan buku dasar yang telah kupakai. Penyusunan dan pengetikan rampung seluruhnya. Pada tanggal 23 November 1995 saya menyerahkan Skripsi tersebut pada Pater Leo. Tidak ada konsultasi saat itu, pater Leo  menjelaskan bahwa ia akan mengoreksinya dulu setelah itu baru dipanggil  untuk konsultasi lanjutan. Saya pun pulang  sambil berharap mudah-mudahan tidak ada koreksi lagi sehingga ketik final untuk persiapan ujian.
Tiga hari setelah saya menyerahkan hasil koreksi bab yang ditolk, tanggal 26 November 1995 dengan tidak terduga sebelumnya saya diberitahukan pater Leo untuk siap menghadapi ujian Skripsi yang akan diadakan tanggal 1 Desember 1995. Saya betul-betul kaget dan tidak terduga tentang hal ini. Berbagai perasaan Senang, bingung, cemas bercampur menjadi satu. Dengan berbagai pertanyaan saya menatap pater Leo seakan tak percaya. Namun ketika ia menjelaskannya bahwa yang telah saya buat sudah layak untuk menghadapi ujian dan layak untuk dipertanggungjawabkan di hadapan dewan Penguji. Saya diminta untuk membuat abstraksi dan konsentrasi untuk menyiapkan pertanggungjawaban pada apa yang telah saya tulis.
Hari Jumat tanggal 1 Desember 1995, jam 4 sore saya berhadapan dengan 3 orang Dewan penguji dengan penguji Utama P.Robert Mirsel, SVD, dibantu pater Willem Julay dan pater leo sendiri. Dengan sedikit gugup saya masuk pendopo Ledalero, dan duduk dihadapan Dosen penguji yang sudah menunggu kedatangan saya 30 menit terlebih dahulu. Hal ini karena perbedaan waktu yang dipesan Pater Leo pada saya dan pada Dosen penguji.  Setelah saya duduk lalu berdoa untuk memulai ujian.
“Frans, ... banyak mahasiswa yang menghadapi ujian skripsi dengan lutut yang gementar. Itu berarti belum siap untuk menghadapi ujian. Atau bisa jadi karena belum paham apa maskudnya ujian skripsi. Ketika penyusunan skripsi dimulai maka pada saat yang sama dosen pembimbing sedang menguji mahasiswa itu. Ketika dosen pembimbing dosen pembimbing menghadapkan mahasiswa bimbinganya ke dewan penguji itu berarti mahasiswa yang bersangkutan sudah lulus dalam nilai skripsinya. Saat ini Frans sudah lulus dan telah mendapatkan nilai 6, karena Frans sudah datang dan menyatakan siap dihadapan dosen Penguji. Yang harus dilakukan Frans saat ini adalah bagaimana mempertahankan nilai lulus yang telah dicapai dan mempertanggungjawbkan skripsi yang ditulis sehingga mendapat tambahan nilai”, demikian kata pengantar Pater Leo membuka acara ujian skripsi  sore itu.
Mendengar pengantar ini hati saya sangat girang dan segala kegugupan saya hilang. Saya begitu percaya diri dan semangat saya seakan meningkat serta ingin menyelesaikan ujian ini dengan baik. “kalau frans mau dapat point 6, silahkan tak usah ikut ujian dan kami tanda tangan berita acara, tapi saya yakin Frans mau mendapatkan point lebih dari 6. Karena maka ujian ini kita mulai. Saya tidak akan banyak bertanya karena semua pertanyaan selama ini sudah dijawab Frans dalam penyelesaian tulisan ini. Apakah Frans siap?” Pater leo menambahkan dan mencek kesiapan saya. Saya pun dengan lantang menjawab siap dan ujian pun dimulai.
Pater Robert Mirsel sebagai penguji Utama mengajukan 6 pertanyaan mulai dari pertanggungjawaban judul dan relevasinya dengan disiplin ilmu Filsafat yang saya pelajari, pertanyaan menjebak untuk lari dari konteks tulisan dan lain sebagainya sampai mengkritisi berbagai pokok pikiran yang ditulis dalam skripsi tersebut. Semua pertanyaan penguji utama saya jawab dengan baik dan tanpa klarifikasi karena sudah jelas. Giliran berikutnya Penguji kedua Pater Willem Juley memberikan 4 pertanyaan satu pertanyaan tentang metodologi pen ulisan skripsi, satu pertanyaan klarifikasi soal penulisan budaya Sikka, satu pertanyaan mengkrisi pokok pikiran tentang data responden, satu pertanyaan diskusi yang melibatkan saya dan semua dosen penguji.
Tiga pertanyaan dosen penguji kedua saya jawab dengan mudah, selagi pertanyaan diskusi melibatkan kami berempat untuk berpendapat. Pertanyaan diskusi ini membuat saya merasa terhormat karena diberikan hak yang sama dengan ketiga dosen ini untuk boleh berpendapat. Asyiknya diskusi membuat kami tidak menyadari waktu ujian sudah selesai, namun karena masih hangat diskusi maka pertemuan atas panduan Pater Leo kami lanjutkan dengan berbagai topik diskusi. Pada saat diskusi berlangsung terjadi hujan dan angin yang agak kencang, sehingga diskusi dilanjutkan di Kamar pater leo Kleden. Kurang lebih jam 5.45 sore diskusi berakhir. Pater Leo membatasi diskusi dan mengajukan satu pertanyaan untuk saya sebagai pertanyaan penutup dan harus saya jawab. Saya ingat baik pertanyaan ini berhubungan dengan persoalan mendasar yang dihadapi oleh LSM umumnya dan SANRES khususnya dimana dalam Skripsi saya tidak sempat dianalisis. Pertanyaan ini menurut pater Leo tidak mempengaruhi point tetapi sangat penting untuk mengkritisi LSM.
Karena tidak mempengaruhi point maka saya pun menjawab dengan tidak ada beban. Menurut saya persoalan yang dihadapi oleh LSM umumnya di dunia termasuk SANRES adalah persoalan kemandirian keuangan dalam membiayai seluruh aktivitas LSM baik untuk program maupun operasional Kantor dan Staf. Banyak LSM yang menggantung diri pada Sponsor / donatur. Ketika donatur tidak lagi mendukung dana maka dengan sendirinya LSM itu tidak akan bertahan lama dan bubar. Di sisi lain kalau LSM memulai untuk mengumpulkan modal bagi keberlanjutannya maka sering terjebak sebagai badan Usaha yang akhirnya mengingkari Visi dan misinya sebagai Lembaga Nirlaba.
Sebelum mendengarkan hasil ujian saya dipersilahkan untuk keluar kamar 5 menit selagi ketiga dosen memberikan penilaian atas hasil pertanggungjawaban skripsi saya. Setelah dipanggil masuk Pater Leo memberitahukan hasil ujian skripsi saya namun sebelumnya ia memberikan pertanyaan manfaat penulisan Skripsi saya untuk hidup setelah tamat kuliah dengan pertanyaan apakah saya mampu membuat seperti yang telah saya tulis dalam skripsi setelah tamat kuliah. Dengan lantang dan tegas saya menjawab sekaligus janji saya kepada pater Leo bahwa setelah tamat kuliah saya akan tetap berkarya di LSM. Untuk saat awal saya akan bergabung dengan LSM yang telah ada, pada akhirnya kalau memungkinkan saya akan mendirikan LSM Sendiri. Jawaban ini mengakhiri pertemuanujian Skripsiku dengan nilai yang sangat memuaskan Nilai A, dengan point  8.5.  Hampir saja saya meneteskan air mata mendengar hasil ujian skripsi ini sebagai puncak segala pergulatan hidup yang aku jalankan sejak tahun 1991 s/d 1995. Bersamaan dengan pamitnya para Dosen Penguji aku pun pamit pulang dari kamar Pater Leo dengan hati yang penuh bangga menuju asrama di Wairpelit.
Pengalaman hari yang istimewa ini saya baru bisa abadikan dalam agenda harianku esok harinya dengan sebuah tulisan  Inilah tulisanku tanggal 2 Desember yang dikutip langsung dari diaryku
Hari kemarin Jumaat 1 Desember 1995, adalah hari yang istimewa dalam perjuanganku. Aku menyelesaikan ujian Sripsi dengan mendapatkan nilai yang sangat memuaskan point 8.5 nilai A. Bersamaan dengan amukan badai yang menimpa bukit Ledalero aku bertarung menjawab pertanyaan dosen penguji satu demi satu.
Dalam rintik hujan dan gelapnya listrik aku disambut teman-teman se asramaku dengan salam Provisiat atas keberhasilanku. Tapi di hatiku tersimpan sebuah penyesalan. Pertama, aku tidak sempat merayakan hari istimewa ini dengan teman-teman karena krisis uang. Kedua berasku di dapur sudah habis. Makan di mana? Untungnya ada pesta di guru. Aku makan malam di pesta seakan-akan keberhasilanku dirayakan.   (Wairpelit, 2 Desemer 1995)

Ujian cicilan terakhir dan Pelatihan Ekonomi Rumah Tangga 24 Januari 1996.

                Menyelesaikan ujian Skripsi bagi saya yang telah bergulat  dengan berabagai tantangan sejak awal tingkat II adalah suatu pengalaman yang luar biasa dan istimewa. Tinggal satu langkah lagi yaitu ujian cicilan terakhir yang harus aku selesaikan sehingga pada saatnya keberhasilanku menggapai Sarjana Filsafat diumumkan secara resmi pada saat Wisuda. Wisuda bagiku adalah pengumuman kepada public tentang keberhasilanku meraih sarjana serta pendasaran legalitas   pengakuan public atas  intelktualitasku dalam pembangunan masyarakat.
                Berbagai kegiatan aktivitas setelah ujian skripsi saya lakukan dengan penuh gembira dan penuh semangat. Bulan Desember saya konsentrasi khusus dalam kegiatan Mudika Wairpelit, kebetulan saat itu saya dipilih menjadi ketua PU, beberapa pokok pikiran saya dan usulan kegiatan saya diterima dan dilaksanakan oleh Mudika Waiperlit. Penghijauan halaman paroki dengan tanam ansono, pepaya dan lain sebagainya  sebagai upaya agar umat tidak mengikat kambing di halaman gereja  atau halaman gedung Paroki, mengkoker mangga dan tanam di sekitar gereja wairpelit dan lain sebagainya, hal ini bisa terwujud karena keaktifan saya dalam kegiatan mudika.
                Demi membiayai hidup harian di asrama saya tetap ke Pasar Baru membantu memasarkan sayur Om Herman dan Adik Todus, sehingga pada siang hari saya makan di pasar baru dan malam hari pasti dapat uang Rp.3.000 s/d 5.000 dan bisa hidup untuk beberapa hari. Keberadaanku di tedang sayur hanya untuk senang-senang dengan teman-teman lama. Karena tidak sibuk dengan kuliah dan hanya tunggu cicilan terakhir maka kadang saya tidur di Kota Uneng di keluarga Om Herman, dan pada hari-hari pasar menjelang Natal saya membantu dia untuk menjual sayur di pasar Nita. Kadang saya melayani pesanan sayur beberapa dapur di barak-barak ledalero. Semua uang yang aku dapat hanya untuk membiayai hidup makan dan minum serta untuk membeli  kertas dan biaya fotocopy penjilidan Skripsi.
                Pada bulan Januari 1996 saya bertemu dengan Bapak Drs. Sabinus Nabu,  saat itu Kepala Kantor PMD  kabupaten Sikka di Pasar baru Maumere. Ia merasa terkejut ketika suatu pagi ia bersama istrinya belanja sayur di tedang Om Herman dan saya yang layani. Ia mengenal baik dengan saya karena saya aktif di PMKRI dan sering  meminta uang padanya di kantor kalau ada kegiatan PMKRI. Ketika saya memberikan penjelasan keberadaan saya di pasar baru dan jual sayur saat itu ia merasa tak percaya, namun tambahan informasi dari teman-teman sekitar tedang sayur tersebut membuat ia yakin atas penjelasan saya. Karena sayur yang dibelinya agak banyak maka saya menghantar sayur itu ke mobilnya. Sebelum mobilnya pulang ia sempat mengklarifikasi beberapa hal, antaral lain keberadaanku dulu di SANRES, PMKRI dan GEMA KOSGORO. Seterusnya ia menanyakan kepadaku soal kuliah yang saya sambut dengan bangga bahwa saya tunggu Wisuda saja pada bulan Mei 1996 yang akan datang. Ia pun mengatakan bahwa aku hebat sambil mengangguk ia menstater mobilnya lalu pergi.
                Suatu pagi tanggal 20 Januari 1996, sopirnya datang ke asrama dan menjemput aku untuk ke Kantor PMD. Karena saya sudah kenal dengannya maka tanpa basa basi pun saya mengikuti sopir itu untuk turun ke Maumere bertemu Bapak Sabinus Nabu. Setibanya di Kantor ia meminta saya untuk ikut pelatihan Ekonomi Rumah Tangga yang berlangsung pada tanggal 21 s/d 26 Januari 1996. Dan pelatihan sudah dibuka pada malam hari tanggal 20 Januari 1996. Saat itu saya tidak mengerti maksud Bapak Sabinus Nabu terhadap saya, karena itu berdalih bahwa bagaimana sayur saya di tedang. Memahami usaha saya maka ia menyepakati, semua keuntungan harian saya dari jual sayur akan diganti dengan kesepakatan selama tiga hari saya dilatih saya mendapat penggantian Rp. 25.000, dan tiga hari melatih saya mendapat uang Rp.45.000, seterusnya saya diminta untuk segera kembali siapkan diri dan sore hari sudah melapor diri pada panitia pelatihan di Hotel Sugonian-Maumere.
                Saya pun kembali ke asrama dan menyiapkan sejumlah pakaian untuk pelatihan tersebut. Namun satu tantangan menghadang saya ketika salah seorang teman saya memberikan khabar bahwa ujian Matakuliah Kristologi II yang kebetulan cicilan terakhir saya terlaksana pada tanggal 24 Januari 1995. Setelah saya berpikir kahirnya saya memutuskan bahwa saya ikut pelatihan, Saya pun mulai perpikir minus malum bahwa nilai Kristologi I saya adalah A kalau Kristologi II tidak lulus saya tetap Wisuda dan tambat Sarjana.
Pelatihan bagi Pelatih (TOT) Ekonomi Rumah Tangga ini adalah kerjasama LP2M Padang dengan Pemda Sikka dalam rangka mempersiapkan para Pendamping IDT tahun 1996/1997, peralihan dari GERBADES saat itu. Bersama dengan beberapa Camat dan Ibu PKK kabupaten saya menjadi pesera Pelatihan. Selama 3 hari kami dilatih  bagaimana memnfasilitasi pelatihan dan 3 hari kemudian kami memberikan pelatihan kepada calon Pendamping IDT angkatan I berjumlah 45 Orang.
Di antara hari pelatihan ini pada tanggal 24 Jaunari 1996 saya melapor langsung ke Bapak Sabinus Nabu bahwa beberapa jam saya akan kembali ke Ledalero untuk ikut ujian Cicilan terakhir. Ia pun setuju dan memberikan kepadaku sebuah sepeda motor Dinas untuk dibawa ke Ledalero dan digunakan selama pelatihan berlangsung. Padatnya pelatihan membuat saya betul tidak belajar mengahdapi ujian Cicilan terakhir mata kluiah Kristoligi II pada tanggal 24 Januari 1996, tapi saya tidak gentar dan penuh percaya diri mengerjakan soal-soal ujian tersebut. Setelah selesai ujian saya pun pulang langsung meneruskan kegiatan di Hotel Sugonian.
Pelatihan Pelatih dengan Materi Ekonomi Rumah Tangga ini memberikan manfaat yang cukup berarti bagi saya. Kami dilatih bagaimana memberikan pelatihan yang pastisipatif, menyusun modul dan materi pelatihan, bagaiman menghidupkan susana pelatihan (Dinamika Kelas), bagaimana menyimpulkan diskusi kelompok dan lain sebagainya. Pada akhirnya setelah tiga hari di latih kami langsung melakukan praktek untuk memnfasilitasi para pendamping  GERBADES dan calon Pendamping IDT Anggkatan I di kabupaten Sikka saat itu. Pelaksanaan praktek memfasilitasi ini dinilai oleh Tim Pemandu dalam rangka menemukan fasilitator terbaik untuk seterusnya memfasilitasi para pendamping IDT angkatan berikutnya.
Pada  saat memfasilitasi pelatihan  saya diberikan kesempatan oleh Tim Pemandu  untuk membawakan Materi Metodologi Pedagogi dan Andragogi. Dengan berbagai keterbatasan belum berpengalaman memfasilitasi para pendamping yang sudah berpengalaman saya pun memfasilitasi pada sore hari tanggal 25 Januari 1995. Tak pernha terduga bahwa materi Metodologi Pedagogi dan Andragogi ini termasuk salah satu materi yang dimintai oleh para pendamping GERBADES dan Calon Pendamping IDT sebagai peserta  angkatan I di kabupaten Sikka saat itu. Saya betul kewalahan dala menjawab pertanyaan peserta, namun dengan bantuan sesama Fasilitator dan Tim Pemandu akhirnya materi ini diselesaikan dengan memuaskan peserta.
Hasil Evaluasi Tim Pemandu /Tutor dari LP2M Padang memberikan penilain kepada saya menduduki urutan ke-7 dari 30 orang peserta Pelatihan Pelatih Ekonomi Rumah Tangga kerja sama LP2M Padang kerja sama dengan PEMDA Sikka yang berlangsung tanggal 21 s/d 26 Januari 1996. Saya merasa puas dengan penilaian ini dan merasa percaya diri bahwa suatu saat saya bisa menjadi seorang fasilitator yang baik. Tidak hanya saya yang merasa puas namun bapak Sabinus Nabu juga menyatakan tidak sia-sia ia memberikan rekomendasi saya sebagai salah seorang peserta pelatihan.

Bergulat dengan tangatangan Bapak Sabinus Nabu. Feruari s/d April 1996.

                Pertemuan dengan Bapak Sabinus Nabu dilanjutkan dengan diskusi-diskusi dan sharing pengalaman di rumahnya. Secara pribadi ia mengagumi  perjuangan saya sejak saya menceriterakan semua pergulatanku sejak keluar dari Frater sampai saat kami bertemu dan menunggu wisuda. Dalam beberapa cerita pengalaman saya tentang berada di SANRES, jual sayur dan lain sebagainya, menerima pekerjaan proyek pagar yang merupakan kebanggaan saya dalam menyukseskan kuliah, ternyata di matanya tidak mempunyai arti apa-apa. Baginya semua yang saya alami memang berhasil namun tidak akan mendewasakan saya karena semuanya karena belas kasihan orang. “Frans..., kami harus menjadi orang yang profesional. Bisnis yang profesional tidak mendasarkan perhitungan untung dari belas kasihan orang. Kamu harus belajar lagi kalau mau menjadi orang yang profesional...” pernyataan Bapak Sabinus Nabu pada suatu sore di awal bulan Februari 1996.
                Pernyataan ini menantang saya dan mendorong saya untuk merefleksikan berbagai kegaitan yang saya lakukan selama ini. Walau pun di hati kecil saya agak kecewa, namun setelah saya merenungkan lebih mendalam akhirnya saya simpulkan bahwa pernyataan ini ada benarnya. Beberapa hari saya tidak ke rumahnya karena ia ada tugas ke luar Kota Maumere. Di asrama saya merenungkan pernyataan ini dan akhirnya bingung sendiri apa yang saya lakukan sebelum saya wisuda. Saya mengecek utang kuliah saya di Sekretariat Ledalero, berjumlah Rp. 337.500, ditambah dengan persiapan wisuda dan urusan untuk Ijasah dan lain-lain bisa mendekati Rp.450.000. Saya kembali bingung memikirkan bagaimana saya bisa melunasinya sebelum Wisuda sehingga ijasah bisa langsung diambil dan segera mencari pekerjaan. Saya juga malas ke tedang sayur lagi, karena tidak mungkin saya bisa menebus uang kuliah ini dengan menjual sayur, apalagi  telah dikelola orang lain dan.... ingat lagi pernyataan bapak Sabinus Nabu.

Menjual Semangka tanpa hasil.
                Entah Bapak Sabinus Nabu maksud apa lagi saat, itu namun dalam refleksi saya bahwa ia mau mengajarkan saya bagaimana caranya meningkatkan posisi tawar Petani. Suatu hari ia meminta saya untuk menjual semangkanya di Pasar baru Maumere. Saat itu ia mempunyai pekarangan yang penuh dengan semangka yang siap dipasarkan. Saya pun tidak pikir panjang setuju yang usulkannya. Hari pertama saya dan salah seorang anak yang tinggal bersama Pak Sabinus Nabu mendorong gerobak dari rumahnya di Wair Klau menuju pasar baru, berisikan semangka sebanyak 14 buah. Kami di suruh untuk menjual dengan harga Rp.3.500/buah, tidak bisa kurang. Kami pun berangkat dan tiba di pasar Baru. Gerobak kami parkir di tempat yang saya tahu ramia dikunjungi orang. Dengan semangat yang menggebu saya berdiri di samping Gerobak itu sambil menawarkan kepada pembeli seperti saya menawar sayur. Banyak orang yang datang mendekati gerobak dan ingin membeli semangka tersebut, namun karena harganya sangat mahal maka tidak ada yang membeli. Sudah 2 jam kami duduk dan tidak ada satupun yang laku dan pasar mulai sepih.
                Karena penasaran saya akhirnya meninggalkan gerobak itu pada anak yang menemani saya tadi dan berjalan di dalam pasar baru. Ternyata di dalam pasar itu juga ada yang menjual semangka dengan harga yang sangat murah. Rp.500/buah atau Rp.1.000/3 buah. Dengan tidak disangka salah seorang ibu yang tadinya ingin membeli semangka saya di gerobak tiba juga di tempat Bapa Tua yang jual semangka selagi saya berada disampingnya. Ia memborong 8 buah semangka milik Bapa Tua tadi dengan harga Rp.3.000. Setelah itu Ibu itu berlalu saya ceritekan ke Bapak tua itu bahwa saya juga jual semangka dengan Rp.3.500/buah. Bapak itu tidak percaya dan langsung menuju gerobak yang aku tunjukkan. Setelah ia melihatnya ia berkata mengapa jual semahal itu, dengan gaya negosiasi saya menjelaskan memang harga semangka sekarang apalagi yang berkualitas seperti yang ada di gerobak itu mahal. Hanya Bapak yang jualnya telalu murah. Mendengar ucapan saya Bapak itu pun pulang meninggalkan kami.
                Sampai dengan jam 11 siang pasar mulai sepih tidak ada satu buah semangka pun yang laku. Saya amat kecewa dan kuatir bahwa nanti saya kena marah dari Bapak Sabinus karena dinilai tidak mampu memasarkan semangka miliknya. Kami akhirnya pulang dan membawa kembali semangka yang kami pasarkan dengan utuh. Sesampainya di rumah ketika Bapak Sabinus pulang kantor jam 2 siang, kami melaporkan bahwa tidak ada satu pun yang laku karena harga terlalu mahal. Bapak Sabinus hanya diam dan tak komentar, dan ia menanyakan kepada saya apakah tadi kami tolak gerobak keliling pasar dan masuk dalam pasar sambil jual, saya mengatakan tidak kami berada di tempat. Dengan alasan ini maka ia menjelaskan inilah yang menyebabkan semangka tadi tidak laku. Saya membela diri dan mengatakan banyak juga yang jual semangka dengan harga yang murah. Dia kembali berargumen bahwa kualitas dan mutu berbeda. Ini Semangka Super, isinya warna merah dan tanpa biji. Itu yang harus kami pasarkan. Saya pun mengalah dan diam sambil merenungkan bahwa yang dijelaskannya itu juga benar, tapi banyak orang yang menjual semangka murah. Ia pun meminta supaya besok harinya kami menjual lagi dan bawa dua gerobak. Kalau satu orang tinggal di tempat satu orang dorong keliling pasar. Saya tak kuasa menolak karena agak segan dan ia sangat kebapaan dalam berdiskusi bahkan ngobrol berdua di depan teas rumahnya, isap rokok bersama dan nimum kopi bersama. Sayapun diperlakukan seolah-olah anaknya sahabatnya. Ketika aku mau pulang ia mengatkan bawa saja sepeda motor sehingga datang pagi-pagi.
Keesokan harinya kami mengikuti perintah, bawa dua gerobak dan sampai di pasar berputar-putar keliling pasar dan bahkan saya mendorong gerobak masuk di antara tedang sayur bertemu teman-temanku yang jual sayur. Mereka pun tidak ada yang membeli karena harganya mahal. Kejadian hari kedua persis hari pertama, tidak ada yang laku terjual. Ingin rasanya saya mengikuti harga di pasar tetapi takut dimarahi. Karena agak lapar maka saya berani mengambil salah satu semangka dan membawanya ke tedang sayur untuk makan bersama teman-teman lama saya. Setelah itu kami pulang dan melaporkan hasilnya. Ia pun tidak marah karena tidak ada yang terjual, Ketika ditanya tentang petunjuk yang diberikan saya menjelaskan semuanya sudah kami lakukan bahkan sambil jalan saya sempat berteriak-teriak.
Pada akhir penjelasan itu ia mengatakan  agar kami coba sekali lagi besok  besok harinya kalau tidak laku lagi tidak apa-apa. Bawa pulang dan semangka yang rusak diberikan saja ke babi, sedangkan kalau saya mau bawa pulang ke asrama untuk kasih teman-teman atau makan sendiri silahkan saja. Karena ia mau isitirahat siang dan ada kegiatan pertemuan sore maka ia mengatakan bahwa setelah makan siang saya boleh pulang besok bertemu lagi. Saya pun kembali ke dapur dan dengan rasa malu saya makan siang karena saya diberi makan sementara semangka tidak laku. Tapi ketika saya mau pulang Istri pak Sabinus memberikan aku uang Rp.15.000 untuk isi bensin di motor dan selebihnya saya pakai. Ia pun  memberikan saya sebuah karung untuk mengisi semangka seberapa saya mau bawa untuk makan di asrama atau untuk teman-teman. Saya pun tidak sanggup menolak dan ada rasa takut mereka tersinggung kalau saya menolak. Saya membawa 3 buah semangka isi dala karung. Karena masih siang maka saya kembali ke tedang sayur dulu untuk memberikan sebuah semangka pada keluarga Om Herman, sebagai oleh-oleh dan terus ke Waipelit. Saya tidak langsung ke asraa namun singgah terlebih dahulu ke rumah Bapak Agus Odang untuk membawa satu buah semangka sebagai oleh-oleh. Bagi saya Bapak Agus Odang  dan keluarganya bagaikan keluarga sendiri dan hampri setiap minggu atau dua hari sekali saya ada di rumahnya bahkan sering meminyajm sepeda motornya untuk menghantar sayur atau keperluan apa saja sejak saya keluar dari SANRES bualn Oktober 1994.
Pada bapak Agus odang saya menceriterakan pengalaman saya yang buruk ini bahkan ceritera agak tidak puas dengan Bapak Sabinus Nabu. Bapak Agus Odang hanya tersenyum dan mengatakan bahwa kalau Pak Sabinus Nabu memang orangnya sangat keras kalau mendidik orang dan tidak jaga perasaan orang. Tapi hatinya sangat baik, suka membantu orang dan suka mengajarkan orang tentang hal-hal yang berguna. “Pak Frans jangan putus asa, dia pasti ada maksudnya untuk Pak Frans, apalagi dia tahu betul kegiatan pak Frans selama ini...”, kata pak Agus Odang. Ia juga menjelaskan kalau pak Sabinus Nabu itu keluarga yang sangat dekat dengan keluarga Pak Agus Odang sejak dari Timor sana. Saya akhirnya terhibur dengan penjelasan Pak Agus tentang pak Sabinus Nabu dan kelaurganya. Saya baru sadar bahwa Bapak Sabinus Nabu   mau mencoba saya.
Keesokan harinya beberbekalkan informasi dari Bapak Agus Odang saya turun ke rumahnya meletakan sepeda motor dan segera mengambil gerobak dan mengisi semangka yang sudah dipetik oleh teman jual saya kemudian segera menuju pasar baru. Hasilnya sama dengan dua hari sebelumnya, tidak ada satu buah semangka pun yang laku dijual. Hari ini saya tidak putus asa dan segera kembali ke rumahnya Pak Sabinus Nabu. Karena bliau belum pulang dari kantor dan saya sudah sepakat hari terakhir kami menjual semangka tersebut, maka saya langsung pergi dari rumahnya dengan meninggalkan sepeda motor. Untuk beberapa hari saya tidak ke maumere dan tinggal saja di asrama menjilid memperbaiki skirpsi dan menyerahkannya ke Sekretariat untuk dijilid.
Karena saya penat di asrama maka saya pergi main-main di tedang sayur pingin bersendagurau dengan teman-teman pernjual sayur. Saya kaget ternyata harga semangka di pasar baru sudah meningkat dalam tempo satu minggu. Harga paling rendah Rp.1.500/buah dan Rp.5.000/3 buah. Sedangkan semangka super dengan harga Rp.3.500 s/d 5.000/buah. Saya baru sadar ternyata Bapak Sabinus Nabu telah mengajarkan kepadaku sebuah pelajaran yang sangat luar biasa. Saya akhirnya sadar ia seorang pahlaman yang menggunakan saya sebagai ujung tombaknya untuk memperjuangkan kenaikan posisi tawar Petani Semangka di kota Maumere pada bulan Februari 1996. Saya malu dengan Bapak Sabinus dan semakin segan karena itu pada tahap selanjutnya saya tidak berpikir panjang ketika ada ide baru yang ia tawarkan.
Pak Sabinus akhirnya tahu bahwa selama saya kuliah Bapak Agus Odang sama dengan keluarga saya sendiri. Kepada keluarga Bapak Agus Odang ia menceritakan bahwa saya orang yang hebat dalam sebuah perjuangan hidup. Namun ia tidak pernah mengungkapkan secara langsung dengan saya, termasuk maskudnya menyuruh saya jual semangka yang tidak pernah laku itu. Dalam pertemuan selanjutnya dengan saya ia lebih banyak bertanya tentang utang kuliah saya di Ledalero serta memikirkan usaha yang bisa mendatangkan uang lebih cepat untuk tebus utang kuliah sebelum wisuda.

Menjual Ikan dan Advokat ke Kupang.

Merasa prihatin atas kesulitan saya menjelang Wisuda, akhirnya Bapak Sabinus Nabu menawarkan saya untuk berusaha dengan deukungan modal Rp.500.000 dengan kesepaktan dikembalikan hanya pokok pinjaman saja tanpa bunga. Ia memberikan waktu dua hari bagi saya untuk memikirkan usaha apa yang akan saya jalankan kemudian ia memberikan saya modal tersebut. Setelah saya mendapat peluang modal ini  akhirnya saya berani mengambil keputusan kalau saya harus menjual ikan kering ke Kupang. Setelah saya memantapkan rencana ini akhirnya akhirnya saya memberitahukan kepada Bapak Sabinus Nabu. Ia sangat setuju pikiran saya dan memberikan penjelasan tambahan apa yang sehrusnya saya lakukan dengan modal Rp.500.000 itu. Ia juga mengatakan jangan hanya satu jenis barang saja tetapi usahakan juga barang lain seperti advokat dan lain sebagainya. Setelah bertemu dan menjelaskan tujuan saya maka ia memberikan saya uang Rp.500.000 kepda saya.
Tahap pertama yang saya lakukan adalah memewan Advokat pada salah seorang teman langganan saya yang berasal dari Koting. Dari uang tersebut daya membeli advokat dan ikan kering dengan jenisnya Ikan besar belah dan yang terbanyak ikan teri. Perbelanjaan ikan ini bersama Bapak Sabinus Nabu di pasar Geliting, langsung dari Pulau. Dengan setia dan penuh dukungan Bapak Sabinus menggunakan mobil dinas untuk mengangkut Ikan tersebut dari Geliting ke rumahnya. Pengepakan barang pun terjadi di sana. Adapun barang bawaan saya ke Kupang sangat banyak antara lain : 3 keler besar advokat, dengan susunan yang rapi, 2 keler ikan belah dan 6 karung Ikan teri, dan 1 gardus Lombok Kecil.
Saya berangkat dari maumere menuju Larantuka pada tanggal 21 Maret 1996 dan tiba di Pelabuhan Bolok Kupang tanggal 23 Maret 1996. Memang sangat aneh perjuangan ini karena saya tidak pernah ke kupang sebelumnya. Namun dengan penuh percaya diri dan ada kenalan saya di sana maka saya berani pergi ke Kupang. Saya berjalan bersama Kaka Mery (alm.) Saudari dari Kak Yos Inosensius kampung Ribang Wairpelit. Karena belum tahu rumah calon Kaka Ipar saya di Kupang maka saya menurunkan semua barang saya itu di rumah kontrakan Pak Ino bersama dengan Kaka Mery.
Betapa membahagiakan saya ternyata barang yang saya bawakan ini sangat dibutuhkan di Kupang. Serentak hari itu di rumah pak Ino bagaikan pasar. Banyak orang datang ingin membeli advokat dan ikan belah. Karena tidak tahu harga pasaran di sana maka menyogok sals seorang gadis cilik tetangga kelas V SD. Memberikannya advokat yang besar, dengan penuh lugu anak itu mengatakan tak usah om, nanti om rugi. Lalu saya enjawabnya tidak seberapa ko ruginya, ini hadiah om. Ketika advokat itu sampai di tangannya langsung saya tanaya memangnya kalau Nona beli di pasar yang itu harganya berapa ? ih mahal om yang segini itu Rp.500 om. Atas informasi ini maka saya memasarkan advokat tersebut Rp.500/buah atau Rp.100/3 buah. Serentak semua yang datang membeli dengan Rp.1.000/3 buah. Di maumere saya beli Rp.1.000/8 buah.
Hari pertama menjual advokat dan beberapa ekor ikan saya mendapatkan uang Rp.67.500. Keesokan pagi harinya saya dihantar Pak Ino ke Pasar Oeba dengan memikul 2 gardus Advokat dan satu gardus Ikan Kering (ikan belah). Semua advokat laku terjual sedangkan ikan hanya beberapa ekor yang laku. Tiga hari saya memasarkan advokat di pasar Oeba dan semua advokat laku terjual di Pasar Oeba dan di rumah Pak Ino di Kupang. Setelah semua advokat laku terjual baru saya menjual ikan. Saya pernah menjual ikan teri di depan Kantor BPD Kupang kepada teman-teman kantor Pak Ino. Setelah tiga hari di Pak Ino akhirnya Calon Kaka Ipar saya saat mereka tahu saya ada di Kupang datang menjemput saya dan semua ikan yang saya bawa ke Rumah mereka. Dengan mengendarai bemo milik pribadinya Kaka Petrus Sukardi mengangkut Ikan-ikan saya ke rumah Kaka Yohana susmiati (Kaka Ati.)
Dari rumah kaka Ati saya menjual ikan dengan cara membawa contoh ke beberapa kenalan mereka dan beberapa tempat dan biara. Saya memasarkan ikan ke Hotel Cahaya Bapa, Susteran SSps, belakang Unika, ke biara Klaret di Penfui, ke para Frater di Penfui dan ke Seminari St.Rafel Kupang, saya juga memasarkan ikan ke Biara RVM dan keukupang Kupang dan teakhir ikan belah saya diborong Bapak Dr.Hendrikus Fernandez, atas pesanan Pater Blas Fernandez.
Merasa bahwa ikan kering yang saya bawa sangat diminati masyarakat Kupang maka saya akhirnya mencari pasaran sampai di Kefa dan Soe. Saya sempat tidur satu malam di Pasar Soe bersama dengan salah seorang anak penjual sayur bernama Melky Molo. Walaupun tidak menjual ikan saya mendapatkan informasi banyak tentang harga ikan di pasar Soe, serta bagaimana pengawetan Ikan ala Timor sehingga mendapatkan ikan kering yang bermutu baik untuk ikan belah maupun ikan Teri. Seterusnya keesokan harinya saya teruskan ke Kefa mencari pasaran dan menjual Ikan kering satu Gardus. Saya tinggal dengan keluarga Pak Agus Odang, bapak Yan Siga di Tanah Putih. Selama 3 hari saya berada di Kefa dan memasarkan Ikan di Pasar Kefa. Semua Ikan kering yang saya bawa laku terjual di pasar Kefa. Dan saya sterusnya kembali ke Kupang. Sesampainya saya di Kupang Ikan teri yang saya bawa tinggal 3 karung karena selama saya di soe dan kefa Kaka Ipar saya tetap memasarkan ikan tersebut. Saya tinggal beberapa hari di Kupang sambil mempelajari situasi pasar Naikoten. Saya sempat belajar menjual sayur juga di Kupang bersama dengan orang-orang Maumere yang mempunyai Tedang di Pasar Naikoten, juga sempat menjual Ayam pedaging milik Kaka Ati di Pasar Naikoten. Setelah dua minggu di Kupang akhirnya saya kembali ke Maumere tanggal 07 april 1996.
Segera setelah tiba di Maumere saya melaporkan hasil perjalanan saya kepada Bapak Sabinus Nabu dan membawa uang Rp. 787.500. Ikan 3 karung masih tersimpan di Kupang dan dari Biara Seminari Tinggu Penfui masih ada uang Rp.86.000 yang belum sempat saya ambil. Dengan demikian hasil jualan ikan dengan modal Rp.500.000 ini telah menghasilkan uang sebanyak Rp. 1.089.000 dengan perincian Uang barang Rp. 36 kg Ikan teri X Rp.6.000 = Rp.216.000, uang belum diambil Rp.86.000 dan Kas yang saya pegang Rp.787.500. Bapak Sabinus Nabu sangat senang dengan hasil perjalanan pertama ini. Ketika saya memberikan saya memberikan uang untuk mengembalikan uang pinjaman tersebut ia hanya menerima Rp.300,000 yang lainnya sebagai Modal Usaha lanjutan apalagi saya akan ke Kupang lagi untuk menghantar pesanan dari Seminari Oe Pui dan Seminari Penfui Kupang. Ia juga  menyarankan agar saya melunasi semua hutangku di STFK Ledalero.
Dengan hati bangga saya menuju STFK Ledalero dan melunasi semua hutang kuliahku sebelum saya Wisuda. Sesuai dengan utangku yang masih tersisa saya membayar dengan uang hasil jualan ikanku di Kupang. Aku juga langsung membayar sebagian uang untuk Widua dan berjanji akan saya lunasi sebelum Wisuda dan ambil Ijasah. Kini perasaan sangat legah dan bahagia tak terlukiskan, aku merayakan Paskah 1996 dengan penuh kemenangan saya bagaikan bangkit bersama Kristus dari perjuangan melawan kesulitan hidupku yang kini seakan tidak pernah terasa lagi.
Setelah perayaan paskah Maret 1996, tanggal 12 April 1996 saya kembali lagi ke Kupang untuk menghantar pesanan Ikan dari Biara Seminari Oe Pui dan seminari tinggi di Penfui Kupang. Kepergianku ke Kupang bukan untuk mencari keuntungan lagi tetapi seakan untuk bersenang-senang karena sudah otomoatis aku diwisuda dan ijasahku langsung dibawa karean tidak ada utang ibaya kuliah. Di Kupang saya merayakan hari Ulang Tahun ke -27 pada 14 April 1996 dengan air mata kebahagiaan. Karena sebentar lagi saya diwisuda dan menjadi seorang Sarjana. Hanya 4 hari saya di Kupang untuk menghantar pesanan dari dua biara, seterusnya aku kembali dengan menumpang Fery Kupang Ende. Hal ini terjadi karena Fery ke Larantuka ada macet dan baru ada pada minggu berikutnya. Saya berangkat dari Kupang pada tanggal 17 April dan tiba di Maumere tanggal 19 April 1996.
Dalam perjalanan Fery Kupang Ende aku bertemu dengan Adikku Theresia yang baru saja pulang dari Kupang menuju Ruteng. Kepadanya aku sempat menitipkan Surat untuk  Bapakku Andreas Subang (Alm.) untuk hadir wisuda yang akan diadakan bulan Mei 1996. Saya pun menjelaskan ke adik thersia bahwa semua uang kuliahku sudah selesai dibayar dan Bapa tinggal hanya datang untuk menyaksikan aku diwisuda.

Wisuda Sarjana Filsafat : 04 Mei 1996.

                Satu kebahagiaan  besar bagi saya terjadi pada tanggal 04 mei 1996 ketika  wisuda Sarjana Filsafat Agama Katolik di Ledalero-Maumere Flores. Untuk diketahui bahwa saya salah satu dari 6 orang mahasiswa  yang diwisuda lebih cepat dari teman-teman seangkatan. Angkatan kami sebenarnya baru bisa diwisuda pada tahun 1997, namun karena kami mampu menyelesaikan kuliah mimbar dan menyelesaikan skripsi dengan cepat maka kami bisa diwisuda pada tahun 1996.
                Adalah biasa bagi seorang mahasiswa yang akan diwisuda maka tentu saja banyak hal yang perlu dipersiapkan, mulai dari persiapan seremonial wisuda sampai pada acara syukuran bersama teman atau kenalan atas keberhasilan yang diarihnya. Ada beberapa persiapan yang saya lakukan menjelang wisuda antara lain Pertama, Tanggal 29 April 1996, Bapa saya tercinta Andreas Subang (Almarhum) tiba di Wairpelit-Maumere. Ia membawa 3 potong kain sarung (songke) untuk dijual demi mendapatkan uang yang saya butuhkan saat wisuda. Berhubung semua keuangan telah tersedia semuanya maka kain sarung tersebut saya gunakan untuk menyampaikan terima kasih kepada Bapak Sabinus Nabu Sek. karena ia membantu saya dalam menuntaskan biaya kuliah. Lagi pula saya masih mempunyai Hutang Rp.200.000 uang pinjaman modal Usaha jual ikan ke Kupang. Dua Kain songke yang dibawakan Bapak saya serahkan kepada Bapak Sabinus Nabu dengan menyampaikan ucapan terima kasih serta memberitahukan kepadanya bahwa saya akan segera diwisuda. Satu lembar kain sarung yang lainnya diberikan kepada Calon Mertuaku saat itu, karena ia sempat membongkar Celengannya berjumlah Rp.50.000 memberikan hadiah kepada saya yang dengan penuh perjuangan menyelesaikan kuliah dan sampai pada wisuda. Dengan demikian hadiah Bapak telah saya teruskan kepada semua mereka yang telah berjasa dalam detik-detik terakhir perjuanganku.
Kedua, Pater Kirch Berger, SVD memberikan uang Rp.750.000 kepada kepala asrama St.Thomas Morus Wairpelit sebagai dana perpisahan antara kami dan dengan teman-teman yang se asrama. Hal ini merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan pater Kirch kepada  para mahasiswa eks frater yang menghuni di asrama Thomas Morus asuhannya. Ketua Asrama memberikan tahukan kepada kami para wisudawan (7 orang ) saat itu bahwa dalam rangka perpisahan kami yang wisuda mengundang keluarga berjumlah 20 orang setiap wisudawan karena dana terbatas. Pada saat ini Pacar saya Yohana Poni, menghadiahkan saya satu ekor Babi yang dipiaranya untuk merayakan pesta Wisuda saya dan teman-teman di Asrama. Dan Calon Mertua Bapak Antonius Puang memberikan 6 botol arak yang dijual di Kiosnya kepada Panitia Pesta sebagai rasa turut berbahagia atas keberhasilan saya. Ia pun membelikan saya baju kemeja putih karena untuk seremonial Wisuda para sarjana mengenakan pakaian baju kemeja putih dan celana warga gelap/hitam. Inilah persiapan dan hadiah yang saya peroleh saat menjelang Wisuda.  Ketiga, Satu hal lagi yang tidak saya lupakan adalah hadiah khusus menjelang Wisuda dari seorang Gadis asal Timor yang saya akui sangat  memberikan dukungan moril kepda saya ,  menjadi penjual sayur untuk menyelesaikan kuliah. Selama saya memainkan peranan ganda mahasiswa dan penjual sayur banyak gadis baik pacar ataupun teman dekat merasa minder kalau mereka menjadi pacar/teman saya karena saya penjual sayur dan bahkan menjadi kondektur. Mereka semuanya memutuskan hubungan dengan saya dengan alasan malu terhadap teman-teman mereka karea berpacaran/berteman dengan penjual sayur/kondektur. Tapi gadis yang satu ini sangat mendukung saya bahkan pernah membantu saya menjual sayur di Pasar Nita ketika menjelang Sambut Baru tahun 1995. Ia memberikan hadiah kepadaku satu bonek cantik. Bersamaan dengan bungkusan hadiah itu, saya juga menrima sepucuk surat Undangan dari kantor Yayasan Wahana Tani Mandiri Pagi untuk mengikuti Pelatihan Gapoktan yang akan terjadi pada tanggal 07 s/d 11 Mei 1996. Surat ini adalah awal panggilan kerja di Yayasan WTM Paga tanpa melamar.  Kedua hadiah ini membuat saya begitu berbahagia karena aku mendapat perhatian dan juga aku langsung mendapat pekerjaan segera selesai Wisuda.
Wisuda Sarjana saya didampingi oleh Bapak Andreas Subang. Entah apa yang dirasakan Bapak Andreas Subang saat saya menghadpa para Dosen untuk meresmikan saya sebagai Sarjana tidak saya tahu persis. Cuma ketika aku kembali duduk disampingnya ia meneteskan air mata dan memberikan tangan kepada saya. Saya pun tunduk hormat dan mencium tangannya dengan penuh kebanggaan. Inilah hadiah yang terbesar yang aku berikan kepadanya seumur hidupnya pikirku.
Sesampainya di asrama saya telah ditunggu keluarga Om Herman dari tedang sayur Maumere dan keluarga Kaka Ate dari lela membawakan hadiah berupa makanan dan sejumlah uang dalam anflop sebagai hadiah. Mereka semua menyampaikan ucapan selamat kepada saya dan masing-masing mereka bernostalgia tentang sepak terjang saya yang mereka ketahui kepada Bapak Andreas Subang. Bapak Andreas Subang  tidak henti-hentinya menyampaikan terimakasih banyak atas dukungan dan bantuan mereka termasuk semua orang yang telah dengan caranya sendiri-sendiri mendukung keberhasilan saya.
Pada malam resepsi bersama dengan temanteman di asrama yang dihadiri oleh undangan para wisudawan (7 orang Wisudawan), serta utusan Mudika saya diberi kesempatan untuk menyampaikan kata sambutan mewakili 7 wisudawan. Kepada udangan saya menyampaiakan bahwa keberhasilan yang kami raih bukan karena usaha kami sendiri saja melain lebih banyak didukung oleh orang lain entah, keluarga, sahabat kenalan, terlebih teman-teman se asarama dan tetangga sekitar. Saya menyampaikan terima kasih dan mohon maaf kepada teman-teman se asrama karena dalam kebersamaan di asrama pasti ada banyak hal yang saling mendukung dan ada hal juga yang membuat hati tersinggung. Saat  resepsi ini saya bahagia karena orang-orang tua sekitar Waipelit juga hadir dan utusan teman-teman dari pasar baru juga sempat hadir untuk mengambil bahagian dalam kegembiraan saya.
Selama dua hari tanggal 5 s/d 6 Mei 1996 saya habiskan waktu bersama dengan Bapak Andreas Subang di asrama dan sempat mengunjungi teman-teman penjual sayur di Pasar Baru Maumere untuk menyampaikan ucapan terima kasih pada hari Minggu tanggal 06 meri 1996. Pada tanggal 07 Mei 1996 pagi Bapak Ande berangkat ke Ruteng sementara siang hari saya berangkat ke WTM Paga menghadiri Undangan pertemuan yang akhirnya sejak saat itu saya dihitung tanggal 01 Mei bekerja di yayasan WTM Paga sampai tahun 1999.

Catatan akhir

Mendaki Puncak Ledalero “pergulatan semasa kuliah” adalah sebuah pelajaran baru untuk mendamaikan tantangan dan harapan/impian. Menyadang gelar Sarjana umumnya atau Sarjana Filsafat pada STFK Ledalero khususnya, pasti mempunyai cerita masing-masing mahasiswa. Tulisan ini hanyalah fleshback pengalaman pribadiku yang tentu sangat berbeda dengan rekan-rekan seperjuangan saya atau mahasiswam Ledalero umumnya. Mimpiku menamatkan kuliah di Ledalero bagaikan seorang pendaki Gunung yang sudah berada di atas Puncak yang dikejar. Dalam situasi yang tidak menentu antara keberhasilan yang sudah dicapai sambil mengusapi luka-luka yang tergores pada seluruh tubuh perjuangan hanya bisa diungkapkan dengan sebuah kalimat. “memetik setangkai mawar janganlah takut pada duri yang menggoresi jari-jari dan pergelangan tangan; dan ketika  dihadiahkan pada kekasih jangan katakan padanya tentang jari dan tangan yang terluka. Dalam diam,  cinta  akan membalut goresan luka; dalam beningnya  air mata langkah dan tapak-tapak perutusan ke tangah dunia  didoakan untuk memetik tangkai mawar yang baru…..”



ME LOVE FLORES


[1] Votase adalah......
[2]Ratio adalah
[3] Pater Niko Hayon SVD adalah Magister I Novisiat SVD Ledalero saat itu.
[4] Seks Appeal adalah istilah psikologi untuk....................The quality of being attractive in sexual way: a man with lots of sex appeal.
[5] Pater Boli Uja adalah Magister II Novisiat SVD Ladalero saat itu.
[6] Homo seks. Tahun 1992 marak isu homo seks di kalangan Frater Ledalero saat itu termasuk di Novisiat.
[7] Adalah kebiasaan bagi saya untuk mengungkapkan perasaan lewat puisi atau catatan harian. Kebiasaan ini dibangun sejak saya di Novisiat Nenuk dalam setiap renungan harian.

[8] Mama Yus Warut, ......
[9] Ungkapan bahasa Manggarai yang bisa diterjemahkan demikian “mengapa enkau terlalu berpikir tentang hidup ini. Kalau tidak mampu untuk sekolah kita mempunyai Sawah dan Kopi untuk menghidupkan kita. Kalau memang Tuhan memberikan jalan untuk kita seperti itu yah... terima saja, Mengapa engkau berputus asa??”.
[10] Bulan Januari bagi Petani di kampungku adalah bulan Paceklik. Uang sangat sulit didapat. Bila membutuhkan uang pada bulan-bulan seperti ini biasanya pergi ke Rentenir, dan dikembalikan 2 kali limat pada bulan Juli tahun yang sama. Atau biasanya dikembalikan dengan kopi saat panen bulan Agustus atau september.
[11] Demi melunasi biaya sekolah menjelang ujian akhir di SMA Seminari Kisol Bapakku menjual tanah dengan kopinya yang sudah berbuah luas 1.2 ha dengan harga Rp.3.000.000.
[12] Ibuku punya keterampilan membuat periuk tanah....
[13] Kerja harian dengan upah Rp.4.000/hari di persawahan Rana Loba milik Om Kiong, di desa Ranaloba Jec. Borong tahun 1986.
[14] Kerja harian di Dampek Sius Mboeng.....
[15] Saya pemain bola seminari Kisol dan pernah mempunyai keterampilan menjahit sepatu bolakaki dengan harga Rp.2.500/pasang.
[16] Erna Dalung anak dari Bapak Gaspar Matu Dalung orang asal Kampung Maumere-Ruteng, yang sudah puluhan tahun tinggal di Halilulik – Atambua-Timor. Selama Frater Novisiat SVD Nenuk, saya dan beberapa Frater dari Manggarai sering bertamu dan mengunjungi keluarga bapak Gaspar Dalung di Halilulik. Erna Dalung bersama teman-teman STKIP-nya pernah berkunjung ke Paroki Benteng jawa dan pernah berlibur di keluarga saya di kampung Kedel.
[17] Rebok berasal dari...
[18] Bapak Frans Kedang pergi mengunjungi saudarinya seorang suster di Maumere, yang kebetulan saya kenal baik dan sering bertemu ketika saya masih Frater. Saya sempat menghantar Bapak Frans Kedang ke alamat adiknya itu.
[19] Setelah tamat SD saya langsung ke seminari Kisol (SMP dan SMA) 6 tahun, dan seterusnya Frater 2 tahun di nenuk dan di ledalero, sampai bulan Mei 1992.
[20] Insipirasi saat berada bersama pastor Paroki di Benteng jawa, bulan juli 1992.
[21] Bapak Tanus adalah tetangga.di wairpelit
[22] Di asrama kami membentuk kelompok masak sesuai kesepakatan bersama. Saat itu bergabung dengan beberapa teman bergabung satu dapur dan ada kesepakatan setiap bulan kami mengumpulkan uang untuk beli beras dan ikan rp.15.000/bulan.
[23] Egy Suwandi adalah anak dari saudari sepupu Bapakku, yang nikah dengan orang Lela dan tinggal di Bentengjawa – Manggarai. Saya dan Egy punya hubungan darah dekat. Karena itu kesulitanku baik uang maupun biaya kesehatan kadang dibantunya.
[24] Willy Gusman adalah anak Saudari sepupu Bapakku, ia dan Egy adalah adik kakak Mama. Willy Gusman adalah teman sdku.
[25] Sejak kelas I SMA Seminari Kisol saya telah menjadi pemain bolkaki Seminari Kisol dan selama di Novisiat menjadi salah seorang pemain terbaik. Klub Novisiat memenangkan Piala St.Arnoldus Yansen pada tahun 1991 mengalahkan semua tingkat II s/d tingkat VI saat itu.
[26] PERSAMI adalah klub Kabupaten Sikka, yang anggotanya terpilih dari berbagai klub dengan prestasi yang dilihat dalam pertandingan merebut Piala kabupaten.
[27] Egy sejak kecil tinggal dengan Bapa Besarnya di Lela.
[28] Bidan Ety salah seorang Korban saat gempa terjadi. Kedua Kakinya patah dan sempat diangkut dengan Truck ke RS. Maumere tetapi  berhenti di tengah jalan karena jalan putus karena longor. Akhirnya ia dikembalikan ke Lela.
[29] Bahasa Manggarai artinya Kaka...... Egy menyakini saya terkubur dan teriakannya adalah kata pisah....
[30] Mama tua ini baru saja berobat di rs Lela. Karena mobilnya tidak bisa jalan maka ia dalam keadaan sakit berjalan kaki menuju maumere yang dikabarkan semua keluarga dan tokonya tertelan gelombang laut.